JAKARTA||Legion-news.com Dr. Benediktus Kabur Harman, S.H., M.H. atau biasa disapa Benny K Harman
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Fraksi Partai Demokrat mengatakan dalam unggahanya diakun media sosial mililnya, “Tiga kesalahan sasaran Kartu Prakerja. Baiknya KPK perlu mendalami masalah Kartu Prakerja ini. Setelah bongkar tuntas korupsi dana Bansos, mulailah bermain dgn kartu prakerja. Saya yakin KPK bisa. Memang impossible, but KPK can make it possible! Liberte! kutipan unggahan anggota Komisi III DPR RI. Selasa (26/1)
Dalam postingannya Benny K Harman mengikuti kutipan dari lokadata.id
Program kartu prakerja senilai Rp20 triliun sejatinya sangat penting untuk menopang pekerja yang kehilangan penghasilan di saat pandemi. Sayang, dari realisasi yang telah berjalan, alokasinya tidak maksimal alias kurang tepat sasaran.
Kementerian Keuangan mengumumkan, sampai 16 Oktober, program kartu prakerja telah terealisasi Rp19,87 triliun atau setara dengan 99,35 persen dari total anggaran Rp20 triliun. Kartu prakerja ini juga telah disalurkan hingga sekitar 5,59 juta peserta.
Kepada siapa disalurkan? Minggu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) membuka hasilnya berdasarkan hasil survei terkait “Pemanfaatan Sakernas Agustus 2020: Kartu Prakerja”. Dari temuan BPS, terungkap sejumlah hal yang mengindikasikan adanya kurang tepat sasaran dalam penyaluran kartu prakerja.
Pertama, dari sisi sebaran wilayah. Data BPS pada Agustus 2020 mengungkapkan lima wilayah yang pekerjanya paling banyak jadi pengangguran akibat pandemi, antara lain DKI Jakarta dan Bali. Masing-masing di dua provinsi tersebut ada penambahan jumlah pengangguran 4,4 persen dan 4,1 persen.
Sementara itu, prioritas penerima subsidi kartu prakerja justru yang terbesar berasal dari Jawa Barat, yaitu mencapai 16,9 persen. Kemudian baru disusul DKI Jakarta dan Jawa Timur.
Kartu Prakerja memprioritaskan sarjana, padahal pengangguran terbanyak berasal dari tamatan SD
Kedua, dari sisi tingkat pendidikan. Data BPS menunjukkan masyarakat yang kehilangan pekerjaan alias menjadi penganggur di saat pandemi ini, terutama dari tingkat pendidikan Sekolah Dasar. Jumlahnya ada 1,32 juta orang. Namun prioritas dari program kartu prakerja justru warga dengan tingkat pendidikan universitas ke atas.
Ketiga, berkenaan dengan status penerima kartu prakerja. Uniknya, 64,47 persen peserta adalah orang yang bekerja. Kemudian, yang termasuk bukan angkatan kerja mencapai 11,29 persen, dan pengangguran hanya 22,24 persen.
Mereka yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang masih sekolah, mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainnya selain kegiatan pribadi.
Data-data di atas menunjukkan bahwa kartu prakerja sulit dikatakan mampu menjadi penyangga bagi pengangguran akibat Covid-19.
Ini pula yang membuat Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah berang. Saat Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR minggu lalu, dia menyayangkan keputusan Project Management Office, lembaga pengelola kartu prakerja yang dibentuk Menko Perekonomian dalam merealisasikan program tersebut.
Seharusnya, kata Menteri Fauziyah, 2,1 juta korban PHK yang mendapat “karpet merah” alias prioritas dalam program kartu prakerja.
Tapi begitulah realisasinya. Setidaknya ada tiga keliru sasaran dalam program tersebut jika memang dimaksudkan menjadi penyangga di tengah krisis. Entah, jika memang ukuran keberhasilannya sekadar penyerapan atau menghabiskan anggaran. (**)