
LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Republik Indonesia (Kemenko PM), terus memperkuat peran koordinasi lintas sektor dalam mendukung implementasi program prioritas Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, khususnya pada daerah tertinggal dan daerah tertentu.
Komitmen tersebut tercermin dalam pelaksanaan Rapat Koordinasi Implementasi Program Prioritas dan Pengentasan Kemiskinan pada Daerah Tertinggal dan Daerah Tertentu Tahun 2025 yang digelar di Hotel Four Points by Sheraton Makassar, Jumat (19/12/2025).
Penyelenggara kegiatan, yang diwakili Asisten Deputi Pemberdayaan Masyarakat Daerah Tertinggal, Leo Efriansa, dalam laporannya menyampaikan bahwa kegiatan ini difokuskan untuk membahas berbagai program pemerintah pusat yang akan dilaksanakan ke depan.
Beberapa program prioritas yang menjadi perhatian utama antara lain Program Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, serta Koperasi Merah Putih.
“Program-program ini, diharapkan dapat diimplementasikan secara optimal, khususnya di daerah tertinggal dan daerah tertentu yang memiliki tantangan pembangunan cukup kompleks,” ujarnya.
Rapat koordinasi ini bertujuan mengidentifikasi berbagai permasalahan yang dihadapi dalam implementasi program prioritas nasional, sekaligus merumuskan strategi percepatan pelaksanaan program di daerah tertinggal dan daerah tertentu, termasuk wilayah transmigrasi, terdepan, dan terluar (3T).
Dalam forum tersebut ditekankan pentingnya kolaborasi yang kuat antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta seluruh pemangku kepentingan guna memastikan program prioritas nasional berjalan efektif, tepat sasaran, dan berkelanjutan.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat memiliki tugas menyelenggarakan sinkronisasi, koordinasi, serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pemberdayaan masyarakat.
Menurutnya, daerah tertinggal dan daerah tertentu menghadapi tantangan yang tidak sederhana, baik dari aspek geografis, keterbatasan infrastruktur, kapasitas fiskal daerah, maupun akses terhadap layanan dasar.
“Oleh karena itu, dibutuhkan penguatan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian lintas sektor agar program prioritas nasional benar-benar memberikan dampak nyata bagi masyarakat,” jelas Leo Efriansa.
Rapat koordinasi ini diikuti oleh peserta dari 30 daerah tertinggal dan sangat tertinggal, 43 daerah tertentu, serta perwakilan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan lima daerah kawasan metropolitan Makassar Raya (MAMMINASATA).
“Kegiatan dilaksanakan secara hybrid, yakni luring dan daring, guna menjangkau lebih banyak daerah,” tuturnya.
Lanjut dia, Pemilihan Kota Makassar sebagai lokasi kegiatan didasarkan pada pertimbangan strategis. Makassar dinilai sebagai pusat transit dan titik temu yang relatif mudah diakses oleh daerah-daerah tertinggal, khususnya dari wilayah Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera.
Selain itu, Provinsi Sulawesi Selatan juga dinilai memiliki capaian signifikan dalam implementasi program prioritas nasional, terutama Program Sekolah Rakyat.
Sulsel tercatat menempati peringkat ketiga terbanyak secara nasional setelah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dimana, saat ini di Provinsi Sulawesi Selatan telah terimplementasi 16 Sekolah Rakyat.
“Selain itu, akan dibangun sekitar 6 hingga 9 Sekolah Rakyat tambahan pada tahun 2025–2026, belum termasuk rencana pembangunan sekitar 100 Sekolah Rakyat pada tahun 2026,” ungkap Leo.
Capaian tersebut diharapkan dapat menjadi benchmark sekaligus praktik baik yang dapat direplikasi oleh daerah lain dalam mengimplementasikan program prioritas nasional.
Melalui rapat koordinasi ini, Kemenko PM berharap terbangun kesepahaman yang kuat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait arah kebijakan, pembagian peran, serta langkah-langkah strategis percepatan pembangunan daerah tertinggal dan daerah tertentu.
Adapun hasil yang diharapkan dari kegiatan ini antara lain terbangunnya komitmen lintas kementerian dan lembaga, tersusunnya bahan evaluasi pelaksanaan program prioritas daerah tertinggal tahun 2025.
Serta dirumuskannya strategi percepatan pembangunan untuk tahun-tahun mendatang, termasuk pembentukan tim koordinasi lintas kementerian.
“Melalui forum koordinasi ini, kami berharap pelaksanaan program prioritas nasional dapat semakin terintegrasi, tepat sasaran,” katanya.
“Dan memberikan dampak nyata dalam menurunkan angka kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tertinggal dan daerah tertentu,” tutup Leo Efriansa.
Sedangkan, Deputi Pemberdayaan Masyarakat Daerah Tertinggal Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Republik Indonesia, Prof. Abdul Haris, menegaskan pentingnya penguatan koordinasi lintas sektor dan perubahan paradigma pembangunan dalam upaya percepatan pengentasan kemiskinan, khususnya di daerah tertinggal dan daerah tertentu.
Dalam sambutannya membuka kegiatan, Prof. Abdul Haris mengawali dengan mengajak seluruh peserta untuk mendoakan para korban bencana alam yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia, khususnya Sumatera Utara, Sumatra, dan Aceh.
