LEGIONNEWS.COM – JAKARTA, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan terhadap komisioner KPU RI buntut aduan terkait pelanggaran etik dalam memproses pencalonan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dalam Perkara nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023; Perkara Nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023; Perkara Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023; dan Perkara Nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023).
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. Berpendapat, bahwa ada hakikatnya KPU RI telah melaksanakan perintah konstitusional yang dikirimkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, secara akademik sesungguhnya jika kita membaca secara cermat, pertimbangan hukum putusan MK, sebagaimana terdapat pada bagian 3.14.3 halaman 56, disebutkan:
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya.
Hal ini penting ditegaskan Mahkamah agar tidak timbul keraguan mengenai penerapan Pasal a quo dalam menentukan syarat keterpenuhan usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana rumusan dalam amar putusan a quo” berangkat dari rumusan putusan Mahkamah yang demikian, artinya secara Expressive verbis putusan MK itu mempunyai daya laku kedepan “forward looking” serta seketika, apalagi MK sendiri tidak pernah memerintahkan untuk dibuatkan suatu norma derivatif sebagai tindaklanjut teknis atas hal tersebut.
Fahri Bachmid berpendapat, bahwa sifat dan corak Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, terkait syarat Cawapres itu terkategori sebagai sebuah produk putusan MK yang langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang yang diuji, ataupun peraturan derivatifnya, sehingga putusan ini dapat dikatakan berlaku secara self-executing, dalam artian, putusan itu dapat terlaksana dengan sendirinya, karena norma yang dinegasikan tersebut mempunyai ciri-ciri tertentu yang sedemikian rupa dapat diperlakukan secara otomatis tanpa perubahan undang-undang yang memuat norma yang diuji dan dinegasikan tersebut, ataupun tanpa memerlukan tindak lanjut dalam bentuk perubahan peraturan derivatifnya, walaupun berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 yang ketika itu belum direvisi, Gibran tidak memenuhi syarat karena belum berusia 40 tahun, tetapi isu konstitusionalnya telah diputus oleh MK, sehingga secara hukum hal itu menjadi “guideline” bagi penyelenggara untuk mengambil berbagai kebijakan administratif untuk memastikan agar hak konstitusional warga negara dapat dipenuhi, dan secara “a contrario” justeru potensial dapat dikualifisir sebagai penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), atau dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) jika KPU tidak memproses pencalonan sesuai perintah hukum MK itu sendiri,
Dengan demikian Fahri Bachmid berpendapat bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia capres-cawapres adalah telah memadai secara yuridis untuk dijadikan dasar memproses pencalonan Wali Kota Solo berusia 36 tahun itu oleh KPU RI, walaupun pada akhirnya, KPU mengakomodir persyaratan capres-cawapres, dengan merevisi PKPU Nomor 19 Tahun 2023,
“Saya memandang bahwa sebelum menetapkan pasangan capres-cawapres, KPU telah menyusun serta menetapkan PKPU No 23/2023 terkait Pencalonan dimaksud, sehingga tentunya telah memadai serta memenuhi aspek formil dan materil terkait pembentukan dan penyusunan suatu perundang-undangan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, walaupun menurut hemat saya, dengan mendasarkan pada putusan MK saja sesungguhnya telah cukup menjadi dasar bagi KPU,”
Fahri Bachmid berpendapat bahwa perbuatan hukum berupa tindakan KPU RI ketika menerima, memeriksa, dan memverifikasi dokumen pencalonan serta menetapkan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) atas nama Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada Pemilu 2024, pada prinsipnya adalah melaksanakan perintah UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan (AP), khususnya ketentuan norma pasal 7 ayat (1) dan (2) yang menegaskan bahwa:
“Pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, kebijakan pemerintahan, dan AUPB”
Selanjutnya, “Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban untuk : “mematuhi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap” dengan demikian, saya memandang bahwa pada hakikatnya KPU RI telah melaksanakan perintah konstitusional sebagai perwujudan negara demokrasi yang berdasarkan hukum “constitutional democratic state” dan negara hukum yang demokratis “democratische rechtsstaat” dengan mengindahkan serta menindaklanjuti putusan MK sebagaimana mestinya, tutup,” Fahri Bachmid. (**)