Pakar Hukum: Penyewaan Aset Daerah Wajib Persetujuan DPRD

0
FOTO: Akademisi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Dr. Romi Librayanto, SH, MH,
FOTO: Akademisi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Dr. Romi Librayanto, SH, MH,

LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Dr. Romi Librayanto, SH, MH, menegaskan bahwa penyewaan aset milik pemerintah daerah kepada pihak ketiga wajib mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Tanpa mekanisme persetujuan itu, kerja sama yang dilakukan kepala daerah berpotensi melanggar ketentuan hukum tata kelola keuangan daerah.

“Pasti ada persetujuan DPRD. Yang sering jadi perdebatan adalah bentuk persetujuannya seperti apa. Dalam praktik, rencana pemasukan dari hasil sewa aset daerah pasti tertuang dalam APBD. Nah, APBD itu harus disetujui DPRD,” jelas Dr. Romi kepada media ini, Senin (20/10/2025).

Ia menjelaskan, persetujuan DPRD bisa dimaknai dari pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Jika pendapatan dari hasil sewa aset sudah tercantum di dalamnya, berarti DPRD telah memberikan persetujuan secara formal.

Namun, bila tidak tercantum, kepala daerah wajib meminta persetujuan tertulis dari pimpinan DPRD, terutama jika rencana kerja sama tersebut belum masuk dalam APBD Perubahan.

“Kalau tidak ada dalam APBD dan Bupati tetap melakukan MoU dengan pihak ketiga, itu bisa menjadi masalah hukum. Karena Undang-Undang sudah menegaskan bahwa setiap pengelolaan aset daerah harus berdasarkan mekanisme yang sah,” tegasnya.

Dasar Hukum dari UU 23 Tahun 2014

Penegasan tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab XI tentang Keuangan Daerah.

Dalam Pasal 285–287, disebutkan bahwa pendapatan asli daerah mencakup hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, termasuk pemanfaatan aset daerah. Setiap pengelolaan atau penyewaan barang milik daerah (BMD) wajib diatur melalui Peraturan Daerah (Perda) dan dicantumkan dalam APBD yang disetujui DPRD.

Selain itu, Pasal 307 mengatur bahwa barang milik daerah yang masih diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintahan tidak boleh dipindahtangankan, dan jika dimanfaatkan oleh pihak ketiga, harus mengikuti mekanisme pemanfaatan resmi seperti sewa, pinjam pakai, atau kerja sama pemanfaatan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Bahkan, Pasal 366 ayat (1) huruf b memberikan ruang bagi daerah untuk bekerja sama dengan pihak ketiga dalam pengelolaan aset, asalkan berdasarkan kontrak yang sah, transparan, serta didahului studi kelayakan.

Dr. Romi juga mengingatkan, apabila penyewaan aset daerah dilakukan dengan nilai di bawah harga wajar atau tanpa dasar hukum yang kuat, maka dapat berpotensi menimbulkan kerugian keuangan daerah dan menjadi dasar penyelidikan hukum.

“Kalau nilai sewanya jauh di bawah harga pasar dan tidak ada persetujuan DPRD, itu bisa masuk kategori penyalahgunaan wewenang atau korupsi. Karena aset daerah adalah kekayaan publik yang harus dijaga akuntabilitasnya,” ujarnya.

Polemik Sewa Lahan Pemkab Lutim

Isu ini relevan dengan situasi di Kabupaten Luwu Timur. Sebagaimana diketahui, pada Rabu, 24 September 2025, Pemerintah Kabupaten Luwu Timur dan PT Indonesia Huaxin Industrial Park (IHIP) menandatangani kerja sama pembangunan kawasan industri terintegrasi di Malili.

Kerja sama itu melibatkan penggunaan lahan milik Pemkab seluas 394,5 hektare sebagai bagian dari fasilitas kawasan industri.

Namun, belakangan muncul sorotan publik terhadap dugaan ketidakwajaran tarif sewa lahan yang dikenakan kepada pihak perusahaan.

Adapun tarif sewa yang diberlakukan Pemkab kepada PT IHIP sebesar Rp4,45 miliar untuk jangka waktu lima tahun. Dengan demikian, nilai sewa lahan per tahun hanya sekitar Rp889 juta untuk seluruh area 394,5 hektare tersebut, atau hanya sekitar Rp226 per meter per tahun.

Dalam konteks ini, pandangan Dr. Romi menjadi penting untuk memastikan agar setiap kebijakan penyewaan atau pemanfaatan aset milik daerah tetap berada dalam koridor hukum dan prinsip akuntabilitas publik.

“Asasnya sederhana, bahwa semua penggunaan aset daerah harus transparan, sesuai nilai wajar, dan mendapat persetujuan DPRD. Itu amanat undang-undang,” pungkasnya.

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada penjelasan resmi yang diterbitkan baik oleh Pemerintah Kabupaten Luwu Timur maupun pihak DPRD Luwu Timur. (*)

Advertisement