Pernah Bunuh Ajudan dan Dipecat, Kolonel Ade Rizal Kembali Aktif, Bagaimana Ferdy Sambo?

FOTO: Ferdy Sambo, Mantan Kadiv Propam Mabes Polri dan Kolonel Infantri Ade Rizal Muharam Kapendam XII-Tanjungpura (Kolase)
FOTO: Ferdy Sambo, Mantan Kadiv Propam Mabes Polri dan Kolonel Infantri Ade Rizal Muharam Kapendam XII-Tanjungpura (Kolase)

LEGIONNEWS.COM – MAKASSAR, Nama Letnan Kolonel (Letkol) Ade Rizal Muharam tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, Perwira Menengah di TNI-AD itu pernah membunuh ajudannya sendiri pada tahun 2015 silam, Tidak hanya itu Letkol Ade Rizal Muharam, sempat dipecat dari TNI dan divonis 3 tahun penjara karena terbukti membunuh ajudannya sendiri, Kopral Kepala Andi Pria Harsono, oleh pihak Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya pada tahun 2016 silam.

Saat terjadi pembunuhan Letnan Kolonel Ade Rizal Muharam menjabat Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) 0812 Lamongan.

Saat ini, Letkol Ade Rizal Muharam diketahui mengisi jabatan Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XII/Tanjungpura. Kini Ade Rizal Muharam telah menyandang pangkat Kolonel.

Kadispenad Brigadir Jenderal TNI Hamim Tohari, mengonfirmasi kembalinya Kolonel Ade Rizal Muharram ke kesatuannya.

Advertisement

Kata Hamim, pada tahun 2016 dengan pangkat Letkol, Ade Rizal divonis penjara selama tiga tahun oleh Pengadilan Militer Tinggi III-12 Surabaya.

Namun, melalui proses banding, pada bulan Juni 2017, Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama) mengabulkan banding tersebut dan mengubah putusan Dilmilti, menghilangkan hukuman tambahan pemecatan.

Menurut Hamim, hukuman Ade Rizal telah selesai pada tahun 2020. Ade Rizal pun kembali mendapatkan haknya untuk berdinas dan menjabat seperti anggota TNI AD lainnya.

“Namun yang bersangkutan banding dan pada bulan Juni 2017 Dilmiltama (Pengadilan Militer Utama) mengabulkan banding dan mengubah putusan Dilmilti dengan menghilangkan hukuman tambahan pemecatan,” ujar Hamim menukil Tempo ditulis Minggu, 11 Juni 2023.

Sebagai informasi, Ade Rizal terbukti membunuh ajudannya, yakni Kopka Andi Pria Dwi Harsono.

Dia mengaku merasa emosi karena curiga sang ajudan melakukan pelecehan seksual terhadap anaknya yang berusia 4 tahun.

Ade Rizal kemudian menyekap dan menganiaya ajudannya pada Oktober 2015.

Tak cukup sampai di situ, Ade Rizal menggantung Andi sehingga ajudannya seolah-olah tewas karena gantung diri.

Atas perbuatannya ini, Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya menjatuhkan hukuman 3 tahun kurungan penjara kepadanya, pada 28 Desember 2016.

Tak sendiri, kasus pembunuhan itu melibatkan 5 orang lainnya sebagai terdakwa.

Kelimanya adalah Sersan Kepala Mintoro, Serma Joko Widodo, hingga Sertu M. Amzah (divonis 9 bulan penjara) serta Sersan Dua Agustinus Merin dan Sersan Mayor Agen Purnama (vonis 8 bulan).

“Mengubah putusan Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya (bagi Letkol Ade Rizal) sekadar pidana yang dijatuhkan dan meniadakan pidana tambahan pemecatan,” ujar Majelis Hakim Dilmiltama Jakarta menukil laman MA.

Bagaimana dengan Ferdy Sambo?

