Penulis: Dr Sawedi Muhammad Sosiolog Universitas Hasanuddin
EDUKASI||Legion-news.com Januari yang dingin, basah, diguyur hujan yang tak jua reda. Meski datang lebih awal, ia belum jua beranjak.Tetap setia membasuh bumi dari kerontang kemarau yang tak lagi berjejak.
Banjir dan tanah longsor melanda negeri. Korban berjatuhan tak terhitung jumlahnya. Derita dan nestapa bertumpuk dan berlapis. Ia seakan jadi kutukan bagi penghuni semesta yang tak jua mampu menjaga keseimbangan alam dan ekosistem. Awal Januari menguatkan kegundahan akan “annus horribillis”, tahun yang didera bencana dan malapetaka mengerikan. Meski pandemi covid-19 terjadi di tahun sebelumnya, tahun 2021 belum juga menunjukkan tanda surutnya pandemi yang sangat mengerikan ini.
Januari 2021 memberi penanda muram akan masa depan. Bencana datang silih berganti, ibarat barisan yang antri untuk menghajar manusia dan segenap capaiannya. Banjir bandang di Banjarmasin, jatuhnya pesawat Sriwijaya, erupsi Merapi, gempa bumi di Sulbar, putusnya jalur trans Kalimantan hanya sebagian dari penanda annus horribillis.
Masih banyak penanda lainnya, terjadi berkali-kali dan beruntun tapi kita tetap enggan mengambil hikmahnya. Rezim yang berkuasa mulai kebingungan bagaimana harus melangkah. Ia gamang, gagap meski sangat gigih bertahan dari apa yang diputuskannya sebagai yang terbaik. Ratusan triliun APBN digelontorkan atas nama pemulihan ekonomi. Sebagian sampai ke yang berhak, tapi tidak sedikit dijarah oleh mereka yang berkuasa, dikorup oleh pengikut partai yang berkuasa.
Januari yang mengerikan. Bencana datang susul menyusul. Gempa di Lampung, longsor di Sumedang dan banjir bandang di Jember. Belum usai kontroversi vaksin, pembubaran FPI dan penahanan HRS. Raffi Ahmad dan Ahok kedapatan pesta pora, di kerumunan tanpa prokes. Banyak yang menuntut keadilan, tetapi rezim nampaknya enggan memberi hukuman bagi para pemujanya.
Hidup manusia berkelindan diantara mengingat, mengenang dan melupakan. Masa lalu sekadar diingat, sebatas noltalgia. Ceritera indah nan mempesona sejenak diingat, dikenang kemudian memudar dan perlahan dilupakan. Ceritera sedih pun demikian. Dikenang dan diingat sekadar prasyarat dari evolusi manusia melintasi ruang dan waktu. Apakah sengkarut masa lalu dan masa kini yang berayun diantara mengingat dan mengenang membekas sebuah pelajaran?
Nampaknya manusia terbiasa untuk melupakan. Ia ditakdirkan menjalani hidup yang berawal dari mengingat, mengenang dan diakhiri dengan melupakan. Tak ada yang membekas dari masa silam yang pedih-perih. Hanya sedikit yang tersisa dari masa lalu yang gemerlap.
Meski sejatinya, segala peristiwa hari ini adalah bagian dari masa lalu. Banjir-bandang, kebakaran hutan, gempa bumi, erupsi gunung berapi, kejatuhan rezim, kerusuan sosial dan kalabendu adalah rangkaian peristiwa yang tidak asing bagi manusia. Ia terjadi di masa lalu, masa kini dan masa depan. Meski manusia dengan setia mengingat dan mengenangnya, sayang dengan serta merta ia melupakannya.
Di setiap musim hujan, banjir dan tanah longsor menjadi hal biasa. Manusia mengingat dan mengenang kalau dulunya hutan dan rimba belantara adalah permadani alam yang tak tersentuh. Tapi mereka lupa bahwa HPH, pertambangan, pembalakan liar, pembakaran ladang adalah penyebab banjir bandang. Manusia mengenang hidupnya yang tenteram tanpa banjir, tapi melupakan dampak dari kerakusannya mengeksploitasi alam tanpa batas. Ia menyaksikan hutan dibabat, digunduli. Pegunungan digali, ditambang kemudian gersang, tandus. Manusia diam, membisu. Ia lupa, kerakusannya membantai alam dan ekosistem adalah awal dari bencana yang tak terperikan.
Karenanya, bangsa yang besar adalah bangsa yang kuat daya ingatnya. Ia mengenang dang mengingat tumbangnya rezim yang tiran dan berani melawan rezim kekinian yang otoriter. Ia bersatu padu menentang rezim korup dan pantang mundur memghadapi kekuasaan yang pongah.
Rezim berkuasa akan mengingat dan mengenang jatuh bangunnya rezim yang dzolim. Ia tidak melupakan bahwa hanya rezim yang adil yang bertahan. Ia yang tiran dan otoriter akan terjungkal dengan kepedihan.
Januari 2020 adalah tahun mengerikan nan mendebarkan. Tetapi tentu saja selalu ada optimisme akan masa depan. Semoga ini menjadi penanda dan pengingat untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar; bangsa yang tidak hanya mampu untuk mengingat dan mengenang, tetapi juga bangsa yang tidak mudah melupakan.
Makassar, Januari 2020.