
LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Suasana Balaikota Makassar mendadak tegang pada Selasa siang saat puluhan orang tua calon siswa bersama Laskar Merah Putih (LMP) Kota Makassar menggelar aksi damai yang menggugat ketidakadilan dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2025.
Aksi yang berlangsung tertib dan konstitusional itu sekaligus menjadi panggung perlawanan terhadap sistem pendidikan yang dianggap sarat penyimpangan dan ketimpangan sosial.
Dipimpin langsung oleh Ketua Harian LMP Kota Makassar, Ramli, massa menyampaikan protes keras atas banyaknya kasus penolakan calon siswa dari keluarga kurang mampu, padahal mereka telah memenuhi seluruh syarat administratif, termasuk zonasi.
Para peserta aksi datang dengan penuh harapan agar suara mereka yang selama ini luput dari perhatian dapat didengar langsung oleh pemerintah kota.
Namun, di tengah aksi damai tersebut, suasana sempat diwarnai keresahan akibat kehadiran sejumlah pria tak dikenal yang diduga preman, berdiri bebas di lingkungan Balaikota. Mereka tidak mengenakan seragam resmi dan tampak mengawasi jalannya aksi.
Salah satu orang tua siswa, Daeng Rimang, menyuarakan kekecewaannya terhadap situasi ini.
Ia mempertanyakan mengapa lingkungan pemerintahan yang seharusnya terbuka bagi aspirasi publik justru tampak memberi ruang bagi praktik-praktik intimidatif.
“Kami ini datang sebagai warga negara, bukan sebagai pengacau. Tapi kenapa harus ada preman berdiri di dalam Balaikota? Apa fungsinya mereka? Ini tempat rakyat, bukan tempat untuk menakut-nakuti orang tua yang memperjuangkan pendidikan anaknya,” ucapnya tegas.
Ramli selaku pimpinan aksi sekaligus perwakilan Laskar Merah Putih menyampaikan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam melihat ketidakadilan yang dialami masyarakat, terutama dalam urusan pendidikan. Menurutnya, PPDB tahun ini adalah yang paling amburadul dan tidak manusiawi karena telah mengorbankan hak-hak anak dari kalangan tidak mampu.
“Kami temukan banyak anak warga yang tinggal tepat di sekitar sekolah, tapi ditolak mentah-mentah. Padahal dari segi zonasi, mereka sangat layak. Ini bukan hanya soal teknis, tapi soal kemanusiaan dan keadilan. Kepala Dinas Pendidikan harus bertanggung jawab atas semua ini. Jangan hanya berlindung di balik sistem, sementara rakyat terluka,” ujar Ramli dengan suara lantang.
Ramli juga menyebut bahwa masalah pendidikan ini tidak bisa dilepaskan dari buruknya koordinasi dengan Dinas Sosial Kota Makassar. Ia menilai pendataan sosial tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak keluarga miskin tidak masuk dalam data penerima bantuan, padahal mereka sangat layak mendapatkan kuota afirmasi untuk pendidikan.
“Banyak warga miskin yang tidak terdata, bahkan untuk bantuan sosial pun mereka tak tersentuh. Tapi ada warga mampu yang justru dapat kemudahan. Ini cacat data, dan Dinas Sosial tidak bisa lagi hanya diam. Kami minta wali kota mengevaluasi dua kepala dinas ini. Kalau perlu, diganti!” tambahnya.
Aksi ini turut diperkuat oleh kehadiran mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Laskar Merah Putih. Ketua gerakan tersebut, Arul, menegaskan bahwa perjuangan ini bukan hanya soal satu atau dua anak, tapi menyangkut masa depan pendidikan dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
“Wali kota harus buka mata. Ini jeritan masyarakat, bukan sekadar aksi seremonial. Kami akan kawal terus sampai ada transparansi. Kalau Kepala Dinas Pendidikan dan Sosial tidak mampu bersih dan berpihak pada rakyat, lebih baik mundur,” seru Arul.
Hingga sore hari, massa tetap bertahan secara tertib sambil menyerukan agar pemerintah membuka data PPDB secara transparan dan melakukan audit menyeluruh terhadap proses seleksi tahun ini. Mereka juga meminta perlindungan hukum atas hak pendidikan anak-anak dari keluarga kurang mampu agar tidak lagi dipinggirkan dalam sistem.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak Dinas Pendidikan maupun Dinas Sosial Kota Makassar. Namun suara dari depan Balaikota hari ini sudah cukup menjadi penanda: bahwa ketimpangan dan kelalaian dalam sektor pendidikan kini tak lagi bisa disembunyikan. (*)