Perwira tinggi Polri dengan pangkat terakhir Inspektur Jenderal Polisi, Telah divonis bersalah. Oleh majelis hakim Ferdy Sambo terbukti melanggar pasal Pasal 340 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP terkait pembunuhan berencana.

Sambo dianggap telah merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir J di Jl Duren Tiga No 46, Kompleks Polri, pada 8 Juli 2022. Jaksa Penuntut Umum menyampaikan hal yang memberatkan bagi Sambo dalam perkara tewasnya Brigadir J. Bahwa perbuatan Sambo mengakibatkan hilangnya nyawa dan duka yang mendalam bagi keluarganya Brigadir J.

Hakim Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Singgih Budi Prakoso, menyampaikan terdakwa kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. memiliki upaya lain untuk mengubah hukumannya usai pengajuan bandingnya ditolak Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Rabu (12/4/2023).

Apabila tidak puas dengan hasil putusan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, upaya hukum yang bisa ditempuh mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadivpropam) Polri itu ialah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

“Intinya, bahwa kita menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) dan putusan ini akan segera kami sampaikan kepada penuntut umum maupun terdakwa atau penasihat hukumnya melalui PN Jaksel untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak untuk mengajukan upaya hukum berupa kasasi,” kata Hakim Ketua, Singgih Budi Prakoso, di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Rabu (12/4/2023).

Untuk diketahui, MA adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Berdasarkan informasi dari laman resmi MA, permohonan kasasi hanya bisa diajukan jika pemohon telah menggunakan upaya hukum banding.

Permohonan kasasi bisa diajukan oleh terdakwa secara langsung, wakil atau pengacara yang secara khusus diberi kuasa oleh terdakwa, atau jaksa penuntut umum (JPU) dalam perkara pidana yang telah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Banding atau tingkat terakhir di lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer.

Prosedur pengajuan kasasi di MA
Berdasarkan Pasal 46 hingga 48 Undang-Undang (UU) MA, permohonan kasasi hanya bisa diajukan dalam kurun waktu dua minggu atau 14 hari setelah putusan atau hasil banding di Pengadilan Tinggi diberitahukan kepada terdakwa.

Apabila selama tenggang waktu 14 hari tersebut tidak ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak berperkara, maka pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan.

Panitera MA akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar usai pemohon membayar biaya perkara. Kemudian, pada hari itu juga panitera membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara

Saat mengajukan permohonan kasasi, pemohon juga wajib menyampaikan memori kasasi yang berisi alasan-alasan pengajuan kasasi dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar.

Setelah itu, Panitera Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam perkara yang dimaksud, dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.

Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada Panitera dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi.

Penyampaian memori dan kontra memori kasasi harus disampaikan kepada pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara yang diajukan upaya hukum dalam tenggang waktu yang telah ditentukan. Ketentuan tersebut juga secara analogis diberlakukan bagi tambahan memori/kontra memori.

Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 47, Panitera Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama, mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari atau satu bulan.

Lalu, Panitera MA mencatat permohonan kasasi tersebut dalam buku daftar dengan membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya, dan melaporkan semua itu kepada MA.

Akademisi, Eksaminasi terhadap putusan hukuman pidana mati Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.

Eksaminasi Putusan Hukuman Mati Ferdy Sambo, Hakim Dianggap Halusinasi. Kasus pembunuhan berencana yang dilakukan Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal Wibowo dan Kuat Ma’ruf terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir Yosua, masih menjadi sorotan publik.

Kini, para akademisi melakukan eksaminasi terhadap putusan hukuman pidana mati Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.

Nah, ada delapan eksaminator yang bukan orang sembarangan diantaranya Prof. Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej, yang saat ini menjabat Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof. Marcus Priyo Gunarto, Prof. Amir Ilyas, Prof Koentjoro, Chairul Huda, Mahmud Mulyadi, Rocky Marbun dan Agustinus Pohan.

Pakar Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mahrus Ali menjelaskan yang dieksaminasi adalah dokumen terkait perkara a quo kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua dengan terdakwa Ferdy Sambo. Setelah itu, dibuatkan isu hukum untuk Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.

