LEGIONNEWS. OM – MAKASSAR, Komitmen pimpinan pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melakukan pembersihan internal pasca ancaman pembekuan dari Menteri Keuangan kini diuji secara nyata di Makassar. Lembaga Study Hukum dan Advokasi Rakyat (LASKAR) Sulawesi Selatan menegaskan bahwa dugaan mafia kepabeanan di wilayah ini tidak bisa lagi ditutup-tutupi, terlebih karena pola, peran, dan dugaan aliran uangnya telah lama dilaporkan.
Ketua Harian Lembaga Study Hukum dan Advokasi Rakyat Sulsel, Ilyas Maulana, S.H., menyatakan bahwa Makassar selama ini diduga menjadi titik rawan dan “lumbung permainan oknum” dalam penanganan barang impor bermasalah, khususnya pakaian bekas impor (cakar).
“Kalau Dirjen Bea Cukai benar-benar mau bersih-bersih, hentikan drama. Mulailah dari Makassar. Jangan biarkan oknum yang merusak negara berlindung di balik seragam,” tegas Ilyas.
Menurut LASKAR Sulsel, dugaan mafia kepabeanan ini tidak berdiri sebagai insiden tunggal, melainkan menunjukkan pola terstruktur yang melibatkan aktor eksternal, oknum internal, serta dugaan aliran uang sebagai pelumas utama jaringan. Berdasarkan informasi dan laporan yang dihimpun, kronologi dugaan peran dan aliran tersebut bermula dari pihak importir pakaian bekas ilegal yang menghadapi persoalan hukum atau penahanan barang.
Pada tahap awal, muncul aktor eksternal berinisial J., yang diduga berperan sebagai penghubung antara kepentingan importir dengan oknum internal Bea Cukai. J. disebut-sebut memiliki akses komunikasi dan kemampuan membuka jalur ke pejabat tertentu, sekaligus menjadi pintu masuk negosiasi nonformal.
Dari titik ini, LASKAR Sulsel menduga adanya permintaan atau komitmen uang dari pihak importir sebagai imbalan atas pengamanan barang atau pengondisian penanganan perkara. Aliran dana tersebut diduga tidak berhenti di satu tangan, melainkan bergerak melalui jaringan internal dengan pembagian peran yang relatif rapi.
Di tingkat kewenangan dan pengaruh, disebut inisial R. yang berada pada fungsi penindakan (P2) di level kanwil, M. pada fungsi intelijen, serta Z. yang diduga berperan dalam komunikasi dan penjaminan pengamanan, termasuk dalam kasus tiga kontainer pakaian bekas asal Cina yang dikaitkan dengan PT PRN. Ketiganya disebut memiliki posisi strategis dalam memastikan proses berjalan sesuai skema yang diinginkan.
Sementara di level operasional lapangan, khususnya di Bea Cukai Pelabuhan Makassar, muncul nama-nama berinisial T., B., dan A. yang diduga berperan dalam mengamankan proses teknis, mulai dari pemeriksaan, penanganan administrasi, hingga opsi skema re-ekspor yang disebut-sebut ditawarkan sebagai tameng untuk meloloskan barang bermasalah.
Ilyas menegaskan bahwa jika dugaan ini benar, maka rangkaian tersebut menunjukkan alur peran yang saling terhubung, dari penghubung eksternal, pengambil keputusan strategis, hingga pelaksana lapangan, dengan uang sebagai pengikat utamanya.
“Ini bukan dugaan kecil. Ada alur komunikasi, ada pembagian peran, dan ada dugaan transaksi. Kalau ada uang yang diminta dan dijanjikan pengamanan, maka pasti ada jejak keuangan. Ikuti uangnya, maka jaringan ini akan terbuka,” tegasnya.
Karena itu, LASKAR Sulsel mendesak agar pengungkapan kasus ini tidak hanya berhenti pada klarifikasi internal Bea Cukai, tetapi melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri dugaan aliran dana yang mengarah pada praktik banking mafia dan potensi tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Menurut Ilyas, pendekatan follow the money merupakan satu-satunya cara efektif membongkar kejahatan terorganisir yang selama ini selalu lolos karena dibungkus prosedur dan relasi kekuasaan. Ia menilai, jika aliran dana ini dibiarkan gelap, maka publik berhak menduga adanya pembiaran sistemik.
“Ini bukan soal citra institusi, ini soal keberanian negara. Kalau aliran uang dan inisial-inisial ini tidak diuji secara terbuka, maka bersih-bersih hanya akan jadi slogan kosong. Pembiaran terhadap aliran dana sama dengan keberpihakan pada mafia,” ujar Ilyas.
LASKAR Sulsel mengingatkan bahwa ancaman pembekuan institusi dari Menteri Keuangan merupakan sinyal keras bahwa pemerintah pusat sudah muak dengan praktik mafia di sejumlah titik. Karena itu, Makassar dinilai sebagai batu uji apakah negara benar-benar berpihak pada hukum atau memilih melindungi oknum.
“Kalau Makassar tidak dibongkar sekarang, publik akan menilai bahwa negara kalah oleh mafia. Jangan lindungi oknum. Buka aliran uangnya, dan biarkan hukum bekerja,” tutup Ilyas. (*)
























