LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Pemilihan Umum (Pemilu) serentak di 2024 mendatang akan kah berdampak dengan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Disebutkan masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada di 2020 akan berakhir di 2024 tahun depan.
Diketahui Pilkada serentak akan berlangsung pada 27 November 2024 mendatang.
Berkurangnya masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada serentak 2020 mendapat respon dari Wali Kota Makassar. Dilansir dari Fajar.co.id Moh Ramdhan Pomanto tidak sepakat jika jabatannya hanya sampai di tahun 2024.
“Sedangkan ditambah saja setengah mati apalagi mau dipotong. Ini Undang – undang Dasar loh, memangnya hak rakyat ini bisa dipotong-potong saja. Saya tidak yakin itu, kan belum ada yang gugat. Tidak di gugat gara-gara SK kita masih 2026,” ujar Danny Pomanto (DP) saat dihubungi, Jumat (3/6/2022) seperti kutip dari Fajar.co.id
Kata Danny, kedepannya pasti akan ada yang menggugat jika masa jabatan kepala daerah yang terangkat pada tahun 2020 dipangkas.
Dilansir dari Republika.com Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri), Akmal Malik mengatakan untuk sisa masa jabatan yang tak terpenuhi, kepala daerah akan mendapatkan kompensasi. Akan tetapi, kepala daerah hanya menerima gaji saja dikalikan jumlah bulan yang tersisa dari lima tahun tanpa tunjangan.
“Gaji tok dikali berapa bulan sisa yang tidak terpenuhi,” ujar Akmal di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (24/8/2019) lalu.
Ia mencontohkan, dari tanggal pelantikan kepala daerah ada dua kepala daerah yang memiliki masa jabatan tiga tahun. Kemudian ada dua kepala daerah yang menjabat selama 3,5 tahun dan satu kepala daerah yang 3,7 tahun.
Untuk itu, kata Akmal, Kemendagri menyosialisasikan kepada para kandidat calon kepala daerah bahwa Pilkada 2020 masa jabatan tak penuh lima tahun.
Sosialisasi dilakukan untuk menghindari gugatan di kemudian hari dari para kepala daerah terpilih. Masa jabatan tak penuh lima tahun itu tercantum dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pilkada.
Pada pasal 201 ayat 7 berbunyi, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai tahun 2024.
Pelaksanaan Pilkada serentak 2024 berjalan seiring dengan Pemilihan presiden dan Pemilihan legislatif.
Hal ini juga selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta penerapan keserentakan dalam pemilu.
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, pemilu serentak dalam praktik sistem pemerintahan presidensial tetap konstitusional.
Hal itu tercantum dalam putusan MK nomor 55/PUU-XVII/2019.
MK dalam putusan yang menolak uji materi terkait keserentakan pileg dan pilpres itu juga memberikan lima alternatif pilihan keserentakan dalam pilkada.
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Pasal 201 ay LPat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Kamis (13/10/2022) di Ruang Sidang Panel MK.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 95/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Muhammad Jaāfar Sukhairi Nasution, Bupati Mandailing Natal (Madina), Provinsi Sumatera Utara.
Persidangan tersebut digelar secara daring dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Suhartoyo. Dalam persidangan, Adi Mansar selaku kuasa hukum Muhammad Jaāfar Sukhairi Nasution (Pemohon) mengatakan, Pemohon adalah bupati Kepala Daerah Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara yang dilantik oleh Gubernur Sumatera Utara atas nama Menteri Dalam Negeri tanggal 22 Juli 2021 yang bersamaan dengan beberapa Bupati Kepala Daerah Kabupaten lainnya di Sumatera Utara hasil pemungutan suara tanggal 9 Desember 2020 yang berlangsung secara demokratis.
āPemohon sejak dilantik pada tanggal 22 Juli 2021 berpandangan sesuai dengan UUD 1945 Pasal 22E akan menjabat selama 5 (lima) tahun. Tetapi berdasarkan UU 10/2016 khususnya Pasal 201 ayat (7) berbunyi āGubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan Tahun 2024ā dan ketentuan ayat (8) āPemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024ā,ā ujar Adi.
