LEGIONNEWS.COM – Revisi Udang Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) Nomor 34 Tahun 2004 telah disahkan di undangkan oleh DPR dalam sidang paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani setelah mendapatkan persetujuan fraksi dan anggota DPR. Kamis (20/3/2025).
Banyak pihak memaknai hal ini sebagai tanda kebangkitan dwifungsi TNI.
Lantas, apa sebenarnya dwifungsi TNI itu?
Konsep “Jalan Tengah” yang menjadi cikal bakal Dwifungsi ABRI diperkenalkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat, AH Nasution, pada November 1958.
Dalam pidatonya di dies natalis AMN (Akademi Militer Nasional) di Magelang, ia menyampaikan gagasan bahwa militer sebagai kekuatan politik berhak berperan dalam pemerintahan berdasarkan asas kekeluargaan.
- BACA JUGA:
Menko Perekonomian sebut Presiden Perintahkan Fokus pada Penguatan di Sektor Industri Padat Karya
Pemikiran ini muncul karena kegagalan politisi sipil dalam merumuskan kebijakan dan adanya rasa saling curiga antara tentara dan politikus yang menyebabkan ketidakstabilan politik.
Nasution menekankan bahwa TNI, khususnya Angkatan Darat, tidak akan memerintah sebagai pemerintahan militer, tetapi juga tidak akan menjadi alat pasif bagi politikus. Tujuannya adalah agar militer terlibat dalam membina negara dan menjaga stabilitas, bukan merebut kekuasaan.
Konsep ini berlanjut dengan Dekret Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959, yang memberikan landasan konstitusional bagi peran politik ABRI sebagai golongan fungsional dan kekuatan sosial politik.
Pada 1962, ABRI membentuk koramil di setiap kecamatan, babinsa di setiap desa, dan resimen mahasiswa di kampus.
Konsep ini dimatangkan melalui doktrin Tri-Ubaya Cakti, hasil Seminar Angkatan Darat I (1965) dan II (1966) di Bandung. Fungsi sosial dan politik ABRI kemudian ditetapkan melalui TAP MPRS No. XXIV/MPRS/1966 pada 5 Juli 1966.
Dwifungsi ABRI di Era Orde Baru
Implementasi konsep “Jalan Tengah” oleh Soeharto di era Orde Baru jauh melampaui gagasan AH Nasution. Dwifungsi ABRI diartikan sebagai peran ganda tentara, yaitu sebagai alat pertahanan dan kekuatan politik praktis.
Tujuan awalnya adalah agar politisi sipil dan militer terlibat bersama dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan politik demi stabilitas negara. Namun, Presiden Soeharto memanfaatkan Dwifungsi ABRI untuk mempertahankan kekuasaannya selama tiga dekade.
Setelah Soeharto berkuasa, banyak tokoh militer menduduki jabatan strategis seperti menteri, gubernur di 22 dari 26 provinsi, duta besar, bupati, hingga level desa.
Pada 1967, anggota ABRI mendapat 43 kursi gratis di DPR. Kursi DPRD pun seringkali tidak diisi oleh putra daerah.
Militer juga berperan dalam pembentukan Golongan Karya (Golkar) yang menjadi partai pemerintah Orde Baru. ABRI bahkan diwajibkan memenangkan Golkar dalam setiap pemilu.
Selain itu, militer juga menguasai bisnis, termasuk sektor ekonomi strategis seperti BUMN Pertamina dan Bulog.
Setiap angkatan juga membentuk yayasan dan koperasi, contohnya Yayasan Kartika Eka Paksi milik Angkatan Darat yang memiliki 26 perseroan terbatas.
Penghapusan Dwifungsi ABRI
Dominasi militer terhadap sipil akibat Dwifungsi ABRI bertentangan dengan prinsip demokrasi. Kritik internal terhadap Dwifungsi ABRI muncul setelah Soeharto terpilih kembali pada periode 1978-1983. Kritik dari masyarakat juga menguat karena banyaknya penyelewengan dan ketidakcakapan tentara di jabatan sipil.
Dwifungsi ABRI menjadi salah satu tuntutan mahasiswa saat Reformasi 1998. Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, tekanan untuk menghapus Dwifungsi ABRI terus meningkat.
Pada Juli 1998, TNI meninjau ulang peran sosial politiknya. Istilah Dwifungsi ABRI tidak lagi digunakan dan perubahan fungsi militer dilakukan bertahap.
Pada rapat pimpinan 19-20 April 2000, diputuskan bahwa tentara keluar dari jalur politik dan fokus sebagai komponen utama pertahanan negara.
Sejarah Dwifungsi ABRI berakhir di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah reformasi, peran tentara dibatasi hanya pada pengelolaan koperasi.
Kekhawatiran Kebangkitan Dwifungsi
Hampir 27 tahun setelah Reformasi 1998, kekhawatiran akan hidupnya kembali dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI muncul. Revisi UU TNI berencana memperluas jumlah kementerian dan lembaga yang dapat diduduki oleh anggota aktif TNI dari 10 menjadi 16, bahkan kemudian bertambah menjadi 17.
Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, hanya 10 kementerian/lembaga yang dapat diisi anggota TNI aktif, yaitu Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Sekretaris Militer Presiden, Pertahanan Negara, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search And Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Dalam draf revisi UU TNI, ada lima tambahan kementerian/lembaga, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.
Kemudian, pada 15 Maret 2025, Komisi I DPR menambahkan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) sebagai lembaga ke-17 yang dapat diduduki anggota TNI aktif.
Revisi UU TNI ini memungkinkan prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan di kementerian/lembaga tersebut tanpa harus mengundurkan diri dari kedinasan. (Sumber: National Geographic Indonesia)