LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Kebijakan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang menumpuk alokasi anggaran pembangunan di Kabupaten Bone memicu gelombang kritik tajam. Sekelompok pengacara alumni Universitas Muslim Indonesia (UMI) kini resmi menyatakan sikap akan menggugat Pemprov Sulsel melalui mekanisme Class Action. Mereka menilai kebijakan tersebut diskriminatif, cacat hukum, dan melukai rasa keadilan bagi daerah lain di Sulawesi Selatan.
Langkah hukum ini dipandang sebagai perlawanan rakyat atas praktik distribusi APBD yang tidak proporsional. Para alumni UMI menegaskan bahwa APBD adalah instrumen keuangan publik, bukan alat politik, sehingga distribusinya harus berdasar pada asas pemerataan, kepatutan, dan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi rakyat.
“Ini bukan sekadar persoalan administrasi. Kebijakan anggaran yang timpang telah menimbulkan ketidakadilan fiskal dan diskriminasi nyata terhadap daerah lain. Kami bersama masyarakat akan menempuh Class Action agar suara publik bisa didengar di pengadilan,” tegas Syamsul Bahri Majjaga, S.H., pengacara alumni UMI, Selasa (16/9/2025).
Pendapat Hukum Alumni UMI
Tim pengacara alumni UMI menilai kebijakan diskriminatif dalam distribusi APBD dapat diuji secara hukum karena berpotensi melanggar sejumlah regulasi pokok:
PERTAMA; Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Anggaran wajib disusun berdasarkan asas keadilan, kepatutan, dan kemanfaatan untuk rakyat. Menumpuk anggaran pada satu wilayah jelas mengabaikan asas keadilan.
KEDUA; Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Mengamanatkan kewajiban pemerintah provinsi untuk menjamin pemerataan pembangunan antardaerah. Ketimpangan alokasi anggaran melanggar semangat desentralisasi dan pemerataan.
KETIGA; Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Menekankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan proporsionalitas. Kebijakan anggaran yang tidak objektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional membuka ruang untuk digugat.
KEEMPAT; Undang Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi Bila terdapat indikasi penyalahgunaan kewenangan yang menguntungkan pihak atau kelompok tertentu, maka kebijakan ini berpotensi masuk ranah tipikor.
Class Action Sebagai Jalan Kolektif
Para pengacara alumni UMI menegaskan bahwa Class Action adalah mekanisme hukum paling tepat. Gugatan bersama memungkinkan masyarakat dari berbagai daerah yang dirugikan akibat ketimpangan anggaran untuk bersatu menyuarakan kepentingannya.
“Dengan Class Action, rakyat yang selama ini diam bisa bersuara di pengadilan. Ini jalan kolektif untuk melawan diskriminasi anggaran, dan kami siap mengorganisir masyarakat agar memiliki posisi hukum yang kuat,” jelas Syamsul Bahri.
Desakan Transparansi
Selain menyiapkan langkah hukum, alumni UMI juga mendesak Pemprov Sulsel membuka data resmi mengenai dasar pertimbangan distribusi anggaran. Transparansi dinilai krusial untuk menghindari kecurigaan publik.
“Pemerintah harus sadar bahwa APBD adalah uang rakyat. Jika kebijakan anggaran dijalankan secara diskriminatif dan tertutup, maka jalur hukum akan kami tempuh tanpa kompromi,” tegas Syamsul.
Komitmen Alumni UMI
Langkah hukum ini ditegaskan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan intelektual para alumni UMI terhadap masyarakat Sulawesi Selatan.
“Kami berdiri bukan untuk kepentingan politik, tetapi demi menjaga marwah keadilan. Diskriminasi anggaran harus dilawan. Class Action adalah jalan konstitusional agar hak rakyat tidak diinjak-injak oleh kebijakan yang menyimpang,” tutup Syamsul Bahri.
Saat ini, tim alumni UMI tengah mengumpulkan sumber-sumber primer dan bukti hukum untuk memperkuat gugatan. Langkah ini diyakini akan menjadi preseden penting dalam mengoreksi praktik pengelolaan keuangan daerah yang tidak berpihak pada kepentingan publik. (*)

























