Zaman Kegelapan Mahasiswa; Periode Kemunduran atau Awal dari Pembaharuan?

Disusun oleh: Ikbal Latief (Bobol Alponso Malweka)

LEGIONNEWS.COM – OPINI, Periode kegelapan filsafat Yunani, sering kali merujuk pada waktu setelah kejatuhan Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 M. Filsafat mulai masuk ke dunia Islam pada abad ke-8 M, khususnya selama periode kekhalifahan Abbasiyah.

Periode ini dikenal sebagai Zaman Keemasan Islam (Golden Age), di mana terdapat dorongan besar untuk belajar, penelitian, dan penerjemahan karya-karya ilmiah serta filsafat dari berbagai budaya yang berbeda sehingga melahirkan transformasi kerangka filsafat yang melibatkan pengintegrasian dan adaptasi gagasan-gagasan filsafat Yunani ke dalam kerangka pemikiran Islam.

Munculnya Renaisans di Eropa pada abad ke-14. Selama periode ini, ada penurunan dalam produksi dan transmisi karya-karya filsafat Yunani di Eropa Barat. Periode ini juga menandai transisi dari abad pertengahan ke era modern.

Advertisement

Pondasi Intelektual yang hadir pada periode Yunani, Islam dan Renaisans, memberikan kontribusi yang besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern. Hal itu menjadi kesyukuran bagi kita yang masih bisa menikmati gagasan-gagasan dari berbagai konsep Ideologi dan kontribusi alam pikiran Yunani, Islam, Barat dan lain sebagainya.

Zaman/Periode kegelapan menurut saya, bukan hanya merujuk pada peristiwa masa lalu, tetapi lebih mengerucut lagi di masa sekarang terkhususnya pada lingkup kampus yang diidealkan sebagai lingkungan yang menampung pikiran-pikiran bermutu. Lebih terkhususnya di kampus saya, yang awal masuknya saya di kampus, saya kemudian mengidealkannya sebagai tempat yang kaya akan tradisi intelektual seperti lapak baca, diskusi dan beda buku.

Sebagai mahasiswa dan orang yang merindukan gagasan-gagasan dan ide-ide dari teman diskusi saya, saya lebih melihat mahasiswa-mahasiswi lebih akrab dengan gatged sembari skrol-skrol tiktok ketimbang bersenggama dengan dialektika dan buku, meski tidak semua. Semoga saja dugaan saya salah.

Ketimbang melihat kondisi realitas kampus yang kaku, berjarak dan membosankan. Saya lebih melihat warkop sebagai tempat bertukar gagasan dan ide-ide, apalagi warkop sangat berperan penting dalam mendiskusikan gagasan hingga dulu sebagai awal pemantik terjadinya revolusi Prancis.

Tantangan sekarang yang dihadapi, bukan lagi 3G yang populer dikenal sebagai instrumen VOC dalam menginvasi Nusantara pada waktu itu. Tetapi lebih kepada mekanisme gaya baru yang kemudian kita kenal sebagai 3F (food, fun and fashion) sebagai nilai jual para mahasiswa-mahasiswi sekarang.

Ada kekhawatiran bahwa beberapa mahasiswa kurang dalam keterampilan berpikir kritis dan analitis, lebih memilih untuk menerima informasi tanpa mempertanyakan atau menganalisisnya secara mendalam. Hal ini yang berimbas pada kecakapan mahasiswa dimasa dewasa ini.

Plus di era digital ini, mungkin hanya sedikit mahasiswa yang masi pasif teknologi digital, tetapi berapa banyak mahasiswa yang pasif dalam kecakapan Ilmu Pengetahuan.

Realitasnya memang sudah jarang kita temui aktivitas-aktivitas tradisi intelektual di dalam kampus. Bahkan tidak jarang pun kita temui mahasiswa yang hanya mengandalkan tindakan kekerasan dan adu pukulan serta menanamkan rasa takut ke adik tingkatnya dan tanpa mengandalkan perkelahian argumentasi yang menjadi citra mahasiswa di masyarakat.

Di dalam sumpah mahasiswa, termaktub tanah air tanpa penindasan, tetapi mahasiswa itu sendiri yang melahirkan penindasan (Dehumanisasi) di dalam kampus. Saya pikir ini adalah tradisi yang kolot. Dan bisa ditarik kesimpulan bahwa kampus kehilangan marwahnya sebagai tempat yang kaya akan tradisi intelektualnya, dalamhal ini berada di zaman kegelapan gaya baru (neo-jahiliah).

Banyak kita temui kucing yang berkostum singa. Kekuasaan mampu membutakan rasa kemanusiaan dan perundungan itu lahir dari rahim kekuasaan. Ketika individu atau kelompok memiliki kekuasaan, mereka mungkin menyalahgunakan posisi mereka untuk merendahkan atau menindas orang lain, mengabaikan kebutuhan dan hak-hak mereka. Walaupun warna argumen ini kelihatan lebih memihak pada orang-orang yang dilabeli sebagai junior.

Saya tidak menafikan istilah Senior-junior, saya hanya menganggap konsep kesenioritasan yang mengeksploitasi adalah jurang doktrin untuk mendesain orang yang dilabeli junior sebagai para pekerja yang harus taat, tunduk, dan patuh pada tuannya.

Dan hal ini yang mereduksi kemanusiaan serta menanamkan doktrinasi, bahwa dia (junior) bukanlah individu yang memiliki hak untuk merdeka atau sebagai manusia yang setara, tetapi sebagai objek yang bebas diperlakukan sebagai pekerja demi keuntungan yang berkuasa. Inilah yang disebut Dehumanisasi.

Pertanyaannya, apakah zaman kegelapan ini sebagai periode kemunduran atau awal dari pembaharuan?.

Terimakasih telah membaca tulisan ini. Salam Buku, cinta dan pesta.

Advertisement