Perwira Militer Indonesia ini Menolak Diberikan Gelar Pahlawan

0
FOTO: Alex Kawilarang (tengah) dan Soeharto (kanan). (Wikimedia Commons).
FOTO: Alex Kawilarang (tengah) dan Soeharto (kanan). (Wikimedia Commons).

LEGIONNEWS.COM – PADA paruh pertama 1990, Kolonel Inf. (Purn.) Alexander Evert Kawilarang mengalami sakit keras. Usianya memang sudah memasuki kepala tujuh. Hidupnya diperkirakan tidak lama lagi. Oleh karena itu, panitia negara buru-buru mengurus penyerahan Bintang Gerilya untuk Kawilarang. Seremoninya berlangsung di rumah sakit.

“Saya dengar ada beberapa orang yang dulu bawahan saya yang lapor kepada Presiden [Soeharto]. Ketika itu saya sakit keras, satu tahun di rumah sakit karena kanker. Dipikir ini orang sudah mau mati. Maka diberikan Bintang Gerilya. Jadi dapat Bintang Gerilya masih di rumah sakit,” kenang Kawilarang dalam majalah Mutiara, No. 838, 12–18 November 1996.

Sebagai pejuang Angkatan 45, tentulah Kawilarang layak menyandang penghargaan Bintang Gerilya. Ia juga diakui sebagai sesepuh TNI Angkatan Darat, khususnya sebagai pendiri pasukan komando cikal bakal Kopassus. Namun, keterlibatannya dalam pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara pada paruh kedua 1950, membuat nama Kawilarang cemar. Setelah Permesta ditumpas pemerintah pusat, Kawilarang mendapat amnesti lalu diberhentikan dari ketentaraan. Sejak itu, jasa dan perjuangannya dalam Perang Kemerdekaan tereduksi dalam perjalanan sejarah.

Alex Kawilarang memulai karier militernya sebagai taruna Akademi Militer Kerajaan Belanda (KMA) di Bandung pada 1940. Alex seangkatan dengan Tahi Bonar Simatupang dan Abdul Haris Nasution yang kelak menjadi tokoh penting dalam kemiliteran Indonesia. Simatupang telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada 2013.

Dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, Kawilarang menonjol sebagai perwira tempur yang terlibat dalam berbagai palagan. Berbeda dengan kedua rekannya, Simatupang dan Nasution yang lebih dikenal sebagai perwira intelektual. Pada 1946, Kawilarang menjabat komandan Resimen Infantri Bogor, kemudian komandan Brigade II Sukabumi. Pada 1948, putra Manado kelahiran Jatinegara, Batavia, 11 Februari 1920 ini menjabat komandan Brigade I/Siliwangi di Yogyakarta. Menjelang agresi militer Belanda kedua, Kawilarang ditunjuk sebagai komandan Sub Teritorium VII Sumatra Utara. Pada saat bertugas di Sumatra inilah Kawilarang berperan dalam menghentikan pertikaian antar komandan setempat, yakni Mayor Bedjo dan Mayor Liberty Malau.

Setelah perang, Kawilarang diangkat sebagai panglima Teritorium I Sumatra Utara, cikal bakal Kodam Bukit Barisan. Hanya sebentar tugas di Medan, Kawilarang kemudian ditugaskan ke Makassar untuk menumpas pemberontakan Andi Azis. Sebagai panglima Teritorium VII/Indonesia Timur (kelak Kodam Hasanuddin), Kawilarang membawahkan beberapa brigade, salah satunya Brigade Garuda Mataram dari Jawa Tengah yang dipimpin Letkol Soeharto.

Belakangan, Soeharto menjadi presiden dan salah satu penyandang gelar jenderal besar TNI bintang lima. Baru-baru ini pula Soeharto dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto, yang tak lain mantan menantu Soeharto. Namun, sewaktu bertugas di Makassar, Kawilarang pernah mendapati Soeharto terlibat penyelundupan mobil.

“Waktu Soeharto berangkat pulang dari Makassar ke Jawa, dia naik satu kapal. Ketika saya datang ke pelabuhan, ada tujuh mobil bekas yang belum dibayar, tapi mau dibawa ke Jawa. Itu tidak boleh. Lantas, saya bilang ke kepala staf saya, mobil itu biar saja nanti dibayar Tentara Teritorium VII setempat,” ungkap Kawilarang, dikutip Tempo, 17 Mei 1999.

