LEGION NEWS.COM – Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum digugat oleh mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) dan Ketua DPD RI LaNyalla Mattaliti menggugat presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya berharap aturan yang tertuang dalam Pasal 222 UU Pemilu itu dihapus.
“Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi petitum pemohon yang dikutip dari berkas permohonan yang dilansir website MK, Minggu (27/3/2022)
Ikut pula menandatangani permohonan itu Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Mahyudin dan Sultan Baktiar Najamudin. Menurut pemohon, meskipun telah terdapat 19 putusan pengujian Pasal 222 UU Pemilu terhadap UUD 1945, hanya 3 putusan yang pokok perkaranya dipertimbangkan. Sementara 16 sisanya dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvantkelijke verklaard) sehingga pokok perkaranya tidak dipertimbangkan. Jika pun dipertimbangkan, MK hanya menyatakan pertimbangan dalam Putusan 53/PUU- XV/2017 berlaku mutatis mutandis.
“Atas dasar tersebut, maka Para Pemohon hanya akan memaparkan batu uji dan alasan permohonan yang berbeda terhadap 3 permohonan yang pokok perkaranya dipertimbangkan,” ujar pemohon.
Yusril menyebut partainya dalam Pemilu 2019 meraih suara sebanyak 1.099.849 (satu juta sembilan puluh sembilan ribu delapan ratus empat puluh sembilan) atau sebesar 0,79% (nol koma tujuh puluh sembilan persen) dari total suara yang telah ditetapkan KPU.
“Sebagai partai politik peserta pemilu, Pemohon II seharusnya memiliki hak konstitusional untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Namun hak tersebut menjadi berkurang akibat berlakunya Pasal 222 UU Pemilu yang menambahkan syarat perolehan suara sebanyak 20 persen. Hal yang mana bertentangan dengan apa yang ditentukan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,” beber Yusril.
Menurut pemohon, Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan prinsip negara hukum, presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan pemilu yang periodik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Ketiga pasal UUD 1945 di atas mengandung makna perubahan dimungkinkan sepanjang diinginkan oleh rakyat dan sesuai konstitusi.
“Keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu yang mensyaratkan ambang batas pengusungan calon Presiden dan Wakil Presiden sebesar 20% perolehan kursi di DPR RI atau 25% suara sah nasional, apalagi berdasarkan hasil pemilu sebelumnya, sama saja mengekang aspirasi rakyat untuk tidak berubah selama 5 tahun. Mana mungkin syarat pencalonan presiden tersusun dari hasil Pemilu 5 tahun sebelumnya. Tentu selama 5 tahun berjalannya pemerintah, terdapat perubahan aspirasi politik dari rakyat. Dan hal ini tidak terakomodir dengan hadirnya ketentuan Pasal 222 UU Pemilu,” tuturnya.
“Padahal kekuasaan yang cenderung bertahan lama tetap akan cenderung koruptif, dan karenanya membutuhkan pembaharuan,” tegas pemohon.
Karena itu, pasal 222 harus dihilangkan untuk membuka ruang lebih lebar bagi arus perubahan sesuai dengan dinamika dan aspirasi rakyat pemilih, yang lebih sesuai dengan esensi pemilihan presiden langsung oleh rakyat sebagaimana diamanatkan pasal 6A UUD 1945, dan pemilu yang periodik sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
“Berdasarkan argumentasi di atas, maka jelas terlihat bahwa keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945,” kata pemohon. (Sumber: Detik)