LEGIONNEWS.COM – Organisasi masyarakat sipil, Lembaga Studi Hukum dan Advokasi Rakyat (LASKAR) Sulawesi Selatan (Sulsel) akan mengawal proses “Hak Angket” Anggota DPRD Sulsel.
Hal itu disampaikan Juru Bicara (Jubir) LASKAR Sulsel, Ilyas Maulana dalam keterangannya, Sabtu (19/7).
“LASKAR tentunya akan mengawal hak angket di DPRD Sulsel, Yang mau di selamatkan ini aset pemerintah daerah di kawasan CPI Tanjung Bunga, Tamalate seluas 12,11 hektare. Kawasan ini sekarang menjadi wilayah elit di kota Makassar, Jadi dari total luasan aset pemerintah daerah itu ditaksir capai Rp2,4 triliun,” ujar Ilyas.
Menurut Jubir LASKAR ini, Hak angket itu akan gugur bila tidak dihadiri 3/4 atau sekitar 72 suara wakil rakyat di gedung DPRD Sulawesi Selatan dari total 84 anggota dewan.
“Dalam waktu dekat ini kami akan gedor gedung dewan, Agar anggota DPRD Sulsel hadir dalam rapat paripurna. Kalau tidak hadir patut diduga ada kongkalikong antara wakil rakyat dengan pihak pengembang,” imbuh Jubir LASKAR itu.
Untuk diketahui, Sesuai aturan, pengesahan penggunaan hak angket di paripurna membutuhkan persetujuan minimal 3/4 dari total 84 anggota DPRD, atau sekitar 72 suara.
Usulan penggunaan hak angket oleh DPRD Provinsi Sulawesi Selatan kini memasuki fase penting. Badan Musyawarah (Bamus) DPRD dijadwalkan segera menggelar rapat untuk membawa usulan tersebut ke sidang paripurna.
Wakil Ketua DPRD Sulsel, Fauzi Andi Wawo, menegaskan bahwa pimpinan dewan tidak akan menghambat proses politik tersebut. Menurutnya, seluruh persyaratan formal telah terpenuhi.
“Ini hak konstitusional anggota dewan. Tidak ada alasan untuk menghalangi. Kami akan teruskan ke Bamus agar bisa segera dijadwalkan ke paripurna,” ujar Fauzi saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (18/7/2025).
Fauzi menekankan bahwa hak angket ditujukan untuk menggali peran pemerintah daerah, khususnya Gubernur Sulsel, dalam pengelolaan aset di CPI. Ia menyebutkan bahwa yang akan dimintai pertanggungjawaban bukan pihak swasta, melainkan pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab.
“Ini menyangkut aset daerah yang besar nilainya. Hak angket dimaksudkan untuk meminta penjelasan sejauh mana peran pemerintah dalam kasus ini,” katanya.
Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPRD Sulawesi Selatan yang dijadwalkan untuk menindaklanjuti usulan Hak Angket atas pengelolaan aset CPI kembali gagal mencapai kuorum. Ketidakhadiran sejumlah anggota dewan dalam rapat penting ini memicu dugaan kuat adanya permainan politik di balik layar, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan aset triliunan rupiah di kawasan reklamasi Centre Point of Indonesia (CPI).
Sejumlah aktivis masyarakat sipil menilai gagalnya rapat Bamus ini bukanlah kejadian biasa. Ada indikasi bahwa beberapa anggota DPRD sengaja menghindari rapat untuk menggagalkan proses formal Hak Angket, yang sejatinya akan membuka tabir penguasaan aset oleh pihak ketiga. Dugaan ini makin menguat setelah muncul sinyal adanya pendekatan intensif dari pihak pengembang kawasan CPI kepada sejumlah legislator.
Dalam perkembangan yang sama, perhatian publik kini mengarah pada PT Yasmin Bumi Asri yang disebut-sebut sebagai pihak yang mengelola sebagian besar kawasan CPI. Perusahaan ini diduga tengah mendorong penguasaan terhadap lahan-lahan yang secara hukum masih milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Dari total sekitar 157 hektare hasil reklamasi, hanya sebagian kecil yang telah diserahkan kembali ke Pemprov. Sementara sebagian besar lainnya hingga kini masih berada dalam kendali pihak pengembang, tanpa kejelasan batas administratif dan kepastian hukum atas status lahannya. Hal inilah yang ditengarai menjadi salah satu alasan utama di balik manuver penghambatan Hak Angket.
“Permainan ini sudah terlalu terbuka. Rapat-rapat penting tidak korum, lalu diam-diam muncul kepentingan pengembang yang ingin mengamankan penguasaan lahan. Ini bukan sekadar kebetulan, ini pola,” ujar salah satu pengamat kebijakan publik Sulsel yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Sementara itu, masyarakat sipil melalui organisasi seperti LASKAR (lembaga studi hukum dan advokasi Rakyat ) SULSEL terus menyuarakan pentingnya transparansi dalam pengelolaan aset CPI. Mereka menilai penguasaan oleh pihak swasta tanpa dokumen legal yang terbuka kepada publik merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip good governance dan berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Pemerintah Provinsi sendiri hingga kini belum memberikan penjelasan terbuka terkait status lahan-lahan yang belum diserahkan kembali. Tidak sedikit yang menduga, proses serah terima sengaja dihambat agar pihak pengembang dapat melanjutkan kontrol mereka atas kawasan strategis tersebut, termasuk untuk kepentingan komersialisasi jangka panjang.
Jika dugaan ini benar, maka Pemprov Sulsel bukan hanya kehilangan kontrol atas aset bernilai triliunan rupiah, tapi juga kehilangan otoritas moral dalam melindungi hak rakyat atas ruang publik dan sumber daya daerah.
DPRD Sulsel sebagai lembaga pengawas diharapkan tidak ikut terlibat dalam kompromi politik yang merugikan daerah. Namun bila terus terjadi manuver penghindaran rapat formal seperti dalam Bamus terakhir, publik patut curiga bahwa sebagian anggota dewan telah lebih dulu bermain dalam orbit kepentingan bisnis properti yang hendak mengambil alih tanah milik rakyat. (LN)

























