Oleh: Muhammad Iqbal
LEGIONNEWS.COM – OPINI, Penulis memulai tulisan ini dengan menjelaskan bahwa judul yang diangkat merupakan proyek yang sempat terhenti. Awalnya, judul ini direncanakan sebagai buku yang mulai digarap pada awal tahun 2020, tepat saat pandemi COVID-19 melanda. Namun, hingga akhir tahun 2024, proyek buku tersebut belum juga selesai.
Penulis menyadari bahwa manajemen waktunya masih kurang baik, sehingga tidak memberikan cukup fokus dan waktu untuk menyelesaikan buku yang baru terdiri dari tiga bab dengan total 57 halaman. Karena itu, penulis berinisiatif menjadikan tulisan ini sebagai gambaran awal dari buku yang ingin ditulisnya.
Terinspirasi dari buku āDilarang Gondrongā karya Aria Wiratma yudhistira yang menceritakan tentang bagaimana stereotip yang di bangun di masa orde baru terhadap lelaki\ anak muda yang berambut Panjang atau gondrong adalah representase dari lelaki urakan dan pembangkang sehingga si penulis berencana membuat buku yang menceritakan bagaimana seorang lelaki yang berambut gondrong dalam ruang lingkup akademis atau perkuliahan.
Sebelumnya si penulis juga pernah merasakan berambut Panjang kisaran waktu 2019 sampai 2021 dan dari itu teman-teman sipenulis banyak menyebutnya sebagai Lelaki Cantik di karenakan banyak perempuan yang iri melihat rambutnya yang Panjang dan lurus seperti rambut yang di impikan oleh semua kaum Hawa maka dari itu penulis mendapatkan ide untuk membuat buku yang berjudul āLelaki Cantik di Ruang Lingkup Akademisā
Batas-batas Kerapian
Pelarangan rambut gondrong di kampus sering kali menjadi isu kontroversial yang memicu perdebatan antara pihak kampus dan mahasiswa. Kampus beralasan bahwa kebijakan ini penting untuk menjaga disiplin, kerapian, dan etika berpenampilan sebagai bagian dari pembentukan karakter mahasiswa.
Sebagai institusi pendidikan, kampus merasa bertanggung jawab tidak hanya dalam pengembangan intelektual, tetapi juga dalam membentuk sikap dan perilaku sesuai norma sosial yang lebih luas. Dalam hal ini, rambut gondrong sering dianggap sebagai simbol ketidakpatuhan atau sikap acuh terhadap aturan.
Namun, banyak yang berpendapat bahwa pelarangan rambut gondrong melanggar hak individu untuk mengekspresikan diri. Rambut gondrong merupakan salah satu bentuk ekspresi yang tidak seharusnya diatur dengan ketat oleh institusi pendidikan.
Kampus seharusnya mendukung kebebasan berekspresi dan keragaman, selama tidak mengganggu proses pembelajaran atau hak orang lain.
Kebijakan ini dianggap tidak relevan dengan kualitas intelektual atau prestasi akademik seseorang dan bisa dilihat sebagai tindakan diskriminatif.
Melawan Stereotip Rambut Gondrong
Sebagai penulis, saya sendiri mengalami dampak dari aturan kampus yang melarang mahasiswa berambut gondrong. Dalam satu kesempatan, seorang dosen di kelas saya memaksa saya untuk memotong rambut agar bisa mengikuti perkuliahan berikutnya. Pengalaman ini memperkuat keyakinan saya bahwa penampilan fisik seperti rambut gondrong tidak semestinya menjadi dasar penilaian terhadap moral atau perilaku seseorang.
Pengalaman pribadi ini mempertegas bahwa aturan terkait penampilan seringkali lebih berbasis pada stereotip ketimbang kebutuhan akademis atau moralitas. Ini menggambarkan bagaimana otoritas akademis bisa terlalu jauh dalam mengatur ekspresi individu.
Anggapan bahwa seseorang dengan rambut gondrong identik dengan perilaku buruk atau tidak disiplin adalah stereotip yang dangkal. Stereotip semacam ini sering kali lahir dari bias sosial yang mengaitkan penampilan fisik dengan karakter moral seseorang.
Faktanya, penampilan luar adalah pilihan pribadi dan tidak mencerminkan integritas atau nilai moral seseorang. Banyak tokoh berpengaruh dari berbagai bidang, seperti filsuf dan musisi, memilih untuk berambut panjang sebagai bagian dari identitas mereka, tanpa memperlihatkan perilaku yang merugikan masyarakat.
Menilai seseorang hanya dari penampilan luar merupakan bentuk diskriminasi yang tidak adil. Orang berambut pendek atau berpenampilan rapi juga bisa terlibat dalam perilaku negatif, sementara banyak orang dengan rambut gondrong memiliki moralitas tinggi dan berkontribusi positif dalam masyarakat.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak menghakimi seseorang berdasarkan penampilan fisik, melainkan berdasarkan tindakan, nilai, dan karakter mereka. Penting untuk menegaskan bahwa kampus seharusnya menjadi ruang yang mendukung kebebasan intelektual dan ekspresi individu. Penampilan fisik, seperti rambut gondrong, tidak seharusnya dijadikan tolok ukur moralitas atau kedisiplinan mahasiswa.
Pendidikan semestinya lebih fokus pada pengembangan karakter melalui nilai-nilai yang relevan dengan intelektualisme, kreativitas, dan tanggung jawab sosial, bukan pada penilaian superfisial yang hanya didasarkan pada estetika.
Menghargai keragaman ekspresi merupakan salah satu cara untuk menciptakan lingkungan akademis yang inklusif, di mana mahasiswa dapat mengekspresikan diri secara bebas tanpa takut mendapat diskriminasi.
Sebagai generasi yang akan membentuk masa depan, kita harus belajar untuk melampaui stereotip dan melihat seseorang berdasarkan kualitas intelektual dan moral yang sesungguhnya.
Rambut gondrong hanyalah salah satu aspek fisik, sementara apa yang benar-benar penting adalah kontribusi seseorang terhadap masyarakat dan kemanusiaan.