PENULIS: Arief Wicaksono
Akademisi Fisip Universitas Bosowa
LEGIONNEWS.COM – OPINI, “Amuk massa!” Dua kata yang begitu akrab di telinga kita, ketika kita membayangkannya sebagai ledakan amarah spontan, gerombolan orang yang kehilangan akal sehat, menghakimi seseorang di jalanan atau merusak fasilitas umum karena tersulut satu percikan api. Kita melihatnya sebagai sebuah situasi yang penuh dengan kerusuhan, kekacauan, chaos, sebuah anomali dalam tatanan sosial masyarakat yang beradab.
Namun, benarkah amok sesederhana itu? Mungkinkah di balik ledakan yang tampak acak ini, tersimpan sebuah pola, sebuah makna, dan bahkan, sebuah desain? Kita dapat menelusuri jejak amok, dari lorong sunyi jiwa seorang individu di masa lalu, hingga riuhnya rimba belantara digital saat ini, untuk menguak apa yang sebenarnya tersembunyi di baliknya.
Akar Amok
Istilah “amok” atau “amuk” yang kerap terdengar dalam percakapan sehari-hari ternyata memiliki sejarah dan makna yang jauh lebih dalam dari sekadar tindakan mengamuk biasa. Berakar kuat dalam budaya Melayu, istilah ini telah melintasi batas geografis dan diadopsi ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris, serta menjadi subjek kajian dalam bidang psikologi.
Secara etimologis, “amok” berasal dari kata Melayu “mengamok” yang berarti serangan yang membabi buta, marah, dan putus asa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan “amuk” sebagai kerusuhan yang melibatkan banyak orang atau serangan membabi buta karena marah. Catatan sejarah menunjukkan bahwa pengamat Barat pertama yang mendokumentasikan fenomena ini adalah Kapten James Cook pada tahun 1770 saat perjalanannya mengelilingi dunia.
Dalam konteks Indonesia, secara ringkas kita bisa membaca perilaku itu dalam esai non-fiksi Nadia Bulkin yang berjudul Becoming Ungovernable: Latah, Amok, and Disorder in Indonesia. Esai ini merupakan pemenang penghargaan bergengsi Bram Stoker Award 2024, sekaligus menjadi bagian dari sebuah antologi “Unquiet Spirits: Essays by Asian Women in Horror”, sebuah koleksi tulisan dari para penulis perempuan Asia yang membahas tentang takhayul, roh, dan supernatural dalam konteks identitas dan pemberdayaan.
Lebih jauh membaca Nadia, fenomena “amok” juga kerap dikaitkan dengan kepercayaan spiritual di beberapa daerah, di mana pelakunya diyakini sedang kerasukan, tubuhnya dirasuki oleh roh binatang atau roh orang jahat, yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan kekerasan tanpa kendali.
Seseorang yang dikenal pendiam, sabar, dan pemalu, dapat secara tiba-tiba kerasukan, ia mengambil parang, lalu berlarian mengayunkan parangnya secara membabi buta dan menyerang siapa pun yang ada didepannya, hingga pada akhirnya, ia sendiri pun terbunuh.
Bagi masyarakat saat itu, fenomena itu dianggap sebagai fenomena spiritual. Pelaku dianggap lemah semangatnya, dirasuki setan atau roh jahat. Namun secara psikologis, ini adalah katarsis yang mengerikan dimana satu-satunya cara bagi individu yang tertekan untuk meluapkan bebannya di dalam sebuah kultur yang menuntut ketenangan dan kontrol diri.
Amok pada fase ini bersifat individual, tragis, dan dianggap spiritual.
Ketika Aku dan Kamu Menjadi Kita
Lalu, bagaimana amarah yang tadinya personal ini bisa menjadi milik bersama? Di sinilah pemikir seperti Gustave Le Bon, memberikan petunjuk dari Eropa. Le Bon dalam karyanya The Crowd: A Study of the Popular Mind yang terbit tahun 1895 mengatakan bahwa, ketika individu melebur dalam sebuah kerumunan, ia kehilangan jati dirinya. Kepribadian dan kesadaran individual mereka lenyap dan digantikan oleh apa yang disebut “pikiran kolektif” atau collective mind.