Setelah membereskan pemberontakan Andi Azis, Kawilarang lanjut memimpin ekspedisi militer penumpasan pemberontakan Kahar Muzakkar dan gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS). Pada 1951, Kawilarang kembali ke Jawa Barat sebagai panglima Teritorium III Siliwangi. Selain menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang dipimpin S.M. Kartosoewirjo, Kawilarang semasa menjabat panglima Siliwangi juga membentuk pasukan elite Kesatuan Komando (Kesko) Tentara Teritorium III Siliwangi. Korps pasukan ini disebut sebagai cikal bakal pasukan komando TNI Angkatan Darat. Namun, Kawilarang sejatinya telah merintis pasukan komando sejak bertugas di Sumatra Utara lewat pembentukan Kompi Pasukan Komando (Kipasko) pada 1950.

Kawilarang mengemban jabatan panglima Siliwangi hingga 1956. Sebelum melibatkan diri dalam Permesta, Kawilarang sempat bertugas sebagai atase militer untuk Amerika Serikat di Washington, D.C. Pada Maret 1958, Kawilarang meninggalkan posnya di KBRI Washington menuju Sulawesi Utara sebagai wujud protesnya pada pemerintah setelah Kota Manado dibombardir pasukan TNI.

“Saya tinggalkan suasana hidup aman di Washington, D.C. dan saya tinggalkan ketenangan bekerja di kantor KBRI, menuju ke kehidupan yang bakal serba gelap dan tidak menentu. Untuk daerah memang nasi sudah menjadi bubur. Deburan hati pula yang saya ikuti,” tutur Kawilarang dalam otobiografinya Untuk Sang Merah Putih yang ditulis Ramadhan K.H.

Kawilarang benar. Ia kehilangan reputasi setelah pemberontakan Permesta berakhir sebagai pihak yang kalah. Begitu pula dengan para kompatriotnya di Sumatra yang terlibat dalam PRRI. Bintang Gerilya baru diterimanya ketika dirinya diberitakan hampir meninggal dunia karena sakit keras.

“Saya pernah bilang kepada teman, mungkin kalau saya tidak [sakit], saya tidak diberi Bintang Gerilya, ha-ha-ha,” ujar Kawilarang berkelakar seperti dikutip Tempo.

Di masa tuanya, Kawilarang mulai mendapat pengakuan atas kiprahnya sebagai pejuang. Kawilarang dikukuhkan menjadi warga kehormatan Korps Baret Merah Kopassus TNI AD. Namun, Kawilarang menolak keras bila dirinya disebut atau digadang-gadang sebagai pahlawan. Baginya, gelar itu tak punya makna karena banyak disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.

“Tapi saya benci kalau dengar begitu [gelar pahlawan disalahgunakan]. Karena itu omong kosong. Kalau pahlawan yang betul itu yang [berjuang] sampai mati, sesudah pensiun tidak. Saya merasa diri saya bukan pahlawan. Kalau saya pahlawan, saya beri tahu terus terang, ini nggak benar, itu nggak benar, tapi nanti dicekal lagi,” kata Kawilarang dalam Mutiara.

Kawilarang juga menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata –sekalipun ia layak mendapat tempat di sana. Menurutnya, taman makam pahlawan itu banyak dihuni oleh sosok-sosok yang tidak bersih. Yang tidak mencerminkan pribadi seorang pahlawan.

“Lihat saja di [Taman Makam Pahlawan] Kalibata, ada koruptor, banyak orang yang menyeleweng waktu Aksi [agresi militer Belanda] Kedua. Ada beberapa orang,” sentil Kawilarang masih dalam Mutiara. “Kalau meninggal saya tidak mau [dimakamkan] di Kalibata, karena terlalu banyak seperti itu. Lebih baik di Cikutra, Bandung.”

Alex Kawilarang tutup usia pada 6 Juni 2000 dalam usia 80 tahun. Sesuai wasiatnya, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Karena pernah terlibat dalam pemberontakan Permesta, Kawilarang sepertinya bakal sulit ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional. Namun, masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara pada umumnya telah menjunjung Kawilarang sebagai pahlawan. Begitu pula dengan warga Kodam Siliwangi dan keluarga veteran Perang Kemerdekaan di Sumatra Utara, mengenang nama Alex Kawilarang dengan penuh rasa hormat. (*)

Advertisement