
Oleh: Asri Tadda
GERAKAN mahasiswa di Indonesia selalu punya peran penting dalam sejarah bangsa. Dari era 1966, 1974, 1998, hingga reformasi, mahasiswa kerap menjadi aktor perubahan (agent of change) sosial dan politik.
Namun, lanskap hari ini berbeda. Keterbatasan ruang gerak, tekanan birokrasi kampus, hingga regulasi ketat membuat aksi massa mahasiswa tidak lagi sekuat dulu. Banyak mahasiswa kini lebih sibuk dengan urusan pribadi ketimbang turun ke jalan menyuarakan aspirasi.
Apakah ini berarti gerakan mahasiswa sudah tamat? Saya kira tidak. Justru inilah momentum untuk beradaptasi. Mahasiswa hari ini adalah Generasi Z, generasi yang lahir dan tumbuh bersama internet, smartphone, dan media sosial.
Menurut laporan McKinsey (2022), rata-rata Gen Z menghabiskan 8–10 jam per hari di ranah digital. Marc Prensky (2001) menyebut mereka sebagai digital natives—mereka berpikir, berkomunikasi, dan berorganisasi dengan cara berbeda dari generasi sebelumnya.
Dengan realitas seperti ini, maka mau tak mau gerakan mahasiswa seharusnya bertransformasi ke bentuk barunya mengadopsi ekosistem digital.
Saya menyebutnya sebagai Pemerintahan Digital Mahasiswa (Student Digital Government, atau Student e-Government). Dalam artikel ini selanjutnya kita singkat PDM.
Konsep PDM hadir sebagai jawaban atas dua hal utama. Pertama, keterbatasan gerakan konvensional. Aksi jalanan sering berhadapan dengan stigma negatif atau represi. Konsolidasi massa juga makin sulit karena mahasiswa terfragmentasi oleh kesibukan akademik maupun tekanan ekonomi keluarga.
Kedua, peluang digitalisasi. Dunia sudah bergerak menuju pemerintahan digital. Laporan E-Government Survey 2022 dari PBB menegaskan bahwa digital governance mampu meningkatkan akses, transparansi, dan partisipasi warga. Jika pemerintah saja tengah bereksperimen ke arah sana, mengapa mahasiswa tidak mencoba terlebih dahulu di dalam lingkup kampus?
Laboratorium Demokrasi Digital
Carole Pateman (1970) dalam Participation and Democratic Theory menekankan pentingnya demokrasi partisipatoris—warga terlibat langsung dalam pengambilan keputusan.
PDM bisa menjadi laboratorium demokrasi digital bagi mahasiswa. Bayangkan sebuah universitas dengan struktur pemerintahan digital mahasiswa, dimana Presiden/Ketua BEM digital, kabinet digital, parlemen digital, hingga mahkamah digital. Semua posisi dipilih melalui e-voting yang aman.
Mahasiswa bisa menyampaikan aspirasi lewat polling online, forum diskusi, atau chatbot cerdas.
Setiap kebijakan simulatif yang lahir dipublikasikan secara transparan dalam dashboard digital yang bisa diakses publik kampus. Agenda PDM bisa beragam. Mulai dari advokasi isu UKT, fasilitas, kebebasan akademik, hingga literasi digital. Lebih jauh, platform ini bisa menjadi wadah kolaborasi antaruniversitas untuk membentuk federasi mahasiswa digital tingkat nasional.
Di sinilah konsep networked movements ala Manuel Castells (2012) bekerja, dimana gerakan mahasiswa tidak lagi bergantung pada ruang fisik, tapi membangun kekuatan jejaring lintas ruang digital.
Keunggulan PDM, Konsep PDM memiliki sejumlah keunggulan, antara lain:
1. Inklusif
Salah satu kelemahan utama gerakan mahasiswa konvensional adalah terbatasnya basis partisipasi. Tidak semua mahasiswa bisa atau mau ikut aksi jalanan karena berbagai faktor, bisa karena kesibukan kuliah, pekerjaan sampingan, kondisi kesehatan, atau bahkan ketakutan akan risiko represi. Akibatnya, hanya sebagian kecil mahasiswa yang aktif, sementara mayoritas menjadi “silent majority”.
Dengan PDM, hambatan itu bisa diatasi. Platform digital memungkinkan setiap mahasiswa berpartisipasi hanya dengan smartphone atau laptop yang mereka gunakan sehari-hari. Partisipasi tidak lagi menuntut kehadiran fisik, tetapi cukup dengan klik untuk ikut voting, isi polling, atau menyampaikan opini dalam forum digital.
Dalam konteks ini, PDM menciptakan ruang demokrasi yang lebih inklusif, di mana suara mahasiswa tidak terbatasi oleh ruang, waktu, atau kondisi sosial-ekonomi.
2. Efisien
Gerakan mahasiswa konvensional membutuhkan banyak sumber daya. Sebut saja mencetak selebaran, menyewa tempat rapat, logistik aksi, hingga biaya transportasi. Selain itu, waktu yang dihabiskan untuk konsolidasi fisik sering kali tidak efektif, apalagi jika jumlah peserta minim.
Nah, PDM memotong rantai inefisiensi ini. Semua rapat bisa dilakukan secara daring, keputusan diambil lewat e-voting, dan informasi disebar melalui aplikasi atau media sosial.
Hasilnya, biaya dan waktu bisa ditekan drastis. Lebih dari itu, efisiensi ini juga meningkatkan kecepatan respons: isu yang muncul hari ini bisa langsung dibahas, diputuskan, dan ditindaklanjuti tanpa harus menunggu rapat besar yang sulit mengumpulkan massa.
