Isi Dakwaan JPU KPK, SYL Diduga Terima Uang Rp44,5 Miliar dengan Cara Paksa, Ada Aliran Dana ke Partai

FOTO: Tangkapan layar youtube Syahrul Yasin Limpo saat berkonsultasi dengan penasihat hukumnya, Djamaludin Koedoeboen untuk menentukan mengajukan eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (28/2/2024).
FOTO: Tangkapan layar youtube Syahrul Yasin Limpo saat berkonsultasi dengan penasihat hukumnya, Djamaludin Koedoeboen untuk menentukan mengajukan eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (28/2/2024).

LEGIONNEWS.COM – NASIONAL, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menghadirkan eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo di di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (28/2/2024).

Dalam dakwaan JPU KPK itu disebutkan eks Mentan didakwa pemerasan dan gratifikasi puluhan miliar rupiah.

Seperti dikutip dari kanal YouTube modus yang digunakan dengan pengumpulan uang secara paksa. Disebutkan juga, ancaman berupa pemindahtugasan atau non job bagi jajarannya yang tidak sejalan dengan SYL.

Saat Penuntut umum Masmudi membacakan dakwaannya itu nampak Syahrul Yasin Limpo (SYL) duduk duduk di kursi pesakitan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.

Advertisement

Selain SYL ikut duduk di kursi pesakitan terdakwa lainnya seperti Kasdi Subagyono dan Muhammad Hatta sembari mendengarkan penuntut umum menguraikan surat dakwaannya di depan majelis hakim.

Penuntut umum Masmudi dalam dakwaannya menilai Syahrul telah menerima gratifikasi fulus dengan total Rp44,5 miliar dalam kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan) rentang waktu 2020-2023.

Syahrul dalam surat dakwaan penuntut umum ditengarai melakukan pemerasan bersama dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan periode 2021-2023 yakni Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan, Muhammad Hatta agar membayarkan kebutuhan pribadi SYL.

“Jumlah uang yang diperoleh terdakwa selama menjabat sebagai Menteri Pertanian dengan cara menggunakan paksaan sebesar total Rp44,5 miliar,” ujar penuntut umum Masmudi saat membacakan dakwaanya di Pengadilan Tipikor, Rabu (28/2/2024) sebagaimana dikutip dari laman Antara.

Masmudi mengurai modus yang ditengarai dilakukan SYL. Yakni, pengumpulan uang secara paksa dilakukan SYL dengan cara meminta Kasdi dan Hatta sebagai koordinator mengumpulkan fulus dari para pejabat eselon I dan jajarannya.

“Nah, dalam praktik di lapangan, pengumpulan uang dan pembayaran kepentingan pribadi SYL dan keluarganya dilakukan oleh para pegawai di masing-masing Direktorat, Sekretariat, dan Badan pada Kementan. Kemudian uang-uang tersebut digunakan sesuai dengan perintah dan arahan SYL,” ungkap Jaksa Penuntut saat membacakan tuntutannya.

Menurut penuntut umum, SYL pun menyampaikan adanya jatah sebesar 20 persen dari anggaran masing-masing Sekretariat, Direktorat, dan Badan pada Kementan yang harus diberikan kepada terdakwa. Apabila para pejabat eselon I tidak dapat memenuhi permintaan SYL tersebut, SYL mengancam jabatan jajaran di bawahnya dalam keadaan bahaya yang berujung dapat dipindahtugaskan atau non job.

Selain itu, SYL kata penuntut umum, meminta pejabat mengundurkan diri bila tidak sejalan dengan perintah atau arahannya.

Sementara sepanjang penerimaan uang, barang dan pembayaran kebutuhan pribadi dan keluarganya, SYL tak pernah melaporkannya kepada KPK dalam tenggat waktu 30 hari kerja sejak diterima.

Dalam pemaparan JPU, dari puluhan miliar yang diterima SYL, Kasdi dan Hatta selama 2020-2023, beberapa mengalir ke keperluan istri sebesar Rp938,94 juta.

Kemudian, untuk keperluan keluarga Rp992,29 juta; keperluan pribadi Rp3,33 miliar; kado undangan Rp381,6 juta; Partai Nasdem Rp40,1 juta; dan acara keagamaan untuk menteri Rp16,68 miliar.

Selanjutnya, charter pesawat Rp3,03 miliar; bantuan bencana alam/sembako Rp3,52 miliar; keperluan ke luar negeri Rp6,91 miliar; umrah Rp1,87 miliar; serta qurban dengan total Rp1,65 miliar. Adapun cara pemerasan yang dilakukan SYL kepada anak buahnya di Kementan yakni dengan instruksi mengumpulkan uang “patungan” atau “sharing” guna memenuhi kepentingan pribadinya dan keluarga.

SYL juga menyampaikan adanya jatah 20% dari anggaran di masing-masing sekretariat, direktorat dan badan di lingkungan Kementan yang harus diberikan kepadanya. Apabila hal itu tidak dilakukan, maka para eselon I Kementan itu bakal kehilangan jabatannya (non-job).

Kemudian, pejabat yang tidak sejalan dengan hal yang disampaikan SYL akan diminta untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Atas perintah SYL, para pejabat eselon I di lingkungan Kementan dengan terpaksa memenuhi permintaannya karena khawatir atas amarahnya, takut dipindahtugaskan, demosi jabatan atau dipecat (non-job).

Adapun pada dakwaan kedua, SYL didakwa meminta, menerima atau memotong pembayaran kepada pejabat di Kementan atau dari kas umum dengan total Rp44,54 miliar. Dia memeras para pejabat Kementan seolah-olah hal tersebut merupakan utang.

“Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya,” ujar JPU Taufiq Ibnugroho di PN Jakarta Pusat, Rabu.

Atas perbuatannya, SYL oleh penuntut umum dijerat pidana dengan Pasal 12 huruf e dan Pasal huruf B juncto Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh memberikan kesempatan terdakwa mengajukan nota keberatan atas dakwaan penuntut umum alias eksepsi. Dia mengingatkan, materi eksepsi adalah formalitas dakwaan.

Menanggapi dakwaan penuntut umum dan majelis hakim, ketua tim penasihat hukum SYL, Djamaludin Koedoeboen menegaskan, setelah melakukan diskusi dengan kliennya, maka disepakati bakal mengajukan eksepsi atas dakwaan penuntut umum.

“Kami sepakat untuk kemudian dalam kaitannya menyikapi dakwaan penuntut umum ini kami menyatakan eksepsi,” pungkasnya.

Ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh memberikan kesempatan terdakwa mengajukan nota keberatan atas dakwaan penuntut umum alias eksepsi. Dia mengingatkan, materi eksepsi adalah formalitas dakwaan.

Dengan demikian, majelis hakim mengagendakan persidangan lanjutan pada Rabu (6/3/2024) dengan agenda pembacaan nota keberatan atau eksepsi oleh tim penasihat hukum terdakwa.

“Jadi kalau sudah masuk pokok perkara sudah bukan materi eksepsi, kita akan buktikan di persidangan ini,” kata Majelis Hakim. (LN)

Advertisement