LEGION NEWS.COM – Banyak pemimpin negara maupun media massa Barat mengecam operasi khusus militer yang dilancarkan Rusia ke daerah Ukraina sebagai aksi barbar.
Setidaknya, istilah barbaric action tersebut digunakan oleh Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.
Namun, Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Georgievna Vorobieva menegaskan, penggunaan istilah ‘aksi barbar’ itu justru menunjukkan secara jelas standar ganda hak asasi dan kemanusiaan yang digunakan oleh pemimpin negara maupun media massa Barat.
“Aksi barbar? Anda harus lihat dulu, siapa yang menggunakan istilah itu? Kami tidak melakukan hal yang sama seperti mereka. Itu justru menunjukkan mereka menggunakan standar ganda,” kata Lyudmila dalam sesi wawancara khusus dengan Suara.com di rumah dinasnya, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (2/2/2022).
Lyudmila memprotes klaim yang dibuat Uni Eropa, Amerika Serikat dan negara anggota pakta keamanaan NATO lainnya bahwa operasi militer Rusia ke Ukraina telah membawa warga Benua Biru itu ke situasi paling buruk setelah Perang Dunia ke II.
“Mereka mengatakan konflik di Ukraina saat ini terburuk di Eropa setelah Perang Dunia II, itu sangat salah. Itu sangat bohong. Apakah semua sudah lupa tentang apa yang terjadi di Serbia Yugoslavia?”
Dia mengingatkan, Serbia dibombardir tanpa henti selama 78 hari oleh NATO. Persisnya sejak 24 Maret 1999 sampai 11 Juni 1999.
Lyudmila menjelaskan, pengeboman oleh NATO itu tidak hanya menargetkan instalasi militer tapi juga rumah-rumah sakit, sekolah, maupun rumah-rumah warga.
“Sedikitnya, kalau saya tak salah ingat, 2.500 orang tewas, yang mayoritas warga sipil Serbia, dalam pemboman itu.”
Dia menambahkan, “NATO juga menggunakan bom berkandungan uranium, yang dilarang oleh norma dan hukum internasional, yang efeknya masih dirasakan hingga saat ini. Sampai sekarang, banyak orang serbia yang meninggal karena kanker, itu merupakan akumulasi dari pemboman tersebut.”
Lyudmila mengatakan, Rusia tidak melakukan hal seperti itu. Sejak awal operasi militer, pemerintah Rusia menegaskan tidak menargetkan warga sipil Ukraina, melainkan hanya instalasi militer.
Bahkan, kata dia, Presiden Putin maupun Menteri Pertahanan Sergey Kuzhugetovich Shoygu pada awal operasi militer mengumumkan tak akan menyasar prajurit Ukraina yang mau meletakkan senjata dan dijamin keamanannya untuk pulang ke keluarga masing-masing.
“Ini contoh standar ganda. Saat mereka membombardir warga sipil Serbia, mereka menyebut itu adalah intervensi kemanusiaan. Tapi saat kami mencoba memisahkan warga sipil dan instalasi militer Ukraina, disebut barbar,” kata Lyudmila.
Dia lantas mengungkapkan sejumlah aksi negara-negara Barat di bawah bendera NATO yang melakukan invasi ke sejumlah negara tanpa alasan jelas.
“Oke, tadi Serbia Yugoslavia. Bagaimana dengan Libya? Sebelum NATO membombardir, Libya adalah negeri yang sangat makmur,” kata dia.
Tapi, kata Lyudmila, Muammar Khadafi yang secara resmi didaulat sebagai Pemimpin dan Penuntun Revolusi Libya, dinilai oleh negara Barat tidak demokratis.
“Khadafi dinilai bukan pemimpin yang demokratis dari kaca mata standar Barat. Tapi di bawah Khadafi, Libya adalah negeri yang makmur dan stabil. Tapi setelah dibombardir—sekali lagi—oleh NATO, apa yang terjadi di Libya? Negerinya hancur, warganya sengsara.”
“Belum lagi Afghanistan. Amerika Serikat selama 20 tahun membunuhi orang-orang Afghanistan. Di Irak, AS menyebut Irak memproduksi senjata pemusnah massal, senjata kimia, sekarang kita tahu apakah klaim iut benar? Tapi tetap saja Irak dihancurkan,” tambah Lyudmila. [Sumber: Suara]