LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Praktisi hukum menanggapi pemberitaan terkait penilai lembaga anti rasuah atas putusan majelis hakim pada Pengadilan Negeri Makassar dalam kasus korupsi.
Akan hal itu awak media mewawancarai Syamsul Bahri Majjaga,SH selaku praktisi hukum terkait dengan penilai ACC Sulawesi yang menyoroti beberapa putusan yang dikeluarkan PN Makassar (Pengadilan Tipikor).
“Pada prinsipnya kami mengapresiasi rekan -rekan ACC Sulawesi yang secara konsisten mengawal isu-isu korupsi di Sulsel. Meskipun begitu, saya menyayangkan pernyataan ACC yang mengesankan, ketidak percayaan terhadap proses hukum yang ada, terkait dengan adanya beberapa perkara korupsi yang divonis bebas pada pengadilan tindak pidana korupsi Makassar, apalagi secara terbuka menyebut nama nama hakim tipikor makasar, tidak etis itu” ujar Syamsul Bahri.
“Rekan ACC sepertinya lupa bahwa dalam memutus suatu perkara Hakim harus mempertimbangkan tiga unsur kebenaran yaitu, yuridis, filosofis dan sosiologis. Artinya landasan hukum yang dipakai Hakim dalam memutus satu perkara jelas, telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku,” sambung Syamsul.
Menurut praktisi hukum ini bahwa apa yang menjadi keputusan pengadilan mesti dihormati para pihak.
“Masyarakat harus punya perspektif bahwa ada proses peradilan yang dihormati, putusan hakim harus dihormati karena itu bagian dari menghormati peradilan itu sendiri,” pungkas alumni fakultas hukum UMI Makassar
Diketahui ACC Sulawesi dalam sorotan nya menyinggung kasus perkara korupsi pada proyek pembangunan pengadaan pabrik AMDK di Kabupaten Takalar Tahun Anggaran 2018 dengan terdakwa Ahmad Hushawir seorang pegawai BUMD, Dr Aris. M, Selaku Direktur PDAM dan Laura selaku pegawai BUMN dan Nirwan Nasrullah seorang pegawai BUMD.
Terpisah penasehat hukum Nirwan Nasrullah salah satu Terdakwa yang divonis bebas Pengadilan Tipikor Makassar mengatakan bahwa putusan tersebut telah diuji ditingkat mahkamah agung (MA) putusan bernomor 5758 K/Pidsus.S/2022 yang diawalnya ditingkat pengadilan negeri menyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag Van Alle rechtsvervolging), menjadi dibebaskan dari seluruh dakwaan penuntut umum (Vrijspraak)
“Klien saya dibebaskan itu sudah pada tingkatan di MA, itu berdasarkan putusan 5758 K/Pidsus.S/2022. Kalau ACC merasa keberatan atas putusan pengadilan, mari kita uji di publik baik itu dalam bentuk dialog untuk menguji eksaminasi putusan pengadilan,” kata Ilham Harjuna, SH
“Sebaiknya Pihak ACC jangan cuma focus mengawasi kinerja majelis hakim pada pada pengadilan tindak pidana korupsi, jauh lebih baik, rekan rekan ACC mengawal dan mengawasi kasus tindak pidana korupsi mulai dari kejaksaan sebelum dibawa ke meja hijau,” sambung praktisi hukum ini yang biasa disapa Chochy.
Menyambung perkataan Chochy. Syamsul Bahri berharap pihak ACC lebih mengawal serta memantau kasus dugaan korupsi di tubuh PDAM yang saat ini masih bergulir di PN Tipikor Makassar.
“Saya justru lebih berharap rekan-rekan penggiat anti korupsi di Sulsel lebih fokus di kasus PDAM Makassar yang masih bergulir, yang belum memiliki keputusan hukum tetap,” imbuh Zulkifli.
“Cobalah rekan ACC bertanya ke Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulsel. Terkait dengan uang asuransi senilai Rp 1.3 milyar lebih dari polis tunggal (sekaligus) dari asuransi walikota dan wakil walikota Makassar Tahun 2016 sampai dengan Tahun 2018 yang menurut surat jaksa penuntut umum, uang itu telah dirampas oleh negara. Apakah uang itu masih tersimpan di asuransi AJB Bumi Putera atau tidak? Itu harusnya dipertanyakan ke JPU,” kata mantan aktivis mahasiswa fakultas hukum UMI ini.
“Surat tuntutan JPU Itu yang harus diburu oleh teman-teman penggiat anti korupsi. Kenapa demikian, coba kita telisik itu lebih dalam. Apakah uang senilai Rp 1.3 milyar masih ada di AJB? Sehingga ada kalimat dirampas oleh negara, melalui JPU atau penyidik,” ujar Syamsul.
“Sementara peristiwa hukum itu sudah berlangsung di tahun 2016 silam. Lalu uang polis asuransi AJB dirampas oleh negara, kalau kita berpikir normal kan pasti uang itu sudah tidak ada,” beber dia.
“Atau kah uang polis asuransi itu telah di kembali DP dan Deng Ichal kepada penyidik? tanya praktisi hukum ini.
Praktis hukum ini pun mengutip bunyi surat tuntutan JPU ke Majelis Hakim Tipikor yang seperti diberitakan di berbagai portal pemberitaan.
“Uang asuransi itukan dikatakan dirampas dan dibebankan kepada dua Terdakwa yaitu Haris Yasin Limpo dan Irawan Abadi. Lantas bagaimana dengan Wali kota dan Wakil wali kota sebagai pihak yang telah menerima uang asuransi itu. Kalau kita memaknai surat tuntutan JPU bisa kita duga Wali kota dan Wakil Walikota saat itu bisa terbebas dari jeratan hukum, meski pun kata pak Kajati Sulsel ada fakta baru didalam persidangan kasus PDAM,” imbuhnya.
“Sebaiknya, itu kita diskusikan sama-sama dalam satu forum resmi untuk mengupas tuntas perkara korupsi. Nantinya dalam putusan pengadilan ada pihak yang tidak puas terhadap putusan majelis, lalu menilai majelis hakim tidak jeli, ini kan repot juga, yang justru tidak jeli itukan bisa jadi kita semua praktisi hukum atau termaksud rekan-rekan dari ACC Sulawesi yang selama ini fokus dalam kasus Tipikor,” pungkas Syamsul Bahri Majjaga.
Dilansir dari Legion-news.com Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam Surat dakwaannya menyatakan uang sebesar Rp 1.367.419.260,- dari polis dengan Nomor : 2061203657 dan polis dengan Nomor : 2061237284 yang merupakan polis tunggal (sekaligus) dari asuransi walikota dan wakil walikota Makassar Tahun 2016 sampai dengan Tahun 2018 yang disetorkan asuransi AJB Bumi Putera 1912 dirampas untuk negara dan diperhitungkan dengan uang pengganti yang dibebankan kepada Terdakwa Ir. H. Haris Yasin Limpo, MM dan Saksi Irawan Abadi, SS, M.Si .
Terdakwa Ir. H. Haris Yasin Limpo, terbukti melakukan tindak pidana Korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-undang RI Nomor: 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang RI Nomor : 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang RI Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP dalam dakwaan Primair. (LN)