Oleh: Muhammad Rafii
LEGIONNEWS.COM – OPINI, Isu kekerasan seksual yang menghantam Universitas Negeri Makassar menjadi badai yang tiba-tiba menggelap, sebelum publik betul-betul melihat apakah awan itu membawa hujan atau sekadar asap. Di negeri ini, isu sering berlari lebih cepat dari fakta. UNM kini menjadi panggung, sementara kebenaran masih antre di belakang layar.
Masalahnya jelas: isu belum menjadi bukti, tetapi dampaknya sudah melumpuhkan roda kepemimpinan. Ini bukan sekadar anomali, tetapi tanda bahwa ada sesuatu yang tidak sedang berjalan sebagaimana mestinya.
Gerakan moral di UNM bukanlah gerakan membela rektor. Tidak ada ruang toleransi untuk kekerasan seksual—jika benar terjadi. Tetapi satu hal lebih berbahaya dari kejahatan itu sendiri: menggunakan isu yang belum terverifikasi untuk melemahkan sebuah institusi sebesar UNM.
Ketika rektor dinonaktifkan sebelum fakta dibuka secara gamblang, lalu pelaksana harian (Plh) ditunjuk dari luar UNM, dari sinilah pertanyaan publik mulai tajam:
Apakah UNM dianggap tidak mampu mengurus rumahnya sendiri?
Atau ada pihak yang sengaja mengambil kesempatan dalam kabut?
UNM memiliki struktur internal yang lengkap—wakil rektor, dekan senior, guru besar dengan masa bakti dan pengalaman panjang. Menyampingkan semuanya dan menunjuk figur dari universitas lain bukan hanya keputusan administratif; itu adalah pesan politik.
Dan pesan itu terdengar nyaring: ada krisis kepercayaan yang ditanamkan dari luar.
Pertanyaannya: berdasarkan apa?
Jika proses hukum belum melahirkan fakta publik, maka keputusan yang berdampak besar terhadap reputasi kampus semestinya tidak dilakukan tergesa-gesa. Keadilan tidak boleh maju sebelum kebenaran. Dan kebenaran tidak boleh datang setelah reputasi dihancurkan.
Penunjukan Plh dari luar memperkuat analisis bahwa UNM tidak sedang menghadapi kasus biasa. Ada pola lama yang kita kenal dalam sejarah lembaga pendidikan: lempar isu, goyang kepemimpinan, lalu ambil alih ruang kendali. Apakah ini sedang terjadi? Publik berhak bertanya, karena pertanyaan bukan pelanggaran.
UNM adalah kampus besar, benteng keilmuan yang melahirkan ribuan tenaga pendidik. Merusaknya melalui isu yang belum terang sama saja merusak masa depan pendidikan Indonesia. Jika ada kesalahan, hukum berjalan.
Tetapi jika tidak ada, maka kerusakan reputasi harus dikembalikan martabatnya secara terbuka.
Kampus tidak boleh menjadi korban manuver.
Kampus tidak boleh tunduk pada tekanan opini.
Kampus harus berdiri di atas kebenaran yang teruji.
Hari ini UNM sedang diuji, bukan oleh fakta, tetapi oleh persepsi yang sengaja atau tidak sengaja dibentuk. Gerakan moral kita adalah menjaga agar badai isu tidak mengubur integritas lembaga.
Karena ketika pendidikan dirusak oleh narasi yang belum jelas, bangsa ikut rusak di belakangnya.
Dan itu sesuatu yang tidak boleh dibiarkan terjadi.

























