Pendidikan Anak Mantan Presiden RI ke 7 Digugat, Dianggap Tidak Sesuai dengan Aturan di Indonesia

0
FOTO: Cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka tiba di kantor Sekretariat Bawaslu Jakarta Pusat, Rabu (3/1/2024). Foto: Pradita Utama/Detik.com
FOTO: Cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka tiba di kantor Sekretariat Bawaslu Jakarta Pusat, Rabu (3/1/2024). Foto: Pradita Utama/Detik.com

LEGIONNEWS.COM – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang gugatan perdata terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan berlangsung hari ini, Senin (8/9/2025).

Gibran merupakan putra pertama Presiden Republik Indonesia (RI) ke 7, Joko Widodo atau Jokowi.

Gugatan perkara perdata ini dengan nomor 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst diajukan oleh seorang warga sipil bernama Subhan Palal.

Tidak tanggung tanggung Subhan menggugat Wakil Presiden hingga Rp 125 triliun.

Sidang akan dimulai pukul 09.00 WIB di ruang Soebekti 2 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Gugatan Pendidikan Wapres

Berdasarkan informasi yang diunggah KPU pada laman infopemilu.kpu.go.id, Gibran diketahui menamatkan pendidikan setara SMA di dua tempat, yaitu Orchid Park Secondary School Aoi ML sama) bm a dwekSingapore pada tahun 2002-2004 dan UTS Insearch Sydney, Australia pada tahun 2004-2007.

Subhan menggugat Gibran karena riwayat pendidikan SMA-nya tidak sesuai dengan aturan di Indonesia.

Salah satu petitum gugatan ini menyebutkan, Gibran dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) patut membayar uang ganti rugi sebesar Rp 125 triliun.

“Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada Penggugat dan seluruh Warga Negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan Rp 10 juta dan disetorkan ke kas negara,” tulis isi petitum.

Gibran dinilai tak penuhi syarat pendidikan SMA Subhan menjelaskan, ia menggugat Gibran karena syarat pendidikan SMA anak sulung mantan Presiden Jokowi.

Menurut Subhan, Putra mantan Presiden RI itu dinilainya tidak memenuhi syarat dalam pendaftaran calon wakil presiden (cawapres) pada Pilpres lalu.

“Syarat menjadi cawapres tidak terpenuhi. Gibran tidak pernah sekolah SMA sederajat yang diselenggarakan berdasarkan hukum RI,” ujar Subhan dilansir dari Kompas.com, Rabu (3/9/2025).

Gugatan Batas Usia Cawapres

Sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana, tentang batas usia syarat calon presiden dan wakil presiden seperti yang tertuang dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal 169 huruf q itu telah dimaknai atau ditambahkan normanya oleh MK melalui putusan nomor 90 sebagai “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Sehingga membuka pintu bagi putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto dalam Pemilu Presiden 2024.

Dalam gugatannya, Brahma, menilai frasa “yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” bertentangan dengan UUD 1945.

Sehingga dia minta agar diubah menjadi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi”.

“Amar putusan, menyatakan permohonan provisi tidak dapat diterima. Dalam pokok perkara, menolak permohonan untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK, Suhartoyo dalam pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (29/11).

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan hakim MK:

Pertama, karena putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum tetap mengikat sejalan dengan pendirian MKMK dalam putusannya nomor 2/2023.

Oleh karena itu, jika menurut pemohon adanya putusan MKMK yang menyatakan adanya pelanggaran etik dan berkesimpulan putusan MK nomor 90 mengandung intervensi dari luar, konflik kepentingan, dan cacat hukum, serta menimbulkan ketidakpastian hukum – menurut MK dalil pemohon itu tidak dapat dibenarkan.

Sebab bagaimanapun, menurut MK, putusan MK nomor 90 itu tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

“Maka sekiranya masih terdapat persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana yang dipersoalkan oleh pemohon dan dengan pertimbangan sebagaimana pendirian Mahkamah pada sebagian besar putusan-putusan sebelumnya… sepanjang tidak bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, Mahkamah memandang tepat jika hal ini diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menilai dan merumuskannya,” ujar hakim konstitusi, Daniel Yusmic P Foekh.

Kedua, Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa syarat batas usia minimum menjadi capres dan cawapres tidak dicantumkan dalam UUD 1945.

Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 hanya mensyaratkan capres dan cawapres harus seorang warga negara Indonesia sejak lahir dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.

Kemudian tidak pernah mengkhianati negara serta mampu secra rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.

Adapun persyaratan lain, sambung hakim Daniel Yusmic, terbuka untuk diatur dalam undang-undang, termasuk batasan minimal usia capres dan cawapres.

Di Indonesia, sambungnya, saat pemilu presiden dan wakil presuden masih terpisah dengan pengaturan pemilu anggota legislatif pada tahun 2004, 2009, dan 2019, ditetapkan bahwa batasan minimum usia capres-cawapres adalah sekurang-kurangnya 35 tahun.

Tapi ketika pemilu presiden dan wakil presiden disatukan dengan pemilu anggota legislatif – dalam rezim pemilu serentak – tahun 2019, persyaratan usia capres-cawapres dinaikkan menjadi paling rendah 40 tahun.

“Merujuk pada hal itu, batas usia minimal untuk menjadi capres dan cawapres terbuka ‘disesuaikan’ dengan kebutuhan dinamika bernegara sepanjang diatur oleh undang-undang.”

“Berdasarkan penjelasan di atas, Mahkamah dapat memahami jika banyak kalangan menghendaki perubahan, termasuk untuk menurunkan batas usia capres dan cawapres.”

“Misalnya bagi yang menghendaki penurunan batas usia minimal terdapat banyak varian seperti minimal 35 tahun, 30 tahun, 25 tahun, 21 tahun, bahkan minimal 17 tahun.”

Dengan banyaknya pilihan yang disertai argumentasi, Mahkamah berkata tidak dapat dan tidak mungkin akan menentukan batasan usia minimal yang mana yang dapat dikatakan konstitusional untuk menjadi capres dan cawapres.

Oleh karenanya, MK kembali menyerahkan kewenangan pengaturannya kepada pembentuk undang-undang.

Ketiga, meskipun pemaknaan baru dalam putusan MK nomor 90 terdapat perbedaan pendapat atau dissenting opinion dan alasan berbeda atau concurring opinion sejumlah hakim konstitusi, pemaknaan baru itu ditegaskan dalam putusan.

Selain itu setelah pengucapan putusan MK nomor 90 telah terjadi peristiwa hukum yakni penetapan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pemilu 2024.

“Sekalipun telah terdapat pemaknaan baru terhadap norma pasal 169 huruf q UU Pemilu, jika diperlukan pembentuk undang-undang tetap memiliki wewenang untuk merevisi batas usia minimal menjadi capres dan cawapres,” jelas hakim Daniel Yusmic. (*)

Advertisement