Setidaknya ada tiga mekanisme yang digambarkan Le Bon dalam studinya itu. Pertama, hadirnya Anonimity. Ditengah situasi kehilangan jati diri, tanggung jawab pribadi menguap. Kemudian perlahan muncul kesadaran bahwa ini bukan tentang saya, tapi ini tentang kami, tentang kita. Kedua, terjadinya penularan atau Contagion. Dimana ketika emosi tersulut menjadi kemarahan, ia akan menyebar seperti virus. Satu teriakan provokatif, cukup untuk membakar seluruh kerumunan. Ketiga, terwujudnya Sugesti.
Kerumunan menjadi mudah dipengaruhi oleh pemimpin atau gagasan sederhana yang dilemparkan ke tengah mereka.
Dalam kondisi ini, perasaan, pikiran, dan tindakan semua orang dalam kerumunan bergerak ke arah yang sama, seolah-olah mereka menjadi satu entitas tunggal. Dari situlah muncul “jiwa kerumunan” yang impulsif, irasional, dan mudah tersulut.
Inilah transformasi pertama amok. Ia berevolusi menjadi fenomena psikologi sosial.
Amuk massa di jalanan, penyerbuan ke sebuah wilayah, pembakaran fasilitas umum atau gedung, atau pengeroyokan adalah wujud dari amok kolektif ini. Ia tampak spontan, lahir dari “kemarahan rakyat”. Namun, ia sudah selangkah lebih maju dari amok personal, ia membutuhkan pemicu dan kondisi sosial yang tepat untuk meledak.
Untuk memahami daya hancurnya, kita bisa melihat kebelakang. Sejarah Indonesia mencatat beberapa peristiwa “amuk massa” kolosal yang dampaknya terasa hingga hari ini. Misalnya , Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974.
Bermula dari protes mahasiswa terhadap modal asing, demonstrasi ini dengan cepat berubah menjadi kerusuhan massal di Jakarta yang diwarnai penjarahan dan pembakaran.
Selama peristiwa terjadi, tercatat terdapat korban jiwa sebanyak 11 orang meninggal dunia, ratusan orang luka-luka. Sekitar 807 mobil dan 187 motor dibakar, serta 144 bangunan (termasuk pusat perbelanjaan besar seperti Pasar Senen) rusak berat akibat terbakar. Taksiran Kerugian diperkirakan mencapai miliaran rupiah pada saat itu, sebuah angka yang sangat besar.
Contoh peristiwa Amok yang lain adalah Kerusuhan Mei 1998. Kemungkinan besar “amuk massa” tersebut adalah yanh terbesar dalam sejarah modern Indonesia. Dipicu oleh krisis ekonomi, lahir tragedi Trisakti, dan sentimen anti-etnis Tionghoa, kerusuhan ini melanda beberapa kota besar, terutama Jakarta. Menurut hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tercatat sebanyak 1.217 orang meninggal dunia (sebagian besar terbakar di dalam pusat perbelanjaan) dan 91 orang luka-luka.
TGPF juga memverifikasi 168 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa, meskipun angka riil diyakini jauh lebih tinggi. Ribuan bangunan, termasuk rumah, toko, mal, dan kantor dijarah dan dibakar. Di Jakarta saja, diperkirakan lebih dari 40 mal, 4.000 toko, dan ribuan rumah menjadi sasaran. Dengan taksiran kerugian diperkiraka mencapai Rp 2,5 Triliun, belum termasuk trauma sosial dan politik yang tak ternilai harganya.
Data dari dua peristiwa ini menunjukkan bahwa “amuk massa” bukanlah sekadar letupan kecil. Ia adalah kekuatan destruktif yang mampu melumpuhkan kota, merenggut nyawa, dan meninggalkan luka sejarah yang dalam.
