Program Hafalan Al-Qur’an di Sekolah: Niat Baik, Tapi Jangan Jadi Beban Baru

0
FOTO: Makmur Idrus Kader Ansor, Aktivis Sosial dan Kebangsaan
FOTO: Makmur Idrus Kader Ansor, Aktivis Sosial dan Kebangsaan.

Oleh: Makmur Idrus
Pemerhati Pendidikan dan Sosial-Keagamaan

LEGIONNEWS.COM – OPINI, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, Bapak Iqbal Nadjamuddin, baru-baru ini menyampaikan program pembiasaan membaca dan menghafal Al-Qur’an bagi peserta didik Muslim di SMA, SMK, dan SLB. Tidak hanya itu, sholat berjamaah juga dibudayakan di lingkungan sekolah. Meskipun dijelaskan bahwa hafalan bukan syarat kelulusan atau kenaikan kelas, program ini tetap memunculkan banyak pertanyaan di lapangan — terutama terkait dengan kesiapan sumber daya manusia, anggaran sekolah, dan potensi beban tambahan bagi orang tua siswa.

Antara Idealitas dan Realitas Lapangan

Secara nilai dan visi, program ini layak didukung. Mewujudkan generasi Qur’ani yang dekat dengan Al-Qur’an tentu menjadi cita-cita mulia. Namun dalam realitas pendidikan kita hari ini, tak semua sekolah siap menampung kebijakan tersebut, terlebih jika diarahkan menjadi program ekstrakurikuler yang aktif dan berjalan efektif.

Kebijakan ini secara otomatis akan mendorong kebutuhan akan guru tahfidz atau pembina Al-Qur’an yang terlatih. Di sinilah tantangan muncul: apakah saat ini sekolah-sekolah negeri di Sulsel memiliki cukup guru dengan kemampuan tahsin dan tahfidz yang baik? Jawabannya, sebagian besar belum. Maka dalam jangka pendek, sekolah akan dipaksa mencari pengajar tambahan, baik dari luar atau melalui honor internal.

Rekrutmen Guru Tahfidz: Solusi atau Tantangan Baru?

Jika program ini terus berkembang, bisa jadi akan muncul kebutuhan formasi khusus guru tahfidz ke depan. Ini bisa menjadi hal baik jika disiapkan melalui jalur resmi, terstandar, dan terkoordinasi dengan Kementerian Agama. Tapi jika rekrutmen dilakukan secara mendadak dan tidak terencana, sekolah-sekolah bisa terjebak dalam praktik honorarium non-struktural, yang membebani anggaran BOS atau bahkan iuran wali murid.

Artinya, program ini berpotensi menciptakan beban baru bagi sekolah dan orang tua siswa, terutama jika tidak didukung dengan kebijakan pendanaan yang memadai dari pemerintah daerah. Apakah Pemprov Sulsel akan menyiapkan dana tambahan untuk insentif guru tahfidz? Apakah sekolah akan diberi keleluasaan menggandeng mitra seperti pesantren atau lembaga Qur’ani secara resmi? Tanpa kejelasan ini, niat baik bisa berubah menjadi sumber kegelisahan baru.

SLB dan Sekolah Umum Butuh Pendekatan Berbeda

Khusus di lingkungan SLB, pendekatan kebijakan ini perlu lebih manusiawi dan fleksibel. Anak-anak berkebutuhan khusus tentu memiliki ritme dan kapasitas belajar yang berbeda. Program membaca atau menghafal Al-Qur’an perlu disesuaikan secara pedagogis, bukan disamaratakan. Prinsip inklusif harus dijaga agar kebijakan mulia ini tidak berbalik menjadi tekanan mental bagi peserta didik.

Demikian pula di SMK yang memiliki orientasi vokasional tinggi, program tahfidz bisa hadir sebagai nilai tambah — tapi jangan sampai menurunkan fokus utama pada keterampilan dan dunia kerja. Implementasi program ini harus kontekstual, bukan seragam.

Penutup: Dukung Niat, Koreksi Metode

Semangat membumikan Al-Qur’an di sekolah adalah niat mulia. Tapi pendidikan tidak boleh dibangun dengan beban yang dipikul sendiri oleh sekolah dan wali murid. Pemerintah harus hadir, tidak hanya dengan instruksi, tapi juga dengan dukungan nyata: anggaran, pelatihan guru, dan skema rekrutmen yang profesional.

Jika tidak, program ini bisa berubah dari pembinaan spiritual menjadi persoalan struktural yang melelahkan sekolah. Maka, sebelum dijalankan secara luas, mari matangkan perencanaan, siapkan SDM, dan evaluasi kesiapan lapangan. Dengan begitu, kita tidak hanya membentuk generasi yang hafal Al-Qur’an, tapi juga sejahtera secara lahir dan batin.

Advertisement