Penulis Oleh: Hidayah Muhallim, Konsultan Sosial Politik pada PT. Penta Helix Indonesia
Pemilu 2024 masih 3 tahun lagi. Tetapi hawanya mulai terasa hangat. Para pengamat politik telah sibuk merumus paket-paket politik dan kalkulasi pasangan calon presiden-wakil presiden. Beberapa lembaga survei tingkat nasional dan lokal pun telah bergerak turun ke lapangan mengumpulkan opini masyarakat.
Jika rilis mereka tentang kecenderungan pemilih telah sampai kepada anda maka anda mesti bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Anggap saja sebagai sebuah pra-kondisi. Bila media sosial dan media mainstream dibanjiri promosi figur-figur baru atau nama-nama seperti Anies Baswedan, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, AHY, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, dan lain-lain, maka maklumi saja. Toh kita memang perlu tahu bagaimana kecenderungan pemilih saat ini dan figur-figur siapa yang layak tampil dalam ingatan publik.
Lalu spekulasi seputar pemilu 2024 pun mulai berkembang. Sebagian orang beranggapan bahwa pemilu 2024 kali ini akan lebih seru dibanding pemilu 2019. Sementara sebagian yang lain memprediksi bahwa pemilu 2024 bisa lebih brutal dari pemilu sebelumnya. Tetapi namanya saja spekulasi, bisa benar bisa salah.
Kita pun bertanya-tanya. Fenomena macam apakah yang sedang terjadi sehingga hal-hal yang terkait pemilu politik selalu menjadi menarik? Ataukah “politik” sudah menjadi konsumsi pokok sehingga ia akan selalu hadir dalam ruang publik? Padahal bau pemilu 2019 belum sepenuhnya hilang, dan pilkada 2020 masih terasa fresh dalam ingatan kita.
Lantas mengapa pemilu 2024 sudah mulai dihangat-hangatkan? Atau jangan-jangan masyarakat malah jenuh dengan politik yang “begitu-begitu” saja. Belum lagi bengkalaian pemilu lalu masih menyisakan kekecewaan, kesedihan, bahkan luka. Apakah untuk segera melupakan noda-noda itu maka mereka mulai membicarakan pemilu 2024 sebagai oase baru, dengan materi, formula, topik, dan figur yang juga baru?
DISRUPSI PEMILU
Bahwa politik itu adalah seni dan memiliki tujuan mulia. Bahwa politik itu adalah sesuatu yang lentur yang bisa digunakan secara baik, tetapi jikalau politik digunakan secara kasar dan serampangan maka ia akan menjadi sesuatu yang buruk yang dapat menciptakan kekacauan, kehancuran dan malapetaka bagi kehidupan berbangsa.
Dalam dinamikanya pun, proses politik atau pemilu itu pun selalu menghadapi berbagai gangguan (disruption) baik dari dalam atau dari luar sistem. Gangguan itu bisa saja berupa hoax, money politik, kriminalisasi lawan politik, politik identitas yang digunakan secara tidak pas atau yang lainnya. Nah, disrupsi pemilu politik semacam itu jika dibiarkan maka ia tidak hanya menjadi sampah-sampah berserakan yang mengotori rumah demokrasi kita tetapi lebih jauh ia akan menjadi sumber penyakit bagi kehidupan demokrasi politik yang kemudian mengalami pembusukan sebagaimana diistilahkan oleh Francis Fukuyama (2014) sebagai political decay.
Bagi Fukuyama, political decay menempatkan bahwa proses politik masih tetap berlangsung dalam kehidupan demokrasi politik tetapi ia menjadi perkara prosedural unsich yang minim kualitas. Menurutnya, pemilu tetap dilaksanakan seperti biasanya dimana lembaga demokrasi diperlengkapi dengan perangkat-perangkat pendukung serta media masih mendapatkan kebebasannya. Hanya saja keberpihakan pada keputusan politik masih tetap berada ditangan kekuasaan para oligarki ekonomi-politik.
Jadinya, tatanan kehidupan demokrasi yang dibangun susah payah dari proses-proses politik tidak akan mampu menciptakan stabilitas, kedamaian, dan keterbukaan sebagaimana yang kita harapkan bersama jika ia tidak bisa dikontrol dan dikendalikan dengan baik. Bahkan janji demokrasi untuk tegaknya keadilan, kesejahteraan, kebebasan, dan kemajuan peradaban bisa menjadi sulit dicapai secara maksimal.
ASA DEMOKRASI
Politik itu memang asyik. Makanya ia selalu diminati oleh banyak orang. Bahkan dalam kadar tertentu, politik itu bisa menjadi candu. Candu dalam artian sebagai suatu kegiatan politik atau semisal ritual politik tertentu yang dapat membangkitkan gairah, obsesi dan ilusi bagi pelakunya. Sebagai candu, ritual politik semisal aktifitas pemilu itu bisa membius. Ia bisa menciptakan euporia, ilusi kebahagiaan, serta dapat memompa adrenalin dan ambisi untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan politik atau untuk kepentingan lainnya secara berlebihan.
