Pengusaha Penggilingan Padi Enggan Lepas Stok Beras, ini Peringatan Pemerintah

0
ILustrasi -Pekerja mengemas beras di penggilingan padi Desa Kajongan, Bojongsari, Purbalingga, Jawa Tengah, Kamis (29/4/2021). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/rwa.
ILustrasi -Pekerja mengemas beras di penggilingan padi Desa Kajongan, Bojongsari, Purbalingga, Jawa Tengah, Kamis (29/4/2021). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/rwa.

LEGIONNEWS.COM – JAKARTA, Pengusaha penggilingan padi enggan melepaskan stok beras ke masyarakat. Pasalnya sejumlah pengusaha ketakutan akibat kasus beras oplosan.

Kini Pemerintah meminta para pengusaha penggilingan padi segera melepas stok beras ke masyarakat dalam waktu dua hari ke depan.

Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi dalam keterangannya kepada media meminta agar pengusaha penggilingan padi tidak menahan pasokan beras.

Arief mengatakan pengusaha tak perlu takut ditindak bila tak melanggar aturan.

“Dalam dua hari ini semua harus bisa ngelepas (stok beras). Kalau tidak ada pelanggaran apa-apa, enggak ada yang perlu dikhawatirkan,” ujar Arief di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta, Rabu (13/8).

“Jadi kalau melanggar, pasti ada konsekuensinya,” tegas Arief.

Ia mengaku telah berkoordinasi dengan Satgas Pangan Polri. Menurutnya, kepolisian tidak akan menindak sembarangan.

Ia mengaku telah berkoordinasi dengan Satgas Pangan Polri. Menurutnya, kepolisian tidak akan menindak sembarangan.

Arief berpendapat pengusaha penggilingan hanya perlu menaati peraturan bila tak mau ditindak. Misalnya, beras premium maksimal berisi 15 persen bulir beras yang patah atau beras broken.

Ia juga menanggapi kekhawatiran sebagian pengusaha penggilingan padi atas harga pembelian gabah yang terlalu tinggi. Arief mengatakan harga pembelian gabah Rp6.500 merupakan kebijakan yang sudah dipikirkan matang.

Menurutnya, harga beras sangat dipengaruhi oleh harga gabah di tingkat petani. Oleh karena itu, pemerintah membuat kebijakan yang memastikan rakyat dari hulu hingga hilir distribusi beras untung.

“Petani harus dapat harga yang baik, yang wajar, penggiling padi juga harus ada marginnya, kalau enggak nanti dia tutup. Konsumen juga sama,” ujar Arief.

Sutarto menyebut kenaikan harga pokok pembelian (HPP) gabah menjadi Rp6.500 per kilogram tanpa penyesuaian harga eceran tertinggi (HET) beras yang tetap Rp12.500 per kilogram membuat biaya produksi sulit ditutup, apalagi di tengah penindakan aparat.

“Karena harga gabahnya naik, otomatis harga berasnya kan naik. Tapi itu kan cenderung melanggar kan? Artinya di atas HET kan? Kalau yang pakai kualitas, tapi terus akhirnya bisa saja under quality gitu, di bawah kualitas. Tapi harganya tetap naik. Di bawah kualitas itu ya nanti lama-lama kasihan masyarakatnya,” ujar Sutarto.

Data Ombudsman RI di Karawang menunjukkan 10 dari 23 penggilingan di Kecamatan Tempuran berhenti beroperasi, dengan laporan serupa di Yogyakarta dan Jawa Timur.

Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menambahkan, penutupan penggilingan dipicu persaingan dan rasa takut berjualan di tengah kondisi saat ini. (*)

Advertisement