Adi menjelaskan hal tersebut sesuai dengan pendapat Saldi Isra dalam bukunya yang berjudul āPemilihan Umum Demokratisā Prinsip-prinsip Dalam Konstitusi Indonesia, Rajawali Pers, halaman XIV, menyatakan dalam perjalanannya, spirit Pasal 22E UUD 1945 mengalami penggembosan ketika pengaturannya diturunkan ke level undang-undang. Beruntung, UUD 1945 hasil perubahan menyediakan mekanisme untuk mengoreksi undang-undang apabila dinilai bertentangan dengan konstitusi, yaitu berupa pengujian (judicial review) ke MK.
Selain itu, ia juga mengatakan ketentuan Pasal 201 khususnya ayat (7) dan ayat (8) bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22E ayat (1) āPemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekaliā, sepanjang dimaknai bahwa frasa pasal tersebut berlaku bagi seluruh daerah baik provinsi maupun kabupaten dan kota di seluruh Indonesia berjumlah 514 Daerah Pemilihan ditambah daerah pemekaran baru.
Ketentuan tersebut Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) tidak akan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai tidak berlaku bagi Pemohon dan seluruh Kabupaten dan Kota yang melakukan pemungutan suara Tahun 2020.
Dikatakannya, Pemohon berkeyakinan pada Pilkada Tahun 2024 lebih tepat apabila 270 Daerah yang belum genap 5 (lima) tahun menjabat dilanjutkan hingga selesai waktu (masa) 5 (lima) tahun, baru kemudian untuk menunggu Pemilu Tahun 2029 seluruh kepala daerah yang habis masa baktinya dilanjutkan oleh Penjabat (PJ) hingga 2029.
Ia juga menegaskan, hak konstitusional Pemohon sangat dirugikan dengan berlakunya UU Pilkada khususnya Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) karena jelas Pemohon akan mengakhiri masa bakti sebagai Bupati Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara periode 2021 s/d 2026 walaupun belum sesuai dengan waktu pengabdian sebagaimana biasanya karena Pemohon pernah menjadi Wakil Bupati selama 5 (lima) tahun dan tidak pernah dikurangi satu hari pun juga karena sesuai dengan amanat konstitusi.
Dalam permohonannya, pemohon menegaskan Pemohon berpendirian walaupun Pilkada Tahun 2024 tetap dilaksanakan untuk Pemohon dan 270 Daerah lainnya di Indonesia yang Pemilukada Tahun 2020, untuk menghindari rasa kecewa dan keberatan rakyat, sebaiknya masa jabatan tetap diberlakukan sampai dengan 5 (lima) tahun dalam satu periode. Pilkada walau tetap dilaksanakan Tahun 2024 tetapi jabatan Pemohon dan 270 kepala daerah lainnya tetap berlanjut hingga 5 (lima) tahun penuh.
Sehingga dalam petitumnya Pemohon meminta kepada MK agar menyatakan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada āGubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan Tahun 2020 menjabat sampai dengan Tahun 2024ā dan āPemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024ā bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan batal serta tidak berlaku sepanjang dimaknai bagi Pemohon serta dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta pemohon untuk menyempurnakan kewenangan MK. Ketika menyebut kewenangan MK, pertama UU MK, UU Kekuasaan Kehakiman dan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dilengkapi dengan nomor UU-nya. āUU MK sudah ada perubahan sampai tahap ketiga, kemudian UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketiga. Jadi, disebut ya, diuraikan,ā ujar Wahiduddin.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta Pemohon untuk mempertegas legal standingnya. Ada persoalan yang menurut Suhartoyo perlu dijelaskan dalam permohonan ini yang berkaitan dengan legal standing yaitu, permohonan hanya diajukan oleh bupati tidak menyertakan wakil bupati.
āSebenarnya kan ada historis yang tidak bisa dilepaskan bahwa pencalonan sampai penetapan terpilih dan ketika sudah menjabat tidak bisa kemudian pasangan terpisahkan. Sampai pada titik diberhentikan juga hak konstitusionalnya sama antara bupati dan wakil bupati. Ketika hari ini hanya bupati saja yang mengajukan, apakah keutuhan itu ada pengaruhnya atau tidak, tolong nanti dijelaskan dalam legal standing,ā kata Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Adapun waktu penyerahan perbaikan adalah Rabu, 26 Oktober 2022 pukul 10.00 WIB. (Dari berbagai sumber berita)