Rekayasa Kemarahan di Ujung Jari
Di era disrupsi saat ini. amok mengalami transformasi keduanya, ia terdigitalisasi dan dapat direkayasa. Linimasa media sosial adalah alun-alun baru, tempat kerumunan digital berkumpul. Mekanismenya mirip, namun jauh lebih cepat dan efisien. Ini bisa disebut “Amuk digital” atau serbuan Internet Citizen (Netizen), dimana kondisi jauh sekali berbeda dengan transformasi pertama, yang paling utama adalah karena massa tidak lagi membutuhkan kontak fisik.
Mekanismenya kira-kira bisa berawal dari sebuah unggahan kontroversial, potongan-potongan video yang provokatif, atau sebuah tanda pagar (tagar) # di sebuah atau beberapa platform media sosial sekaligus. Kemudian, terjadi penularan kemarahan melalui ajakan untuk menekan tombol like dan share, sehingga kemarahan tunggal pada awalnya, dapat berubah masif dan eksponensial.
Pada mekanisme ini, algoritma ikut membantu menyebarkan konten yang paling memancing emosi. Selanjutnya mekanisme sugesti akan pelan-pelan mengambil alih kesadaran digital. Akun-akun anonim dan pendengung (buzzer) menjadi garda terdepan, merasa kebal dari konsekuensi hukum dan sosial.
Di fase ini, “spontanitas” menjadi kata yang patut dicurigai. Amok digital bisa dirancang. Sentimen bisa digiring, target bisa ditentukan, dan kemarahan publik bisa dinyalakan dan dipadamkan sesuai pesanan untuk tujuan tertentu, entah itu komersial maupun politik.
Kemarahan tidak lagi meledak begitu saja, ia bisa diproduksi.
Amok, Produksi Ruang, dan Siapa yang Tertawa paling Akhir
Setelah itu amok kemudian menemukan transformasi ketiganya, melalui perspektif ruang. Amok, baik fisik maupun digital, tidak terjadi di ruang hampa. Ia mencipta, mengubah, dan mendefinisikan ruang.
Sebuah jalanan yang tadinya adalah ruang publik yang netral, setelah terjadi amuk massa, berubah menjadi ruang yang mencekam.
Linimasa media sosial yang tadinya adalah ruang interaksi, ruang diskusi, setelah diserbu oleh buzzer, kemudian menjelma menjadi ruang yang toxic dan membungkam suara-suara kritis.
Inilah yang disebut sebagai produksi ruang oleh Henry Levebvre. Ruang dibentuk oleh kekuatan sosial dan politik. Dan di sinilah kita menemukan keuntungan politik dari fenomena amok, seperti yang disinggung oleh Nadia Bulkin dalam esainya.
Ketika amok terjadi, sebuah kekuatan politik tertentu bisa mendapatkan keuntungan besar dalam bentuk misalnya pengalihan isu. Kekacauan akibat amok menjadi berita utama, menutupi isu lain yang lebih krusial.
Misalnya, korupsi atau kebijakan yang tidak populer. Amok juga bisa digunakan untuk menstigma kelompok tertentu, melabeli mereka sebagai trouble maker, “biang kerok” dan memecah belah masyarakat.
Yang terpenting, kekacauan ini bisa menjadi pembenaran bagi siapa saja untuk tampil sebagai pahlawan, “juru selamat” bagi mereka yang tidak kritis dan menerima keadaan tanpa pertanyaan dan mengajukan protes. Amok menjadi alasan untuk melegitimasi kontrol yang lebih ketat, undang-undang yang represif, dan pengawasan yang lebih intensif.
Pada akhirnya, amok yang tampak seperti ledakan kemarahan dari bawah (bottom-up), seringkali akan didalangi, ditunggangi, dan dimanfaatkan, atau bahkan diciptakan oleh kekuatan dari atas (top-down) untuk melanggengkan kekuasaan mereka.
Jadi, ketika lain kali kita melihat atau merasa ada gelombang amarah di jalanan atau di linimasa, berhentilah sejenak dan bertanya, Apakah ini adalah kemarahan yang murni? Atau ini adalah sebuah pertunjukan yang sengaja didesain? Siapakah yang sesungguhnya sedang mengamuk, dan siapa yang diam-diam tersenyum di balik panggung kekacauan ini?

























