Bung Moel Memang Setia Menjadi Suara Kritis Terhadap Almamaternya

Andi A Mallarangeng Dosen Unhas 1987-2000.
Andi A Mallarangeng Dosen Unhas 1987-2000.

Penulis: Andi A Mallarangeng
Dosen Unhas 1987-2000.

OPINI, LEGION NEWS.COM – Bung Moel memang setia menjadi suara kritis terhadap almamaternya, Unhas. Sejak saya mengenalnya, ketika dia masih mahasiswa.

Saya senang bahwa telah banyak kemajuan di Unhas dan makin mengokohkan dirinya sebagai universitas terbaik di Indonesia Timur dan semakin diperhitungkan secara nasional.

Banyak alumni Unhas yang sekarang berkiprah secara nasional. Bahkan, walaupun Bung Moel skeptis, banyak juga guru besar Unhas yang berkiprah sebagai pejabat tinggi negara di berbagai kementerian.

Advertisement

Tapi, saya sepakat, bahwa ada elemen-elemen di Unhas yang hanya berpikiran lokal, sudah puas dengan peran Unhas sebagai universitas terbesar di Indonesia Timur, dan tidak percaya diri bahwa Unhas bisa berkiprah sebagai universitas bertaraf nasional, walau bertempat di daerah.

Sebagai kontras, UGM, ITB, IPB, selalu merasa sebagai universitas nasional walaupun tempatnya di daerah. Isu-isu yang di bahas di kampus, selain isu daerah, adalah isu-isu nasional yang sedang hangat. Para mahasiswa pun pikirannya sama. Kalau UI, sudah jelas, karena letaknya dan namanya sudah menegaskannya.

Dalam beberapa dekade terakhir, Unair, UNIBRAW, ITS, UNPAD, Undip, bahkan UNS, juga sudah berperilaku yang sama dengan UI, UGM, ITB, dan IPB.

Ketika saya menjadi dosen di Unhas, sebagai alumni UGM, saya selalu mengajak mahasiswa saya untuk memikirkan isu-isu nasional dan global, selain isu yang khas daerah Sulsel dan Indonesia Timur. Dan pada dasarnya, mahasiswa Unhas pun sangat responsif terhadap berbagai isu nasional.

Ketika isu reformasi mulai bergulir, mahasiswa Unhas, ribuan jumlahnya, termasuk yang paling pertama turun ke jalan mendukung reformasi. Waktu itu, bersama beberapa dosen muda kami mengawal para mahasiswa agar jangan sampai bentrok dengan aparat.

Saat itu, sebagai doktor ilmu politik yang baru kembali dari Amerika, saya melihat bahwa ini adalah proses perubahan rejim dalam rangka transisi demokrasi.

Saat itu pula saya mengusulkan kepada Rektor Unhas saat itu, Prof DR Radi A Gani, untuk secara terbuka membuat pernyataan mendukung gerakan reformasi yang sedang melanda seluruh negeri. Saya bahkan telah menyiapkan naskah yang perlu dibacakan oleh Rektor. Bahkan, saudara Uceng , yang saat itu sebagai reporter RCTI dan belakangan menjadi Jubir Wapres JK, serta berbagai media lain telah siap untuk merekam dan menyiarkannya.

Sayang, walaupun Pak Rektor tertarik, tapi beberapa Guru Besar dan dosen senior mencegah dan tidak setuju. Alasannya, dan saya masih ingat betul, “ini bukan porsi Unhas.”

Akhirnya, walaupun kami mendebat para Gubes dan dosen senior, Pak Rektor tidak jadi membuat pernyataan. Kami para dosen muda yang mengawal mahasiswa sangat kecewa dan merasa bahwa ini adalah kesempatan langka yang hilang. Missed opportunity.

Benar saja, beberapa hari setelah itu, Rektor UGM saat itu, Prof Ikhlasul Amal, memberikan pernyataan terbuka mendukung gerakan reformasi. Pernyataan itu disiarkan media secara luas dan akhirnya Pak Ikhlasul Amal disebut sebagai salah seorang Bapak Reformasi Indonesia dan menempatkan UGM dalam sejarah sebagai pusat gravitasi gerakan reformasi dan transisi demokrasi di Indonesia.

Sebagai alumni UGM saya bangga Rektor UGM menjadi ujung tombak transisi demokrasi di Indonesia. Tapi sebagai dosen Unhas waktu itu, saya sedih karena mestinya Rektor Unhas yang berada pada posisi itu. Sayang sekali.

Suatu waktu, ketika saya sudah berkiprah di Jakarta, ikut serta membuat RUU Politik yang menjadi landasan pemilu demokratis era reformasi, saya sebagai narasumber di UI tentang transisi demokrasi. Seorang mahasiswa bertanya kepada saya: “Bapak bicara demokrasi, tapi di mana Bapak ketika mahasiswa berada di jalan untuk menurunkan rejim Orde Baru?”

Saya sedih dengan pertanyaan itu. Karena kami yang turun ke jalan bersama mahasiswa Unhas di Makassar tidak dikenal oleh mahasiswa di Jakarta. Berbeda dengan dosen-dosen dari UGM dsb. Tapi saya jawab juga pertanyaan itu dengan baik: “saya bersama dengan ribuan mahasiswa Unhas berada di jalan berhari-hari. Tapi Anda tidak tahu karena TV nasional tidak meliputnya.”

Dalam hati saya berkata, kalau saja waktu itu Rektor Unhas yang pertama menyampaikan dukungan terhadap gerakan reformasi sebagai bagian dari transisi demokrasi di Indonesia, mungkin pertanyaan semacam ini tidak perlu muncul.

Tapi jalan sejarah memang tidak mengikuti apa yang kita inginkan. Saya hanya berharap bahwa Rektor Unhas, para Guru besarnya, dan segenap civitas akademika, menetapkan peta jalan Unhas menjadi universitas nasional bertaraf internasional yang berlokasi di Indonesia Timur. Apalagi, Ibukota baru Indonesia sudah semakin dekat ke Timur.

Advertisement