Kisah Pilu Guru di Pedalaman Papua Jadi Sasaran Empuk TPNPB OPM Dituding Agen Militer

FOTO: Tri Ari Santi, seorang guru yang menghabiskan delapan tahun (2016-2024) untuk mengajar di Distrik Saminage, Yahukimo. (Via BBC)
FOTO: Tri Ari Santi, seorang guru yang menghabiskan delapan tahun (2016-2024) untuk mengajar di Distrik Saminage, Yahukimo. (Via BBC)

LEGIONNEWS.COM – Seorang guru yang selamat menceritakan pengalamannya kepada BBC News Indonesia saat Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) melakukan tindakan kekerasan terhadap delapan guru dan tenaga kesehatan (nakes) di Yahukimo pada Jumat pagi (21/03/2025) lalu.

Aktivitas belajar mengajar di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Kristen (SD YPK) Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan berlangsung normal di Jumat pagi itu.

Nus bersama rekan-rekan guru lain melakukan aktivitas seperti biasa, tidak ada yang berbeda.

Usai mengajar, mereka kembali ke kompleks perumahan guru untuk beristirahat. Nus tiba-tiba terbangun oleh suara teriakan yang berasal dari luar rumahnya.

Advertisement

Saat melirik ke luar, dia melihat belasan orang yang menggunakan penutup muka dan membawa senjata tajam berada di depan rumahnya.

Mereka, ujarnya, lalu melempari kaca rumahnya hingga pecah.

Nus dan rekan-rekannya panik. Mereka lalu mencoba keluar dari rumah untuk melarikan diri.

“Teman-teman guru ada [keluar] dari pintu depan. Saya pintu belakang, lompat,” kenang Nus saat ditemui BBC Indonesia di Jayapura, Papua, Senin (24/03).

Nus adalah nama panggilannya. (BBC News Indonesia memilih tidak mengungkap identitas lengkapnya dengan alasan keamanan).

Saat dirinya keluar dari rumah, beberapa pelaku mengayunkan dan melempar parang yang panjang ke arahnya. Dia mampu menghindar. Parang itu mengenai tas yang dia bawa.

“Tuhan tolong saya, mereka buang parang tidak kena, hanya tas saja,” katanya yang telah menjadi guru sejak 2023 di bawah Yayasan Serapim Care.

Terdapat total sembilan guru dari Yayasan Serafim yang mengajar di SD YPK Anggruk. Saat kejadian, satu orang tengah berada di Jayapura, sementara delapan lainnya berada di Anggruk.

Dari jumlah itu, enam orang guru berasal dari luar Papua, dan dua guru orang asli Papua. Selain mereka, ada dua tenaga kesehatan di lokasi kejadian.

Nus melanjutkan, dia pun berlari masuk ke dalam hutan. Dua orang pelaku mengejarnya dari belakang. Namun, dia mampu bersembunyi.

Berjam-jam di hutan, dia kembali ke desa dan melihat beberapa bangunan telah dibakar.

“Mereka [pelaku] rencana jahat untuk kasih mati. Tapi Tuhan tolong kami. Kami berhasil melarikan diri walaupun ada yang terluka,” katanya.

Nus mengatakan, terdapat beberapa rekannya yang terluka akibat serangan. Para korban itu lalu dibawa ke pusat kesehatan di sana untuk mendapatkan perawatan.

“Kita obati teman-teman dan kita kasih aman mereka semua, tenang, dan bisa tidur,” katanya.

Nus dan rekannya melewati malam di rumah sakit dengan penuh rasa was-was, takut serangan kembali datang.

Pagi harinya, dia dan rekannya lalu mengganti perban para korban yang terluka.

Saat mereka tengah beraktivitas, sekitar pukul delapan pagi, para pelaku kembali datang dan melakukan serangan kedua.

“Orang [pelaku] yang sama, kami tidak bisa tahan di dalam ruangan. Saya bilang sudah datang [pelaku], jadi harus kami lari, tapi harus ditutup pintu teman-teman kita ini, supaya mereka jangan tusuk lagi. Kalau tusuk lagi itu mereka sudah meninggal,” katanya.

Mereka pun keluar dari pintu belakang untuk melarikan diri ke dalam hutan. Kembali, mereka dikejar oleh para pelaku.

“Mereka kejar kita itu [masing-masing] dua orang, saya dua, ibu guru dua, ada mantri dua. Kami takut untuk mengamankan teman, tidak bisa. Mereka punya alat tajam dan bukan pendek-pendek. Jadi kami tidak berani untuk baku tolong teman.”

Dalam pengejaran itu, katanya, seorang guru perempuan tidak berhasil selamat dari serangan para pelaku.

“Ibu guru itu dua orang. Musuh bagi jalan, satu dari sana [samping], satu dari belakang. Jadi langsung kepung dan langsung kampak dia, yang meninggal ini,” kenangnya dengan raut muka sedih.

Nus terus berlari ke hutan, menuju atas gunung. Para pelaku kelelahan mengejarnya dan memutuskan kembali.

Nus bertahan di dalam hutan hingga kira-kira pukul satu siang. Merasa situasi mulai aman, dia kembali ke desa.

Nus dan rekannya yang selamat lalu mengamankan diri dan membawa guru perempuan itu di pusat kesehatan. “Vikaris [calon pendeta] dan mama-mama yang jaga kami, mereka bawa minum, makan, sampai kami dijemput,” katanya.

Masih terlihat rasa trauma saat Nus mengenang peristiwa yang hampir mencabut nyawanya itu.

Di balik tatapannya yang beberapa kali terlihat kosong, Nus terus bertanya-tanya, mengapa dirinya dan rekan-rekannya diserang.

Dia menegaskan bahwa dirinya dan rekan-rekan guru lain adalah warga sipil biasa, yang tidak memiliki hubungan baik dengan aparat keamanan ataupun kelompok kepentingan lainnya.

“Kita ini masyarakat biasa. Kita punya ijazah semua sudah terbakar, kalau tidak kami bisa kasih tunjuk. Kami ini guru, hanya mendidik, tidak ada kaitannya dengan apapun,” katanya yang memperoleh gelar sarjana pendidikan dari sebuah kampus di Papua.

Di penghujung wawancara kami, Nus berharap kejadian yang menimpa dirinya tidak terjadi kepada guru-guru lain yang mengabdikan diri mereka untuk memberikan pelayanan kemanusiaan di pedalaman Papua.

Aparat keamanan awalnya melaporkan enam orang guru dan nakes tewas dalam serangan itu. Namun, keterangan ini kemudian direvisi.

Hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) pada Senin (24/03) oleh aparat keamanan melaporkan ada delapan guru yang menjadi korban.

Satu orang guru tewas dibunuh, dan tujuh korban lainnya mengalami luka ringan hingga berat akibat dari penganiayaan senjata tajam.

Dalam olah TKP di kompleks perumahan guru dan sekolah SD Advent Anggruk serta gedung RS Efata Anggruk juga dilaporkan bahwa penyerangan terjadi selama dua hari, yaitu Jumat (21/03) dan Sabtu (22/03).

Selain melukai dan membunuh korban, para pelaku yang disebut berjumlah 15 orang itu juga dilaporkan membakar dua unit rumah dinas guru dan merusak tujuh ruang kelas sekolah. (*)

Advertisement