LEGIONNEWS.COM – BULUKUMBA, Kasus operasi tangkap tangan (OTT) Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah daftar hitam korupsi di sektor ketenagakerjaan. Noel ditangkap terkait dugaan pemerasan dalam pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), instrumen yang seharusnya menjadi benteng keselamatan pekerja.
Sorotan tajam datang dari Andi Massakili, aktivis K3 sekaligus Wasekum BADKO HMI Sulsel bidang Kesehatan Masyarakat. Ia menilai kasus Noel bukan sekadar persoalan personal, melainkan cermin rusaknya sistem sertifikasi K3 di Indonesia.
“Bagaimana mungkin sertifikasi yang menyangkut nyawa manusia bisa dijadikan ladang pemerasan? Lebih parah lagi, sertifikasi K3 umum hari ini bisa diikuti siapa saja, bahkan tanpa dasar pendidikan maupun pengalaman. Ini degradasi serius terhadap profesi K3,” tegas Massakili, Rabu (27/8/2025).
K3 sejatinya diatur secara jelas dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja serta diperkuat dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pemerintah juga menerbitkan Permenaker No. 26 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai pedoman teknis. Dalam aturan itu, sertifikasi K3 diberikan untuk memastikan tenaga kerja kompeten melaksanakan pengawasan dan penerapan K3 di tempat kerja.
Namun, praktik di lapangan justru menyimpang. Banyak lembaga pelatihan membuka kelas K3 umum tanpa seleksi ketat, bahkan bagi lulusan SMA tanpa latar belakang teknis. Menurut Massakili, hal ini merusak esensi K3 sebagai disiplin yang teknis dan multidisipliner.
“K3 itu bukan sekadar ikut pelatihan tiga hari lalu dapat sertifikat. Ia butuh pemahaman hukum, manajemen risiko, ergonomi, hingga kesehatan lingkungan kerja. Kalau yang tidak punya basic bisa ikut semudah itu, sertifikat hanya jadi kertas, bukan bukti kompetensi,” ujarnya.
Kritik ini kian relevan jika menilik data. BPJS Ketenagakerjaan mencatat sepanjang tahun 2023 terjadi 315.000 kasus kecelakaan kerja, meningkat dari 234.000 kasus pada 2021. Dari jumlah itu, sekitar 70% terjadi di sektor industri dan konstruksi, sektor yang seharusnya paling ketat dalam penerapan K3.
“Angka ini menunjukkan betapa krusialnya kualitas tenaga K3. Kalau orang yang tidak kompeten bisa mendapat sertifikat dengan mudah, maka jangan kaget kalau kecelakaan kerja tidak pernah turun,” kata Massakili.
Selain itu, kebijakan K3 umum yang terbuka tanpa prasyarat juga menciptakan ketidakadilan. Lulusan perguruan tinggi dengan konsentrasi K3 yang menempuh pendidikan bertahun-tahun harus bersaing dengan individu yang hanya ikut pelatihan singkat.
“Ini melecehkan profesi K3 sebagai bidang spesialis. Lebih berbahaya lagi, pekerja di lapangan jadi korban karena pengawas K3 tidak benar-benar kompeten,” tambahnya.
Sebagai penutup, Massakili menyerukan agar pemerintah tidak hanya membersihkan praktik korupsi di tubuh Kemenaker, tetapi juga segera meninjau ulang regulasi terkait pelatihan K3 umum.
“Harus ada standar minimal. Misalnya, peserta K3 umum setidaknya lulusan jurusan teknik atau punya pengalaman kerja relevan. Kalau tidak, sertifikasi K3 akan terus jadi komoditas murahan, sementara pekerja tetap bergelut dengan risiko kecelakaan,” pungkasnya. (*)

























