PB IPMIL Raya Dorong Evaluasi Menyeluruh Industri Pertambangan dan Smelter di Tana Luwu

FOTO: Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Abdul Hafid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu Raya atau PB Ipmil Raya. (Istimewa)
FOTO: Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Abdul Hafid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu Raya atau PB Ipmil Raya. (Istimewa)

LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Pengurus Besar Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu Raya (PB IPMIL Raya) menyerukan pentingnya evaluasi komprehensif terhadap aktivitas industri pertambangan dan pembangunan fasilitas pemurnian (smelter) di wilayah Tana Luwu, Sulawesi Selatan. Seruan ini disampaikan langsung oleh Formateur Ketua PB IPMIL Raya, Abd Hafid Ansar Mustaring, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan intelektual mahasiswa atas dampak sosial dan ekologis yang semakin dirasakan oleh masyarakat di daerah asal mereka.

Dalam keterangannya, PB IPMIL Raya menyoroti sejumlah proyek industri yang tengah berkembang pesat, seperti aktivitas tambang emas oleh PT Masmindo Dwi Area (MDA) di Kabupaten Luwu, pembangunan smelter nikel oleh PT Bumi Mineral Sulawesi (BMS) di Kecamatan Bua, serta ekspansi operasi PT Vale Indonesia di Kabupaten Luwu Timur dan rencana pertambangan oleh PT Kalla Arebamma di wilayah Luwu Utara.

“Kami tidak dalam posisi menolak investasi. Namun, kami mendorong agar setiap pembangunan di wilayah Tana Luwu dilandasi oleh prinsip keadilan sosial, perlindungan lingkungan, dan penghormatan terhadap eksistensi masyarakat adat. Tanpa pengawasan ketat dan pendekatan yang bijaksana, dampak negatifnya dapat sangat luas dan serius,” ujar Hafid.

Sorotan terhadap Dampak Sosial dan Ekologis

PB IPMIL Raya mencermati berbagai kejadian di lapangan yang menunjukkan perlunya kehati-hatian dalam pelaksanaan proyek-proyek industri tersebut. Salah satu peristiwa yang menimbulkan keprihatinan adalah bencana longsor di Desa Rante Balla, Kabupaten Luwu, yang terjadi pada awal tahun 2025 dan menelan korban jiwa. Bencana ini diduga berkaitan erat dengan pembangunan infrastruktur jalan tambang yang belum disertai kajian lingkungan secara menyeluruh (AMDAL).

Pembangunan smelter nikel oleh PT BMS juga mendapat penolakan dari sebagian warga, khususnya para petani di Desa Karang-karangan, yang merasa kehilangan lahan produktif tanpa proses dialog dan musyawarah yang terbuka. Masyarakat juga mengungkapkan kekhawatiran terhadap pencemaran udara akibat proses peleburan nikel yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar.

“Kami mendengar langsung suara masyarakat yang khawatir kehilangan ruang hidupnya. Jangan sampai kehadiran industri tambang dan smelter justru mengorbankan sawah, sungai, dan hutan yang menjadi sumber kehidupan pokok masyarakat selama ini,” tambah Hafid.

Kekhawatiran serupa juga muncul di wilayah pesisir Malangke, Luwu Utara. Masyarakat cemas atas rencana eksploitasi tambang oleh PT Kalla Arebamma di kawasan Rampi, terutama karena sebagian besar lahan di Malangke masih kerap terendam banjir. Pengalihan fungsi lahan resapan menjadi kawasan pertambangan dikhawatirkan akan memperparah volume aliran air dari hulu ke hilir, memperbesar risiko bencana, serta mengancam ruang hidup warga.

Pemerintah Diminta Hadir Sebagai Penengah yang Bijaksana

Melihat kompleksitas persoalan ini, PB IPMIL Raya mendesak agar pemerintah daerah, provinsi, hingga pusat hadir secara aktif dan proporsional sebagai penengah antara kepentingan pembangunan dan kelestarian lingkungan. Proses perizinan, penyusunan dan pelaksanaan dokumen AMDAL, hingga pembebasan lahan harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan jangka panjang masyarakat serta ekosistem lokal.

PB IPMIL Raya juga menekankan pentingnya dialog yang terbuka, setara, dan konstruktif antara pemerintah, perusahaan, serta masyarakat sipil. Keterlibatan masyarakat adat, petani lokal, dan generasi muda mutlak diperlukan agar proses pembangunan tidak hanya bersifat top-down, tetapi juga partisipatif dan inklusif.

Saran Kebijakan PB IPMIL Raya

Sebagai representasi kolektif mahasiswa Luwu Raya dari berbagai daerah di Indonesia, PB IPMIL Raya menyampaikan sejumlah tuntutan kebijakan sebagai berikut:

PERTAMA, Evaluasi dan Peninjauan Ulang Perizinan Pertambangan dan Smelter

Terutama terhadap proyek-proyek yang telah menimbulkan dampak sosial maupun ekologis yang nyata, serta peninjauan ulang terhadap dokumen AMDAL yang dinilai tidak memadai.

KEDUA, Transparansi dan Partisipasi Publik

Setiap proyek industri ekstraktif wajib melibatkan masyarakat terdampak dan masyarakat adat dalam setiap tahapan pengambilan keputusan, sesuai prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent).

KETIGA, Penegakan Hukum dan Audit Independen

Mendorong aparat penegak hukum dan kementerian teknis untuk menindak tegas setiap pelanggaran terhadap hukum lingkungan, hak asasi manusia, dan prosedur administratif oleh pelaku industri.

KEEMPAT, Keadilan Sosial bagi Masyarakat Lokal

Menuntut realisasi kompensasi yang adil, pemulihan lingkungan dan lahan produktif, serta program pemberdayaan ekonomi masyarakat sebagai bentuk nyata tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

KELIMA, Penghentian Proyek-Proyek yang Rawan Menimbulkan Konflik Sosial dan Ekologis

Termasuk proyek yang tidak mendapatkan persetujuan masyarakat secara bebas dan sadar, serta yang memiliki riwayat konflik atau dampak buruk seperti peristiwa di Rante Balla.

“Kami berharap sejarah pembangunan di Tana Luwu tidak menjadi narasi tentang eksploitasi yang menyisakan penderitaan, melainkan kisah kolaborasi yang melahirkan kesejahteraan bersama. Mahasiswa akan terus hadir sebagai pengingat, pengawal, dan penyambung suara masyarakat,” tegas Hafid.

Sebagai penutup, Formateur Ketua PB IPMIL Raya menegaskan bahwa sikap kritis mahasiswa bukanlah bentuk penolakan terhadap kemajuan, melainkan ajakan untuk menata ulang paradigma pembangunan yang lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada kehidupan masyarakat hari ini dan generasi yang akan datang. (*)

Advertisement