Untuk itu, agar pemilu sebagai proses dan ritual politik mesti memiliki aturan main yang standar, bisa dijalankan dan kontrol dengan baik sehingga ia tidak memuat hal-hal yang tidak perlu. Karena jika prosesi pemilu itu berlangsung dengan baik maka akan mendatangkan hasil yang baik pula yang dipercaya akan bisa menghilangkan sumbatan-sumbatan dan penyakit politik yang telah eksis selama ini.
Sekalipun banyak orang menyadari bahwa pemilu sebagai event politik juga akan selalu menyisakan kekecewaan, kesedihan, kemarahan, dan luka saat atau seusai pesta demokrasi itu digelar. Namun tak lama, kehidupan masyarakat pun akan berjalan normal dan orang-orang pun akan deman dan sibuk lagi membicarakan pemilu berikutnya. Entah itu untuk melupakan noda-noda atau bekas luka pemilu sebelumnya, atau sekedar untuk membangun harapan dan optimisme baru sambil berburu benefit atau mencari hiburan pada pesta itu.
Nah, jika sudah demikian, maka sungguh kita telah sampai pada era posdemokrasi seperti yang dikemukakan oleh Colin Crouch (2004). Pada era posdemokrasi, Crouch menemukan bahwa masyarakat masih menikmati hak politiknya dan menggunakan institusi-institusi demokrasi serta mampu merasakan kebebasan media sambil menyaksikan kekonyolan para wakil rakyat dan menggossipi para politisi serta penguasa yang zalim kemudian mentertawakan mereka tanpa beban dan rasa bersalah. Namun, ketika pemilu politik diselenggarakan lagi, mereka ikut memilih sebagaimana lazimnya.
Demikianlah kehidupan demokrasi politik itu, ia akan selalu dapat memunculkan sikap pesimis dan optimis sekaligus. Namun yang terpenting dari itu adalah bagaimana memastikan diri kita bisa selalu berada pada sisi optimis dari demokrasi itu. Toh kita masih bisa menyaksikan betapa banyak orang masih menaruh harapan baik pada demokrasi. Yaitu demokrasi yang sehat dan bermutu yang dapat memberi ruang bagi lahirnya tokoh-tokoh politik yang mumpuni. Yaitu kehidupan demokrasi yang mampu mewujudkan ekspektasi masyarakat untuk bisa hidup tertib, damai, bebas, adil, sejahtera, dan berperadaban maju.
Meski kita pun tidak bisa menutup mata jika masih banyak kekecewaan dan ketidakpuasan yang selalu muncul menginterupsi keberlangsungan demokrasi politik sejauh ini. Semisal tindakan-tindakan despotik yang masih terus berlangsung yang justru dilakukan oleh para penguasa untuk melancarkan tekanan terhadap kelompok kritis, pesaing, penantang, atau pihak media yang tidak searah dengan mereka. Yang mana hal semacam itu pula yang kadang membuat masyarakat menjadi frustrasi dan kehilangan asa pada demokrasi. Padahal sejatinya para penguasa sebagai pemegang mandat rakyat harus bisa tampil menjadi pelindung yang dapat menjamin hak-hak warga negara.
Proses politik melalui pemilu yang memerlukan biaya dan energi yang cukup besar diharapkan akan menghasilkan pemerintahan yang bukan hanya sah tapi mumpuni. Tetapi jika kemudian pemilu itu memunculkan kekecewaan dan ketidakpuasan masyarakat karena tampilnya oligarki-ligarki dan penguasa otoriter yang zalim sebagai hasil pemilu maka demokrasi itu akan berubah wujud menjadi tirani. Sementara untuk menjatuhkan atau mengganti suatu pemerintahan yang sah ditengah jalan akan sangat beresiko dan tidak bisa dianggap sebagai solusi yang bijak. Bahkan prosedur dan mekanisme politik yang konstitusional sangat rumit untuk itu.
Pemilu yang digelar secara periodik dengan pembatasan-pembatasan rasional dan terukur adalah merupakan proses politik resmi dalam sistem demokrasi politik. Tidak penting apakah itu model demokrasi liberal, demokrasi sosial, atau demokrasi pancasila. Tetapi jika kita masih memiliki asa terhadap proses dan sistem demokrasi maka kita akan percaya diri dan sanggup mengatasi disrupsi pemilu politik apapun agar kehidupan demokrasi politik bisa tumbuh dan berkembang dengan sehat dan maju untuk Indonesia yang lebih baik.
Semoga pemilu 2024 adalah pemilu yang menggembirakan, mempesona, berkualitas, dan bermartabat.