
LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Gerakan Mahasiswa Perlawanan Rakyat (Gempar) Makassar kembali angkat suara soal polemik Depo Pertamina di Jalan Sabutung, Kelurahan Tamalabba, Kecamatan Ujung Tanah. Kali ini, kritik datang melalui Bidang Kesehatan Gempar yang selama dua hari, 27–28 September 2025, turun langsung ke lapangan untuk melakukan advokasi dan menghimpun temuan dari warga sekitar.
Dalam advokasinya, Misnawati Dharmi Ketua Bidang Kesehatan Gempar Makassar menekankan bahwa persoalan depo bukan hanya soal ancaman kebakaran. Melainkan, keberadaannya dianggap menggerus kualitas hidup masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut.
“Temuan kami jelas: bau gas dari area depo sering tercium kuat hingga ke rumah warga. Bau ini bukan sekadar mengganggu, tapi berdampak langsung pada kesehatan warga disana,” ungkap Misnawati Dharmi, melalui keterangannya Senin (29/9/2025).
Ancaman Kesehatan Fisik: Bau Gas yang Menggerogoti
Advokasi Gempar Makassar menemukan bahwa bau gas dari Depo Pertamina Makassar sering tercium hingga ke rumah warga. Kondisi demikian bukan hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga berbahaya bagi kesehatan.
Pihaknya merujuk pada catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang menjelaskan bahwa paparan bau gas yang berasal dari senyawa kimia bahan bakar bisa memicu gangguan pernapasan, batuk, pusing, serta iritasi mata dan tenggorokan. Bila terhirup terus-menerus, dampaknya lebih berat: meningkatkan risiko asma, bronkitis kronis, hingga kanker paru-paru.
“Bau gas ini bukan sekadar gangguan biasa. Warga bisa jatuh sakit, bahkan anak-anak jauh lebih rentan terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Itu artinya kualitas hidup mereka benar-benar terancam,” paparnya.
Anak-anak Jadi Korban Paling Rentan
Advokasinya juga menemukan potensi yang paling mengkhawatirkan: kelompok anak-anak adalah yang paling terdampak. Misnawati Dharmi meyampaikan bahwa bau gas dan polusi Depo Pertamina yang hampir setiap hari menghantui, membuat mereka lebih rentan mudah jatuh sakit.
“Anak-anak rentan mengalami batuk berkepanjangan, pilek berulang, hingga sulit tidur. Lebih parah lagi, konsentrasi belajar mereka di sekolah juga ikut terganggu. Jadi, ini bukan sekadar masalah kesehatan fisik, tapi menyangkut tumbuh kembang generasi muda di kawasan tersebut,” ujarnya.
Tekanan Psikologis: Hidup dalam Bayang-bayang Ketakutan
Selain persoalan fisik, pihaknya juga menyoroti dampak psikologis yang jarang dibicarakan. Ia menyebut bahwa Hidup berdekatan dengan depo yang rawan kebakaran menciptakan rasa was-was permanen, terutama bagi anak-anak.
“Bayangkan, anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang setiap saat berpotensi jadi bom waktu. Mereka sulit tidur, mudah cemas, bahkan trauma mendengar suara keras seperti ledakan kecil atau sirine. Bagaimana mereka bisa belajar dan berkembang dengan baik jika rumahnya selalu dihantui bau gas dan ancaman kebakaran?” tegasnya.
Melanggar Hak Dasar Warga
Diakhir dia menegaskan bahwa situasi yang dirasakan oleh warga yang hidup di sekitaran Depo Pertamina itu jelas bertentangan dengan amanat konstitusi tentang prinsip keadilan sosial.
“Kondisi warga di sana jelas terancam kesehatannya. Artinya, secara prinsip mereka tidak mendapatkan keadilan sosial sebagaimana yang seharusnya dijamin negara bagi setiap warganya. Padahal, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan, ‘Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat,” pungkasnya. (*)