Oleh: Syamsul Bahri Majjaga
PLT Ketua KNPI Kota Makasar
LEGIONNEWS.COM – OPINI, Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar Sulawesi Selatan merupakan ruang institusional yang secara historis menentukan arah kekuasaan politik di kawasan timur Indonesia. Golkar Sulsel tidak pernah berdiri sebagai sekadar mesin elektoral, melainkan sebagai struktur politik berlapis yang ditopang oleh kultur kepemimpinan, legitimasi sosial, dan rekam jejak kemenangan. Karena itu, setiap figur yang hendak memimpin DPD I Golkar Sulsel dituntut memenuhi prasyarat yang tidak hanya administratif, tetapi juga sosiologis dan historis.
Dalam konteks inilah, rencana Munafri Arifuddin—Ketua DPD II Golkar Kota Makassar sekaligus Wali Kota Makassar—untuk maju sebagai Ketua DPD I Golkar Sulsel perlu dibaca secara kritis dan objektif. Bukan dalam kerangka personal, melainkan sebagai soal kelayakan kepemimpinan politik pada level provinsi.
Secara akademik, jejak rekam elektoral merupakan indikator utama dalam menilai kapasitas kepemimpinan partai di wilayah dengan kompetisi politik tinggi. Dalam catatan pertarungan Pilwali Makassar, Munafri Arifuddin mengalami dua kali kegagalan elektoral, termasuk satu momen yang secara simbolik sangat signifikan: kekalahan dari kotak kosong. Dalam kajian politik elektoral, kekalahan dari kotak kosong bukan sekadar kalah kontestasi, melainkan penanda lemahnya konsolidasi kepercayaan publik terhadap figur kandidat.
Kemenangan Munafri Arifuddin pada Pilwali terakhir memang mengubah posisi politiknya secara formal, namun tidak dapat serta-merta diterjemahkan sebagai kemenangan hegemonik. Kemenangan tersebut berlangsung dalam konfigurasi politik yang sangat kompetitif, dengan selisih dan dukungan yang relatif tipis. Dalam teori legitimasi politik, kemenangan semacam ini menuntut fase pasca-elektoral berupa penguatan basis sosial dan pembuktian kinerja, bukan ekspansi ambisi struktural.
Lebih jauh, masa jabatan Munafri Arifuddin sebagai Wali Kota Makassar belum mencapai dua tahun. Dalam perspektif tata kelola pemerintahan, periode ini bahkan belum cukup untuk menilai keberhasilan kepemimpinan secara substantif. Makassar sebagai kota metropolitan dan pusat gravitasi politik Sulawesi Selatan memerlukan stabilitas, konsolidasi birokrasi, serta kepuasan publik yang terukur. Kegagalan menjaga variabel-variabel ini akan berdampak langsung pada keberlanjutan karier politik sang wali kota.
Di sisi lain, Golkar Sulawesi Selatan memiliki tradisi kepemimpinan yang berbeda dari banyak daerah lain. Secara historis, Golkar Sulsel dipimpin oleh figur yang menang di masyarakat sebelum memimpin di partai, memiliki jejaring lintas kabupaten/kota, serta mampu mengendalikan fraksi-fraksi internal yang kompleks. Kepemimpinan Golkar Sulsel bukan ruang pembelajaran, melainkan arena ujian tertinggi bagi politisi matang.
Dari sudut pandang kultur politik Sulawesi Selatan, kepemimpinan menuntut ketegasan, daya tawar, dan kemampuan menjaga keseimbangan elite lokal. Figur Ketua DPD I Golkar Sulsel dituntut bukan hanya populer, tetapi memiliki rekam jejak dominasi politik yang konsisten. Dalam konteks ini, rekam jejak Munafri Arifuddin masih menunjukkan lebih banyak fase adaptasi dibanding fase dominasi.
Karena itu, ambisi maju sebagai Ketua DPD I Golkar Sulsel berpotensi dibaca sebagai ambisi prematur—yakni lompatan struktural yang tidak sepenuhnya ditopang oleh konsolidasi elektoral dan legitimasi kultural. Dalam politik Sulawesi Selatan, kepercayaan diri yang tidak disertai kemenangan berlapis sering kali berakhir pada resistensi internal dan fragmentasi kekuasaan.
Musda Golkar Sulsel dengan demikian bukan hanya soal siapa yang menang, melainkan apakah Golkar tetap setia pada tradisi kepemimpinan kuatnya, atau mulai bergeser ke politik simbol dan posisi. Sejarah politik Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa partai yang mengabaikan rekam jejak dan kultur lokal akan menghadapi krisis legitimasi, baik di internal maupun di hadapan publik.
Pada titik ini, jejak rekam Munafri Arifuddin seharusnya menjadi bahan refleksi strategis, bukan sekadar modal kepercayaan diri. Golkar Sulsel membutuhkan pemimpin yang tidak hanya siap memimpin struktur, tetapi telah teruji menguasai medan politik Sulawesi Selatan secara nyata.

























