LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Langkah pemerintah melakukan revisi Undang-undang (UU) Penyiaran dalam draf nya itu mengusulkan pelarangan jurnalisme investigasi dianggap telah mengkebiri hak publik untuk mendapatkan akses informasi terhadap skandal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat negara.
Dan Draft revisi UU Penyiaran itu tentu dianggap melanggar UU Pers No 40 tahun 1999.
Pelarangan ini dinilai sebagai upaya negara untuk membatasi akses informasi publik.
Pembatasan ini bertentangan dengan prinsip keterbukaan publik. Jurnalisme investigasi memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memantau proses hukum terhadap penyelewengan kekuasaan negara.
Jika RUU tersebut disahkan, masyarakat akan kehilangan kontrol atas proses investigasi kasus hukum.
Pembatasan ini juga dianggap membatasi akses publik terhadap informasi mengenai perkembangan kasus-kasus tersebut.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengatakan kalimat pelarangan penayangan jurnalistik investigatif “membingungkan” dan menyebut pasal ini dapat “dimaknai sebagai pembungkaman pers”.
“Ini sungguh aneh, mengapa di penyiaran tidak boleh ada investigasi?” ujar Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, pada Kamis (09/05).
Anggota Komisi I DPR, Dave Laksono, hanya memberikan keterangan bahwa pihaknya tidak berniat membelenggu kebebasan pers. Dave tidak menjawab secara spesifik draf pasal itu.
“Tiada niat sedikit pun baik dari pemerintah hari ini di bawah Presiden Jokowi ataupun nantinya di bawah Presiden Prabowo dan juga DPR akan memberangus hak-hak masyarakat dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat, apalagi informasi terhadap masyarakat,” kata Dave, Kamis (09/05), seperti dikutip dari BBC News Indonesia.
Dave menyebut masukan-masukan yang ada saat ini akan membantu pembahasan RUU ini supaya “lebih sempurna”.
Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Tulus Santoso, menolak mengomentari draf salah satu pasal yang dipertanyakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Tulus mengatakan, rancangan revisi UU Penyiaran diajukan oleh DPR dan bukan oleh pemerintah.
“Terkait poin-poin dalam pasal RUU Penyiaran kenapa bunyinya seperti itu, karena ini inisiatif dari Komisi I DPR, maka kemudian pastinya teman-teman di Senayan yang lebih tahu, yang bisa mengomentari secara komperhensif,” kata Tulus, Jumat (10/05), seraya menambahkan bahwa KPI memiliki posisi sebagai pelaksana dari UU Penyiaran.
Bagaimanapun, Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, mengkhawatirkan potensi dampak pasal RUU Penyiaran terhadap berita yang nantinya ditayangkan televisi dan radio.
Masyarakat hanya akan mendapat berita-berita seremoni alih-alih berita-berita yang kritis, jelasnya.
Para peneliti media juga menilai RUU Penyiaran ini memiliki pasal-pasal yang “ambigu” dan “membingungkan”.
“Ini kan melawan seluruh prinsip jurnalistik, ya? Justru jurnalistik itu bukan hanya harus akurat dan benar, tetapi informasi itu harus aktual,” tutur peneliti pusat studi media dan komunikasi Remotivi, Muhamad Heychael, Kamis (09/05).
Rencana pemerintah bersama DPR merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah memasuki tahap penyelesaian draf revisi UU Penyiaran.
Setelah itu, revisi dikirimkan kepada Badan Legislatif DPR untuk dilakukan harmonisasi sinkronisasi.
Ada draf pasal lainnya dalam draf rancangan revisi UU Penyiaran yang dikritik AJI dan sejumlah akademisi.
Yaitu, Pasal 25 Ayat 1 Huruf q, yang menyatakan bahwa KPI boleh menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Padahal, selama ini sengketa itu ditangani oleh Dewan Pers.
‘Tidak boleh ada sensor atas jurnalisme dan ekspresi publik’
Masih ingat kasus penembakan yang menewaskan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Jakarta-Cikampek Km 50?
Mantan pemimpin redaksi Tempo, Wahyu Dhyatmika, yang bertindak selaku produser untuk dokumenter bertajuk Kilometer 50 tentang peristiwa itu, mengatakan karya jurnalistik itu bisa jadi “hilang” apabila RUU penyiaran disahkan.
“Saya tidak paham mengapa RUU Penyiaran harus mengatur jurnalisme investigasi,” ujar Wahyu kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Kamis (09/05).
Wahyu mengedepankan pentingnya karya jurnalistik investigasi karena banyak yang berhasil mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Beberapa contoh yang dikemukakan Komang antara lain liputan mengenai kekerasan seksual di lembaga keagamaan dan institusi pendidikan yang mendorong pengesahan UU Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga investigasi ihwal berbagai skandal korupsi.
“Investigasi mengenai sistem perlindungan pekerja migran di luar negeri, atau nelayan di laut lepas, memberi tekanan publik kepada pemerintah untuk berbuat sesuatu,” tutur Komang.
Wahyu menggarisbawahi peran jurnalisme investigasi adalah mengendus skandal pelanggaran kepentingan publik dan membongkarnya agar terjadi perbaikan.
Selain itu, pemberitaan di media massa arus utama juga hanya akan sebatas melaporkan apa yang tampak di permukaan kalau tidak ada jurnalisme investigasi.
“Ruang informasi publik akan hampa dan steril dari laporan mendalam yang membongkar kesewenang-wenangan dan ketidakadilan yang nyata,” ujar Wahyu.
Walaupun publik bisa saja menemukan cara alternatif untuk berkomunikasi dan bertukar informasi sensitif, peran verifikasi dan konfirmasi media arus utama tetaplah penting.
“Tanpa itu, maka kualitas dan kredibilitas konten di ruang-ruang digital alternatif ini akan amat bervariasi. Akibatnya, bisa-bisa ada kebingungan massal atau amnesia publik karena tidak ada kejelasan mana yang informasi terverifikasi dan mana yang tidak,” tegasnya.
Wahyu menegaskan penyensoran liputan investigasi eksklusif sama dengan membungkam oposisi, masyarakat sipil dan suara-suara kritis lainnya.
“Ini merupakan ciri negara diktator dan otoriter,” cetusnya seraya mendorong masyarakat sipil untuk mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi apabila benar RUU Penyiaran disahkan.
“Perlawanan harus dilakukan agar tidak ada sensor atas jurnalisme dan ekspresi publik apa pun,” tukasnya. (*)