Oleh: Dzulfi Ainun Nur Aktivis KNPI/HMI Sulsel
LEGIONNEWS.COM – OPINI, Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia menundukkan kepala sejenak di hadapan sejarah. Di tanggal itulah, tahun 1928, sekumpulan pemuda dari berbagai penjuru nusantara mengucapkan ikrar suci, satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia. Ikrar itu bukan sekadar seruan persatuan, melainkan keputusan sadar untuk menembus batas suku, agama, dan daerah demi cita-cita besar: kemerdekaan dan kemajuan bangsa.
Kini, sembilan puluh tujuh tahun kemudian, semangat itu kembali diuji. Kita memang tak lagi dijajah oleh bangsa asing, tetapi sedang berhadapan dengan penjajahan gaya baru: hegemoni informasi, polarisasi politik, dan ketimpangan sosial-ekonomi. Di tengah gempuran teknologi dan derasnya arus digital, pemuda ditantang bukan hanya untuk melek informasi, tetapi juga bijak dalam menafsirkan makna kebangsaan.
Sumpah Pemuda hari ini tak boleh berhenti pada seremoni dan jargon. Ia harus menjelma menjadi gerakan moral baru gerakan pemuda yang berani berpikir kritis, menjaga kejujuran, dan membangun solidaritas lintas identitas. Di tengah masyarakat yang kerap terbelah oleh narasi kebencian, darah muda justru harus hadir sebagai perekat bangsa.
Visi Indonesia Emas 2045 yang digaungkan Presiden Prabowo memberi ruang besar bagi generasi muda untuk mengambil peran strategis. Namun peran itu tak akan berarti bila pemuda hanya sibuk di dunia maya tanpa karya nyata. Semangat “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa” perlu diterjemahkan dalam bentuk kolaborasi, inovasi, dan kepedulian sosial. Pemuda hari ini harus menjadi pelaku bukan sekadar penonton dari masa depan bangsanya sendiri.
Dunia berubah cepat. Teknologi, kecerdasan buatan, hingga perubahan iklim menuntut kehadiran generasi adaptif yang tak kehilangan akar budaya. Sumpah Pemuda memberi pesan abadi bahwa kemajuan tidak boleh memutus jati diri bangsa. Gotong royong, kesetaraan, dan cinta tanah air harus tetap menjadi fondasi perubahan.
Api Sumpah Pemuda harus terus dijaga agar tak padam oleh pragmatisme dan apatisme. Pemuda perlu menghidupkan kembali idealisme, menolak suap, menentang ketidakadilan, serta menegakkan nilai kebenaran di setiap ruang kehidupan. Dari kampus hingga kampung, dari media sosial hingga ruang publik semangat itu harus terus menyala.
Sebab darah muda adalah nadi bangsa. Bila ia berhenti berdenyut, berhenti pulalah kehidupan dalam tubuh Indonesia. Maka, nyalakan kembali api itu bukan sekadar untuk dikenang, tetapi untuk menerangi langkah menuju Indonesia yang adil, berdaulat, dan bermartabat. (*)

