3. Transparan
Salah satu kritik terhadap organisasi mahasiswa adalah munculnya elitisme internal. Keputusan sering diambil segelintir orang, sementara mahasiswa lain tidak tahu menahu. Proses pengelolaan anggaran, program kerja, dan lobi ke pihak kampus pun kerap tertutup.
PDM menawarkan model baru. Semua proses pengambilan keputusan dapat dipublikasikan melalui dashboard digital yang bisa diakses oleh seluruh mahasiswa. Anggaran organisasi, hasil voting, hingga laporan kinerja bisa diunggah secara terbuka.
Dengan begitu, akuntabilitas meningkat dan potensi elitisme berkurang.
Transparansi ini sejalan dengan prinsip good governance yang selama ini justru dituntut mahasiswa kepada pemerintah, kini bisa dipraktikkan terlebih dahulu di lingkungan kampus.
4. Resilien
Aksi jalanan sering berhadapan dengan aparat keamanan, larangan dari kampus, atau bahkan kriminalisasi lewat pasal karet UU ITE. Banyak gerakan mahasiswa berhenti bukan karena hilang semangat, melainkan karena tekanan struktural.
PDM menawarkan alternatif gerakan yang lebih resilien. Karena berbasis digital, ia lebih sulit dibatasi oleh regulasi konvensional. Kampus bisa melarang demonstrasi di lapangan, tetapi sulit melarang mahasiswa berdiskusi di ruang digital.
Bahkan, jika satu kanal komunikasi ditutup, jejaring digital bisa bermigrasi dengan cepat ke platform lain. Seperti yang diungkap Manuel Castells (2012), kekuatan gerakan sosial di era digital justru terletak pada fleksibilitas dan daya jelajah jejaringnya.
Dengan kata lain, PDM dapat membangun daya tahan gerakan mahasiswa terhadap represi eksternal.
5. Eksperimen Masa Depan
Indonesia saat ini sedang menuju transformasi digital dalam tata kelola pemerintahan. Laporan E-Government Survey 2022 dari PBB menegaskan bahwa digital governance akan menjadi masa depan partisipasi publik. Namun, transisi ini tidak akan berhasil tanpa warga negara yang paham bagaimana menggunakannya.
Di sinilah PDM punya nilai strategis. Ia menjadi laboratorium demokrasi digital.
Mahasiswa bisa belajar langsung bagaimana proses pemilihan, pengambilan keputusan, akuntabilitas, dan advokasi berlangsung dalam format digital.
Pengalaman ini bukan hanya bermanfaat untuk kehidupan kampus, tetapi juga mempersiapkan mahasiswa sebagai warga negara yang siap berpartisipasi aktif dalam tata kelola pemerintahan digital di Indonesia.
Dengan kata lain, PDM tidak sekadar strategi taktis untuk mengatasi keterbatasan gerakan hari ini, tetapi juga investasi jangka panjang bagi kualitas demokrasi bangsa.
Tantangan dan Jalan Keluar
Sebagai konsep yang relatif baru, model PDM ini tentu punya tantangan tersendiri. Pertama, soal legitimasi. Apakah kampus akan mengakui PDM? Jawabannya: tidak harus.
Justru kekuatan PDM ada pada sifat independennya, berdiri sebagai ruang alternatif.
Kedua, risiko partisipasi pasif. Ini bisa diatasi dengan gamifikasi—misalnya sistem poin atau penghargaan bagi mahasiswa aktif.
Ketiga, soal keamanan data. Butuh sistem autentikasi yang kuat agar e-voting dan polling digital tidak dimanipulasi.
Seperti ditegaskan Peixoto & Fox (2016) dalam kajian civic tech, teknologi digital dapat memperkuat suara warga sekaligus mendorong respons pemerintah. Logika yang sama berlaku di kampus. Teknologi bisa membuat suara mahasiswa lebih terorganisir, sistematis, dan sulit diabaikan.
Keterbatasan gerakan mahasiswa hari ini bukanlah akhir dari sejarah. Justru ia membuka jalan bagi inovasi. Dengan membangun Pemerintahan Digital Mahasiswa, terutama di tingkat universitas, mahasiswa tidak hanya menyiasati hambatan struktural dan disparitas antarfakultas, tetapi juga menyiapkan diri sebagai pionir demokrasi digital di Indonesia.
Gerakan mahasiswa tidak boleh mati. Ia hanya harus bertransformasi. Dan di era Gen Z, transformasi itu bernama Pemerintahan Digital Mahasiswa.
Referensi;
Castells, M. (2012). Networks of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age. Polity Press.
Pateman, C. (1970). Participation and Democratic Theory. Cambridge University Press.
UN DESA. (2022). E-Government Survey: The Future of Digital Government. United Nations. Prensky, M. (2001).
Digital Natives, Digital Immigrants. MCB University Press.
Peixoto, T., & Fox, J. (2016). When Does ICT-Enabled Citizen Voice Lead to Government Responsiveness? World Bank.
McKinsey & Company. (2022).
How Gen Z is Shaping the Future of Work and Consumption.
Latar Belakang Penulis:
Asri Tadda, Ketua DPW Gerakan Rakyat Sulawesi Selatan. Pernah menjadi Ketua BEM Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Periode 2001-2002. .
Praktisi dan Konsultan Digital Marketing, Pemegang Sertifikasi Profesional Social Media Marketing (CPSMM) dari BNSP.
Dapat dihubungi melalui email: asritadda@gmail.com, Instagram/Twitter/TikTok: @asritadda atau asritadda.com
























