Oleh Yarifai Mappeaty
LEGIONNEWS.COM, Beberapa waktu lalu, masyarakat dan komunitas pemerhati lingkungan di Makassar, gaduh, lantaran Pemkot hendak membangun proyek pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL). Mereka bahkan berkali-kali menggelar aksi di DPRD Makassar.
Sebenarnya, rencana Pemkot tersebut sangat bagus. Sebab, sejauh penulis ketahui, itu adalah solusi terbaik bagi pengelolaan sampah di berbagai kota besar di dunia. Dengan menggunakan teknologi gasifikasi atau insenerasi, selain menghasilkan energi listrik, juga dapat menekan produksi gas rumah kaca.
Namun yang membuat gaduh, bukan itu. Tetapi mereka menolak proyek yang diinisiasi oleh Walikota Makassar, Danny Pomanto, itu akan dibangun di Wilayah Kecamatan Tamalanrea. Menurut informasi yang didapat penulis, lokasinya terletak di Kawasan Pergudangan Parangloe.
Bagi Masyarakat Tamalanrea dan Biringkanaya menolak, karena meletakkan proyek tersebut di Parangloe. Itu sama saja memindahkan masalah persampahan ke wilayah mereka, berikut dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya. Terlebih, untuk mengakses lokasi itu, mesti melalui Jl. Perintis Kemerdekaan di Timur dan atau Jl. Ir. Sutami di Barat.
Mereka membayangkan bakal ada ratusan truk mengangkut ribuan metrik ton (MT) sampah setiap hari. Berseliweran, baik di Jl. Perintis Kemerdekaan maupun di Jalan Ir. Sutami. Dan akan terus bertambah seiring dengan populasi kota yang terus meningkat. Kemacetan yang sudah parah pada kedua jalan itu, akan menjadi semakin parah oleh truk-truk pengangkut sampah.
Saat ini saja, produksi sampah di Makassar sudah mencapai 1.000 MT per hari. Jika demikian, maka siapa yang bisa menjamin kota ini tidak bau dan kumuh? Udara tak dipenuhi Metana, Amonia, Asam Sulfida, dan gas-gas beracun lainnya. Kota ini menjadi tidak sehat, dan pada gilirannya memberi dampak buruk terhadap kesehatan bagi warganya.
Sebaliknya, bagi warga Tamangapa. Proyek PSEL itu mestinya menjadi berkah bagi mereka, sehingga logis jika tidak terima dibangun di tempat lain. Mereka benar. Sebab seharusnya memang dibangun di Tamangapa. Hitung-hitung sebagai kompensasi bagi warga di sana, yang selama bertahun-tahun, kita “timpuk” dengan sampah busuk dan kotor.
Lagi pula, pembangunan PSEL, idealnya, harus terintegrasi dengan TPA yang sudah ada. Sebab hal ini erat kaitannya dengan masalah operasional yang menekankan efisiensi. Oleh karena itu, sepanjang TPA bersangkutan masih memenuhi syarat teknis dan hukum, maka tidak ada alasan memindahkannya di tempat lain.
Pertanyaannya, apakah TPA Tamangapa masih memenuhi syarat teknis dan hukum sebagai sebuah TPA atau tidak? Setahu penulis, lahan TPA Tamangapa yang luasnya hampir 20 Ha, adalah milik Pemkot sendiri. Cukup luas untuk membangun fasilitas PSEL. Di sekitarnya masih banyak lahan kosong yang bisa dimanfaatkan, jika diperlukan.
Yang tidak kalah penting adalah, setidaknya, pembangunan PSEL di Tamangapa, tidak melanggar RTRW Kota Makassar 2015 – 2034 yang ditandatangani Danny Pomanto pada periode pertama menjabat Walikota. Dengan kata lain, membangun fasilitas PSEL di Tamangapa, memang sudah sesuai peruntukannya.
Bagaimana dengan lokasi Parangloe di Tamalanrea? Berdasarkan RTRW yang sama, lokasi di sana termasuk dalam kawasan pergudangan. Sehingga, jika membangun fasilitas PSEL di lokasi bersangkutan, maka itu suatu pelanggaran yang tak bisa ditolerir. Selaku Walikota, mustahil Danny Pomanto tidak mengetahuinya.
Di samping itu, lokasi Tamalanrea, juga tidak layak, terutama karena akan membebani APBD. Berapa lagi biaya yang harus dikeluarkan Pemkot untuk mengangkut sampah dari TPA Tamangapa ke Parangloe, yang berjarak kurang lebih 20 Km? Karena itu, jikapun ada prastudi menyebutnya layak, maka studi itu ngawur.
Tetapi Walikota Danny Pomanto tetap tak peduli itu semua, termasuk tak menggubris protes masyarakat. Buktinya, Pemkot Makassar tetap memilih memenangkan tender yang berlokasi di Parangloe, berdasarkan pengumuman pemenang tender tertanggal 7 Desember lalu.
Sampai di sini, kembali muncul pertanyaan, mengapa Pemkot Makassar begitu ngotot menempatkan proyek itu di Parangloe? Padahal sudah tahu, selain tidak layak, juga melanggar RTRW Kota Makassar.
“Harga tanah di Kawasan Pergudangan Parangloe, sudah berjuta-juta, bro. Sehingga biaya pembebasan lahan, nilainya juga sangat besar dan tentu sangat menggoda,” seloroh seorang kawan. “Ha….!” [ym]