
LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Saintek dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar turun ke jalan melangsungkan aksi unjuk rasa (Unras) di depan publik di dua titik Kota Makassar, yakni Fly Over Jalan Urip Sumoharjo dan Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Aksi ini menjadi bentuk perlawanan intelektual terhadap berbagai kebijakan nasional yang dinilai problematik dan berpotensi mengancam masa depan generasi muda Indonesia.
Aksi dimulai pada siang hari hingga menjelang maghrib “persimpangan peradaban”—tempat di mana suara mahasiswa menggema di tengah hiruk-pikuk kota. Mahasiswa membentangkan spanduk kritis, menyuarakan orasi secara bergantian, dan melakukan teatrikal aksi simbolik yang menggambarkan represi terhadap kebebasan berpikir.
Selanjutnya, massa bergerak menuju Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Di lokasi tersebut, mahasiswa menyampaikan pernyataan sikap resmi dengan grand isu *Indonesia Emas atau Indonesia Cemas* yang berisi empat poin tuntutan utama:
Evaluasi total Penerapan Kurikulum Artificial Intelligence (AI) dalam Kurikulum Nasional 2025. Mahasiswa menilai kebijakan ini terlalu elitis dan berpotensi mengabaikan disparitas infrastruktur serta kesiapan SDM pendidikan di berbagai daerah.
Pencopotan Menteri Kebudayaan sebagai bentuk penolakan atas sikap anti-sejarah, khususnya terkait pengingkaran terhadap tragedi pemerkosaan massal 1998. Mahasiswa menyuarakan pentingnya kejujuran sejarah sebagai fondasi kebudayaan bangsa.
Desakan terhadap transparansi regulasi UKT/BKT, serta pembentukan mekanisme pengaduan terbuka yang melibatkan unsur independen untuk mencegah nepotisme dan ketidakadilan dalam pemberian beasiswa KIP-K.
Penghentian kriminalisasi aktivis di Kota Makassar, khususnya terhadap mahasiswa dan pegiat HAM yang menyuarakan kritik. Praktik ini dianggap sebagai bentuk pelanggaran konstitusional dan pengingkaran terhadap prinsip negara hukum.
Ketua Umum Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar, Muh. Alwi Nur, menyatakan bahwa aksi ini bukan sekadar reaksi sesaat, melainkan bentuk tanggung jawab moral mahasiswa sebagai anak kandung reformasi:
“Kebijakan-kebijakan yang muncul hari ini semakin menunjukkan minimnya keberpihakan negara terhadap rakyat dan generasi muda. Kami tidak menolak AI tapi kami menolak penerapan kurikulum yang tidak membumi, menolak pelupaan sejarah, menolak sistem pendidikan yang elitis, dan menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap suara rakyat. Negara harus hadir untuk mendengar, bukan membungkam,” tegas Alwi di depan gedung DPRD.
Mahasiswa juga menyerahkan dokumen resmi pernyataan sikap kepada Pimpinan legislatif Provinsi Sulsel sebagai bentuk itikad dialogis. (*)