
LEGIONNEWS.COM – Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP, Latifah Anum Siregar mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi di Anggruk membuktikan bahwa konflik bersenjata di Papua ‘zero toleransi’ terhadap masyarakat sipil.
“Bahkan mereka cenderung dijadikan sasaran atau target dari kekecewaan salah satu pihak terhadap pihak lainnya. Di daerah konflik, mereka paling lemah karena hampir tidak punya keterikatan sosiokultural dengan lingkungan sekitarnya,” kata Anum.
Anum pun meminta agar profesi kemanusiaan ini tidak boleh distigma tanpa ada pembuktian hukum dan mendapatkan perlindungan keamanan dari negara.
“TNI, POLRI dan TPNPB harus melindungi masyarakat sipil sebagai bagian dari tanggung jawab kemanusiaan mereka. Semua pihak harus bersedia membuka ruang dialog yang inklusif guna mengakhiri aksi kekerasan dan konflik bersenjata di tanah Papua,” kata Anum.
Mengapa konflik berpengaruh pada pendidikan di Papua?
Dalam laporan Bappeda Provinsi Papua berjudul ‘Pembangunan Bidang Pendidikan di Provinsi Papua tahun 2023’, konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap kemajuan pendidikan.
“Salah satu dampak utama dari konflik ini adalah terganggunya proses pembelajaran. Sekolah-sekolah di daerah-daerah yang terkena konflik sering kali harus ditutup atau beroperasi secara terbatas, sehingga menyebabkan siswa kehilangan akses ke pendidikan,” bunyi dalam laporan itu.
Kemudian, laporan itu juga menyebut bahwa ketidakstabilan keamanan membuat para guru sulit untuk mengajar dengan efektif karena mereka merasa khawatir akan keselamatan mereka sendiri.
Bahkan, sekolah juga sering kali menjadi sasaran konflik, yang menyebabkan rusaknya infrastruktur pendidikan dan hilangnya fasilitas belajar-mengajar yang penting.
Lalu, konflik juga dapat mengakibatkan pengungsi internal, yang kemudian memerlukan perhatian khusus dalam hal pendidikan.
“Ketidaksetaraan ekonomi dan keterbatasan akses infrastruktur sosial seperti layanan kesehatan dan transportasi juga memperumit upaya untuk menyediakan pendidikan berkualitas di daerah terpencil di Papua,” kata laporan itu.
Dan, beberapa wilayah di Yahukimo adalah salah satu episentrum konflik bersenjata di tanah Papua.
Salah satu contoh, pada 2023, Kota Dekai, ibu kota Yahukimo, dilaporkan “mencekam” usai terjadi serangan terhadap pesawat komersil dan pembakaran gedung SD yang diklaim dilakukan oleh kelompok TPNPB OPM.
Agus Sumule mengatakan kini terdapat hampir 700.000 penduduk usia sekolah di Papua yang tidak pernah menginjakan kaki mereka di lembaga pendidikan.
Jika dibiarkan, Agus memprediksi pada 2030 jumlahnya akan mencapai satu juta orang.
“Artinya, bagaimana kita bisa terus berharap masyarakat di Papua menganggap diri mereka bagian dari Republik Indonesia, kalau cita-cita kemerdekaan yang mencerdaskan kehidupan bangsa tidak terjadi di Papua,” katanya.
Kemudian, secara khusus Agus mencontohkan wilayah Yahukimo.
Kabupaten ini, katanya yang mengutip data Kementerian Pendidikan, menjadi daerah tertinggi di Papua Pegunungan yang penduduk usia sekolahnya tak merasakan bangku pendidikan. Jumlahnya lebih dari 39.000 jiwa.
Bahkan, katanya, ada lebih dari 13.000 anak usia SD di sana yang tak bersekolah.
Bukan hanya itu, Agus mengatakan Yahukimo juga kekurangan guru hingga 1.200 orang.
Menurut data BPS Yahukimo, jumlah sekolah dasar di sana berjumlah 167 sekolah, dan memiliki 873 guru, dengan jumlah murid 48.730 orang.
Sementara untuk tingkat SMP, ada 39 sekolah dengan jumlah guru 281 orang, dan jumlah murid 7.365 jiwa.
Angka itu semakin kecil di tingkat SMA. Hanya ada tujuh sekolah di Yahukimo. Lima SMA di Dekai, satu SMA di Anggruk dan satu lagi di Kurima.
Jumlah guru SMA pun berjumlah 105 orang, dengan jumlah murid mencapai 1.517 orang.
Keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan ini tergambar dalam pengalaman Tri Ari Santi, seorang guru yang menghabiskan delapan tahun (2016-2024) untuk mengajar di Distrik Saminage, Yahukimo.
Tri berkata fasilitas pendidikan, seperti alat tulis, buku dan lainnya saat dia mengajar di sana sangat terbatas.
“Sangat minim sekali. Pertama saya datang itu hanya ada bangunan, bangku, papan tulis. Rumputnya sudah tinggi. Tidak ada alat tulis atau apa,” kenang perempuan yang berasal dari Pulau Jawa ini.
Untungnya, Tri dan temannya membawa beberapa buku sebagai bahan belajar.
Selain fasilitas yang terbatas, Tri juga menyebut tidak ada guru di sana sebelum mereka datang.
“Kepala sekolah juga hadir hanya setahun sekali. Biasanya kasih seragam untuk anak-anak, tapi tidak pernah mengajar. Kegiatan belajar mengajar itu tidak pernah ada,” ujarnya. (BBC Indonesia)