
Oleh: Makmur Idrus – Sesepuh GP Ansor Sulsel & Aktivis KNPI
LEGIONNEWS.COM – OPINI, Setahun sudah Mohammad Ramdhan “Danny” Pomanto tak lagi duduk di kursi Wali Kota Makassar. Setelah dua periode menakhodai ibu kota Sulawesi Selatan, ia kini memasuki masa jeda masa di mana seorang pemimpin biasanya menata langkah, menakar arah, dan menyiapkan babak baru dalam pengabdian.
Selama sepuluh tahun, Danny meninggalkan jejak yang dalam dalam sejarah pembangunan Makassar modern.
Sebagai arsitek, Danny melihat kota dengan mata seorang perancang. Ia tidak sekadar memperindah jalan dan taman, melainkan merancang karakter sebuah kota. Ia mempopulerkan gagasan Makassar Tidak Rantasa, menghidupkan Lorong Garden dan Lorong Wisata, serta mendorong konsep Smart City untuk membuat tata kelola pemerintahan lebih transparan dan efisien.
Ia memperkuat citra pesisir Losari, memperluas ruang publik, dan memoles wajah kota agar sejajar dengan kota-kota dunia modern, bersih, dan kreatif.
Namun, seperti semua pemimpin yang visioner, Danny tak luput dari kritik. Gaya kepemimpinannya yang tegas dan teknokratik membuat sebagian menilai ia kurang kompromis.
Ia dikenal detail dan keras dalam pengawasan, bahkan pada lingkar birokrasi sendiri. Tapi karakter seperti itulah yang sering kali menjadi pembeda: di tengah kultur birokrasi yang kabur antara gagasan dan kepentingan, Danny membangun dengan kalkulasi dan logika desain, bukan sekadar narasi politik.
“Rusaklah wajah politik jika orang baik tidak masuk.”
— Mohammad Ramdhan “Danny” Pomanto Kini, Danny berada pada fase reflektif di luar pemerintahan, tetapi tidak di luar gagasan. Ia tetap berbicara tentang integritas, inovasi, dan pelayanan. Kalimatnya yang menohok tentang pentingnya “orang baik dalam sistem” menggambarkan pandangan moralnya terhadap kepemimpinan.
Bahwa membangun kota bukan hanya soal proyek, tapi tentang menjaga nilai dan nurani di tengah arus kepentingan.
Sulawesi Selatan sendiri memiliki tiga modal besar yang sering terlelap: laut, ilmu, dan budaya. Provinsi ini adalah wilayah maritim alami dengan garis pantai hampir dua ribu kilometer, pelabuhan tua Makassar sebagai gerbang perdagangan timur Nusantara, dan potensi bahari dari Selayar hingga Pangkep yang belum diolah serius.
Visi maritim Danny bisa menjelma menjadi ekonomi biru Sulsel mengembangkan pelabuhan logistik, industri perikanan, pariwisata bahari, dan konektivitas antarwilayah pesisir.
Jika konsep waterfront city Losari diperluas menjadi waterfront province, Sulsel bisa menjadi provinsi maritim paling maju di Indonesia Timur.
Selain laut, Sulsel juga rumah bagi tradisi pendidikan dan pengetahuan. Dari Unhas, UIN Alauddin, hingga pesantren dan perguruan tinggi di Parepare, Bone, dan Bulukumba—Sulsel telah lama menjadi magnet ilmu.
Namun yang masih kurang adalah integrasi antara riset, kebijakan, dan dunia usaha. Di sinilah pentingnya semangat inovatif yang pernah Danny rintis: mengubah Lorong Wisata menjadi Lorong Pendidikan— ruang belajar di tengah masyarakat tempat keterampilan, teknologi, dan budaya tumbuh berdampingan.
Makassar dan Sulsel pun punya potensi pariwisata yang luar biasa. Dari Pantai Losari, Pulau Samalona, Leang-Leang, hingga Bira dan Selayar, keindahan alamnya menunggu disentuh dengan desain terpadu.
Wisata sejarah seperti Benteng Somba Opu dan kawasan tua Pecinan bisa dihidupkan kembali sebagai heritage district—memadukan arsitektur kolonial, kuliner lokal, dan budaya Bugis-Makassar. Danny, dengan latar arsitektur dan konsep ruang publiknya, punya peta besar untuk itu. Ia pernah berkata: “Kota yang baik adalah kota yang mengundang orang datang dan membuat warganya ingin tetap tinggal.”
Kalimat itu bukan slogan, tapi filosofi pariwisata sejati.
Tantangan terbesar pembangunan Sulawesi Selatan hari ini bukan pada fisiknya, melainkan pada keberanian menjaga kesinambungan visi.
Infrastruktur sering kali dibangun tanpa narasi jangka panjang. Birokrasi lebih sibuk menyesuaikan diri dengan kekuasaan ketimbang dengan kebutuhan rakyat. Padahal, kepemimpinan yang ideal justru lahir dari kemampuan menafsirkan masa depan dengan ilmu, data, dan empati.
Danny Pomanto mewakili generasi pemimpin yang berpikir dengan logika desain dan bertindak dengan etika pelayanan. Ia menunjukkan bahwa pembangunan bukan sekadar pekerjaan teknis, melainkan tindakan moral untuk menciptakan ruang hidup yang lebih manusiawi.
Pertanyaan “Apa kabar Danny Pomanto?” pada akhirnya bukan sekadar basa-basi. Ia kini bukan lagi hanya mantan wali kota, melainkan seorang arsitek yang sedang menggambar ulang masa depan Sulawesi Selatan—dengan kompas maritim, pendidikan, dan kebudayaan di tangannya.
























