LEGIONNEWS.COM -MAKASSAR, Front Mahasiswa Timur Indonesia (FMTI) dan Literasi Anak Maluku (LAM) kembali mengadakan diskusi PAPEDA ‘Papua Perlu Damai jilid II’. Kegiatan itu digelar di Cafe Pelangi Botolempangan kota Makassar, Sulawesi Selatan. Jumat (3/08/2024).
Diskusi itu bertemakan Papera dan Papua dari perspektif Hukum dalam bingkai NKRI. Dihadiri ratusan peserta.
Moderator diskusi, Juliana Novly Ratuanik, Mahasiswa asal Maluku itu sebagai pemantik bergabungnya Papua menjadi bagian Indonesia lewat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 14 Juli – 4 Agustus 1969.
Juliana menyebut hasil Pepera tahun 1969 hingga saat ini keabsahan prosesnya masih sering di permasalahkan oleh sebagian orang bahkan beberapa kelompok yang menjadikan Pepera seolah-olah menjadi sejarah yang tidak pernah diselesaikan.
“Tema yang kami ambil dalam diskusi PAPEDA kali ini untuk menyamakan pendapat dan pandang tentang sah nya Papua didalam NKRI,” ucap Juliana.
Ketua umum Brigade Muslim Indonesia (BMI) Muhammad Zulkifli tampil sebagai pembicara pertama. Dia mengatakan Papua sudah final sebagai bagian dari NKRI dan itu sudah diakui oleh PBB.
“Papua itu sudah final sebagai bagian dari NKRI dan itu sudah diakui oleh PBB,” ujar Zulkifli.
Dikatakannya seluruh rakyat indonesia, Pemerintah dan aparat penegak hukum serta TNI sangat berkeinginan Papua dalam perdamaian tanpa harus ada konflik sesama anak bangsa.
“Semua rakyat Indonesia sangat menginginkan Papua itu damai tidak ada konflik di pulau terbesar di indonesia. Buktinya, Pemerintah terus memberikan perhatian yang cukup serius tentang kemajuan pendidikan di Papua,”
“Salah satu contoh dengan memberikan 8000 beasiswa Afirmasi untuk kuliah di kampus – kampus yang berada di kota study, seperti di Kota Makassar inj,” terang Ketua Umum BMI itu.
Ditambahkannya, Konflik di Papua adanya kepentingan global yang terus diisukan oleh negara besar mengingat Papua memiliki sumber daya alam yang tegas.
Didalam diskusi itu Zulkifli menyinggung soal Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kecenderungannya lebih memilih membela kelompok mahasiswa pro Papua Merdeka.
- BACA JUGA:
Balik dari Kediaman Airlangga, Lewerissa-Ramly Tersenyum Lebar Bawa Rekomendasi Partai Golkar
“Seperti LBH yang ada di kota Makassar ini. Sepertinya patut diduga mendukung kelompok mahasiswa yang pro separatis OPM, Hal seperti ini harus menjadi musuh bersama,” beber mantan aktivis mahasiswa fakultas teknik sipil Universitas Muslim Indonesia ini.
Merespon pernyataan Ketua Umum BMI, Dami Were yang juga Ketua IPMM mengatakan terkait dengan Pepera dirinya dan masyarakat Asli Orang Papua (OAP) cukup memahami hal itu.
“Kami bahkan orang orang tua kami paham sejarah lahirnya Pepera. Hari pertama pelaksanaannya diadakan di daerah kami (Merauke) itu di tanggal 14 Juli 1969 diantara 8 kabupaten lainnya yang ada di tana papua sebagai perwakilan,” imbuh Dami Were.
“Kami selaku OAP selama sekian tahun bergabung dengan NKRI , mengalami berbagai perkembangan walaupun diiringi dengan hal hal yang terkadang menimbulkan polemik, sangat perlu duduk bersama dari semua element bangsa dengan melibatkan semua warga yang berdomisili di Papua baik OAP maupun Non OAP, Tentu dengan mewujudkan harmonisasi menuju Papua Damai,” harap Ketua IPMM ini.
Setelah Ketua IPMM, Tangguh Eka B.A. Ilham ikut bicara. Sekretaris GBNN Sulsel itu mengatakan, Konflik Papua bukan hanya tugas TNI/ Polri saja.
Dikatakannya banyak masalah yang kompleks seperti pembangunan infrastruktur yang kurang namun yang lebih penting adalah pembagunan sumber daya manusia meliputi di bidang kesehatan dan akses untuk mendapatkan pendidikan yang modern.
“Selain hal yang saya sebutkan diawal tadi. Perlu pelurusan sejarah yang benar bahwa Papua bagian dari NKRI,” beber Sekretaris GBNN Sulsel itu.
Mendengar pernyataan Sekretaris GBNN Sulsel itu. Riko Biraku mahasiswa asal Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan mengatakan dirinya tidak memungkiri bahwa mahasiswa asal papua merasa terbantu dengan batuan pendidikan yang difasilitasi oleh negara lewat pemerintah daerah untuk memajukan sumber daya manusia (SDM) orang asli Papua,
“Papua bagian barat bila di bandingkan dengan saudara kami di Papua New Guinea (PNG) dan begitu juga Timor Leste cukup jauh berbeda dalam hal pembangunan dan kesejahteraan,” ujar Riko
“Story sejarah sejak masa kolonial yang membuat kami berbeda. PNG sebagai koloni inggris, Timor Leste sebagai koloni Portugis. Sedangkan papua barat sebagai koloni Belanda,” beber dia.
Tampil sebagai penutup dalam diskusi Papeda itu pakar Hukum Internasional dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
Ishak Rahman S.IP., M.SI., Ph.D (Cand) dalam penyampaiannya menjelaskan bahwa membahas Papua dari 3 hal mengenai historis. Hal pertama aspek politik dan aspek yuridis kebanyakan selalu mengawalinya dari Pepera 1969.
“Yang seharusnya ditarik ke belakang itu, Kekalahan belanda terhadap Jepang, Kemudian kemerdekaan Indonesia dengan meliputi beberapa daerah sesuai sidang BPUPKI dengan berpandangan sesuai azas hukum Internasional (Utis Posedetis Yuris) dimana kemerdekaan berdasar semua bekas jajahan/Koloni yang sama,”
“Di satu sisi belanda masih berat hati untuk melepaskan Papua Barat terlihat dari isi perjanjian KMB 1949 dan belanda selalu mengingkari janjinya atas pertimbangan kekayaan untuk dieksploitasi kelak oleh mereka,
“Kemudian menimbulkan ketegangan. Indonesia yang mendapat dukungan dari Uni Soviet kemudian menggelar operasi militer dan mengantarkan ke Perjanjian New York yang diprakasai oleh AS,
“Nah disitu di mulainya integrasi Papua pada 1 Mei 1963 berlanjut Pepera pada tahun 1969 dengan hasil Rakyat Papua memilih bergabung dengan RI,” terang pakar hukum internasional dari Unhas itu.
Dijelaskan oleh pakar hukum internasional itu, Proses act of free choice /PEPERA yang dilakukan pada tahun 1969 adalah proses yang sah karena telah memperhatikan berbagai prinsip internasional.
“Harus di ingat bahwa, PBB sekalipun tidak bisa melakukan intervensi terhadap kedaulatan suatu negara. Karena itu ada prinsip internasionalnya yaitu non-intervention dan territorial integrity yang tertuang dalam piagam PBB,” tegas Ishak Rahman.
Diskusi Papeda itu juga di isi dengan tarian ada dari Maluku dan Papua oleh sejumlah mahasiswa asal timur Indonesia. (**)