Catatan Hati HTB: Mengeong di Kandang Macan

0
FOTO: Prof. Dr. Sukardi Weda, SS., M.Hum., M.Pd., M.Si., MM., M.Sos.I, MA.
FOTO: Prof. Dr. Sukardi Weda, SS., M.Hum., M.Pd., M.Si., MM., M.Sos.I, MA.

PENULIS: H. Tammasse Balla (HTB)

LEGIONNEWS.COM – Kalau ada kucing masuk kandang macan, orang-orang biasanya mengatakan “Wah, tamat riwayatmu, Nak.”. Namun, kalau kucing itu bukan kucing biasa, melainkan Prof. Sukardi dari UNM yang “nekad’ mencoba peruntungan jadi Rektor Unhas 2026–2030, ceritanya lain. Ini bukan soal siapa yang memangsa siapa, tapi soal siapa yang berani mengeong meskipun tahu lawannya bisa menerkam kapan saja.

Macan-macan itu sudah lama tinggal di kandang megah bernama Unhas. Mereka sudah paham seluk-beluk hutan kampus, hafal lorong birokrasi, tahu di mana rumput basah dan di mana daging segar. Tiba-tiba datang seekor kucing kampung dari UNM, dengan bulu sederhana, mengeong di depan singgasana macan. “Mau jadi raja hutan?” begitu ejek sebagian orang.

Siapa menganggap kucing kampung tak punya nyali? Justru karena biasa hidup di gang-gang sempit, ia terbiasa lapar, terbiasa disiram hujan, terbiasa lari dari kejaran anjing. Mentalnya ditempa bukan di karpet merah, melainkan di tanah becek. Ketika ia masuk kandang macan, rasa takut itu memang ada—tapi diubah jadi lagu. Ngeong yang mungkin terdengar

lucu, tapi mengandung tekad yang tak bisa dipadamkan.

Coba bayangkan, kalau semua orang hanya mau jadi penonton di luar kandang. Kita cuma bisa berkomentar: “Ah, mustahil, Prof. Sukardi itu bukan dari dalam lingkaran.” Tapi bukankah lingkaran besar itu suatu hari juga butuh garis baru? Kalau tidak, ia akan jadi lingkaran yang itu-itu saja, berputar-putar di tempat, tak pernah membuka ruang bagi yang lain.

Mengeong di kandang macan bukan berarti berharap macan berubah jadi vegetarian. Tidak. Itu sekadar tanda bahwa ada suara kecil yang berani terdengar. Bukankah sejarah sering dimulai dari suara-suara yang awalnya dianggap remeh? Orang dulu juga menertawakan si buta yang bicara tentang cahaya, si miskin yang bicara tentang keadilan, si kurus yang bicara tentang perlawanan.

Prof. Sukardi tidak sedang mabuk mimpi. Ia tahu risikonya. Bisa saja ia diterkam habis oleh tawa sinis, oleh politik kampus, oleh gengsi sejarah Unhas. Tapi yang ia lawan pertama-tama bukan macan, melainkan dirinya sendiri. Ia sedang membungkam suara dalam hati yang berkata: “Tak usah masuk, kamu akan kalah.” Membungkam suara takut itu jauh lebih mulia tiinimbang sekadar menang dalam pemilihan.

Lucunya, macan pun kadang tak bisa tidur gara-gara suara kucing. Ngeong itu kecil, tapi mengusik. Barangkali itulah niat Prof. Sukardi. Kalau pun tak jadi raja, setidaknya ia membuat macan-macan sadar bahwa masih ada suara lain di luar kandang. Suara yang kecil tapi jujur, suara yang lirih tapi berani.

Kelak, ketika orang menulis sejarah, mungkin bukan tentang siapa yang jadi rektor, tapi siapa yang pernah berani mengeong di kandang macan. Karena jabatan bisa hilang, kursi bisa berganti, tapi keberanian adalah warisan abadi. Siapa tahu, justru dari kucing kecil inilah lahir pelajaran besar: bahwa rasa takut hanya bisa dikalahkan dengan berani bersuara, meski suara itu terdengar lucu di telinga sebagian orang. [HTB]

Advertisement