“Suasana bangsa Indonesia saat ini memang dalam kondisi keprihatinan. Mari kita bersama-sama mendoakan saudara-saudara kita yang sedang tertimpa musibah agar diberi ketabahan, kekuatan, dan segera bangkit serta pulih,” ajakannya.
“Di saat yang sama, kita yang berada di sini tetap harus menjaga semangat berkarya dan memikirkan bagaimana membantu proses pemulihan dan rehabilitasi,” sambung dia.
Prof. Abdul Haris juga memperkenalkan keberadaan Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat sebagai kementerian baru dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Ia menjelaskan bahwa kementerian ini memiliki dua mandat utama, yakni pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. Lanjut dia, Kemenko PM adalah kementerian baru, dengan dua tugas besar, yaitu mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan masyarakat.
“Intinya adalah bagaimana mengupayakan kesejahteraan rakyat dan kesejahteraan bangsa Indonesia,” tegasnya.
Ia menambahkan, semangat kerja Kemenko PM sejalan dengan arahan Menko Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, yang kerap menegaskan bahwa setiap rupiah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Abdul Haris menegaskan bahwa peserta rapat koordinasi merupakan para agen perubahan yang berada di garda terdepan pemberdayaan masyarakat di daerah.
Oleh karena itu, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci dalam merumuskan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat.
Pemerintah, lanjutnya, telah menetapkan target pengentasan kemiskinan ekstrem yang cukup ambisius, yakni nol persen pada tahun 2026. Saat ini, jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia masih berkisar hampir 3 juta jiwa.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa kondisi geografis Indonesia yang rawan bencana menjadi tantangan tersendiri dalam upaya tersebut. Bencana alam tidak hanya menimbulkan kerusakan fisik, tetapi juga berpotensi meningkatkan angka kemiskinan.
“Bencana bisa membuat masyarakat yang seharusnya sudah mulai mandiri kembali jatuh miskin karena kehilangan rumah, infrastruktur, dan harta benda. Secara statistik, ini tentu berpotensi menambah angka kemiskinan,” jelasnya.
Untuk itu, Prof. Abdul Haris menekankan perlunya memperluas dan memperkuat strategi pembangunan, khususnya bagi 30 daerah tertinggal yang masih menghadapi keterbatasan infrastruktur, kapasitas fiskal, dan kualitas sumber daya manusia.
Ia juga menyoroti perlunya perubahan pendekatan dalam penanganan kemiskinan. Selama ini, pemerintah masih memberikan porsi besar pada bantuan sosial yang bersifat karitatif.
Ke depan, pendekatan tersebut harus diimbangi dengan penguatan pemberdayaan masyarakat agar mampu meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan.
“Kita perlu melakukan paradigm shifting. Tidak hanya bantuan langsung, tetapi pemberdayaan masyarakat harus lebih ditekankan agar masyarakat bisa naik kelas,” tegasnya.
Dalam konteks tersebut, Kemenko PM membawahi enam kementerian teknis, antara lain Kementerian Koperasi, Kementerian Sosial, Kementerian Desa, Kementerian UMKM, Kementerian Ekonomi Kreatif, serta Kementerian P2E, yang seluruhnya berfokus pada peningkatan kapasitas dan kemandirian masyarakat.
Salah satu program prioritas yang menjadi perhatian adalah Akselerasi Desa Mandiri Pangan (ADMP) yang diemban oleh Kementerian Koperasi.
Program ini bertujuan membangun ekosistem ekonomi desa yang kuat dan berkelanjutan, sejalan dengan Asta Cita keenam, yakni membangun Indonesia dari pinggiran, dari bawah, dan dari desa.
“Pembangunan ekonomi nasional harus bergerak dari bawah, dari desa, agar lilin-lilin kesejahteraan dapat menyala di seluruh penjuru Nusantara,” tuturnya.
Prof. Abdul Haris menegaskan bahwa rapat koordinasi ini memiliki peran strategis dalam implementasi RPJMN 2025–2029 sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 dengan visi besar Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045.
Pemerintah menargetkan tidak ada satu pun wilayah atau kelompok masyarakat yang tertinggal dalam proses pembangunan nasional, termasuk daerah tertinggal, daerah transmigrasi, serta wilayah terdepan dan terluar.
“Tantangan tidak hanya pembangunan fisik, tetapi juga keterbatasan akses layanan dasar, rendahnya kualitas SDM, serta lemahnya kemandirian ekonomi masyarakat,” jelasnya.
Karena itu, percepatan pembangunan tidak boleh lagi bersifat sektoral dan parsial, melainkan harus dilakukan secara terpadu, kolaboratif, dan berbasis pada kebutuhan riil masyarakat di lapangan.
Prof. Abdul Haris juga mengingatkan bahwa pengentasan kemiskinan telah ditegaskan sebagai agenda prioritas nasional melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025. Pelaksanaannya harus dilakukan secara serius, terukur, dan berkelanjutan.
Dalam mendukung hal tersebut, pemerintah telah menetapkan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (Regsosek) sebagai basis perencanaan dan pelaksanaan program agar intervensi pemerintah tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.
“Keberhasilan program sangat ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu koordinasi lintas kementerian dan pemerintah daerah yang berkelanjutan, perencanaan berbasis data dan kondisi riil lapangan, serta pengendalian monitoring dan evaluasi,” pungkasnya. (*)
