“Karena ini adalah eksaminasi, maka jelas kajiannya doktrinal karena dibatasi kepada dokumen yang tertulis. Dokumen itulah dikaji para eksaminasi,” kata Ali dikutip dari Youtube LKBH FH UII pada Sabtu, 10 Juni 2023.

Untuk Ferdy Sambo, kata dia, ada tujuh isu hukum dan Putri Candrawathi ada dua isu hukum. Menurut dia, apakah perbuatan Ferdy Sambo masuk dalam kategori Pasal 340 KUHP atau Pasal 338 KUHP.

“Memang, secara umum mengatakan bahwa ini sebenarnya tidak tepat untuk Pasal 340, tapi lebih tepat Pasal 338. Karena apa? Keadaan tenang itu tidak terbukti,” ujar Edito buku berjudul ‘Pidana Mati Berdasarkan Asumsi, Kajian Putusan Perkara Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi’ ini.

Masalahnya, kata Ali, dalam perkara a quo itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya berdasar pada satu keterangan saksi, Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada Richard.

“Yang keterangan saksi Richard Eliezer itu sama sekali berbeda, bahkan bertentangan dengan saksi yang lain. Sehingga, majelis eksaminator mengatakan ini tidak tepat kalau kemudian dasarnya hanya satu keterangan,” jelas dia.

Termasuk misalnya, lanjut dia, motif dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua yang menjadi isu hukum. Memang, semua eksaminator menyebut bahwa motif itu bukan unsur sehingga tidak wajib dibuktikan.

“Tetapi, karena majelis hakim dalam perkara a quo menjatuhkan pidana mati kepada Ferdy Sambo, maka pertimbangan hukum hakim itu harus lengkap, salah satunya adalah motif,” sebutnya.

Menurut dia, ada yang menarik jika membaca pertimbangan hukum hakim. Kalau versi penasehat hukum, kata dia, ada faktor pemerkosaan sehingga Ferdy Sambo melakukan tindakan yang tidak boleh. Sementara, jaksa menyebut bahwa motifnya itu bukan perkosaan tapi perselingkuhan.

“Kemudian, hakim menolak kedua motif itu dan mengatakan motifnya adalah kecewa. Walaupun kalau kita membaca pertimbangan hakim, itu tidak jelas kecewanya karena apa,” ucapnya.

Jadi, kata dia, eksaminator menilai hakim telah melakukan proses halusinasi. Sebab, lanjut Ali, hakim membuat fakta-fakta itu tidak ada di persidangan tapi menjatuhkan pidana mati kepada Ferdy Sambo.

“Sehingga, majelis eksaminator mengatakan pidana mati itu tidak layak dijatuhkan dalam perkara a quo. Karena apa? Karena pertimbangan hukum yang dipaparkan hakim di dalam dokumennya itu tidak lengkap,” ungkapnya.

Berikutnya, Ali mengatakan tes poligraf. Menurut dia, majelis hakim menggunakan tes poligraf padahal versi eksaminator itu investigasi dan tidak diatur dalam Pasal 184 KUHAP. “Jadi semuanya dianggap bohong, kecuali Richard Eliezer yang jujur. Ini versi majelis hakim,” kata Ali.

Akibatnya, kata dia, tes poligraf berimbas kepada apakah Ferdy Sambo menembak atau tidak. Berdasarkan keterangan ahli hasil eksaminasi, lanjutnya, bahwa ada 7 peluru yang bersarang di tubuh korban. 5 peluru itu clear berasal dari senjata Richard Eliezer. Lalu, ada dua peluru itu tidak dapat diidentifikasi karena serpihannya sangat kecil.

“Oleh majelis hakim disimpulkan, karena jelas 5 peluru itu berasal dari Richard Eliezer, maka dua peluru yang tidak bertuan itu disimpulkan pelurunya Ferdy Sambo. Sehingga, hakim mengatakan bahwa Ferdy Sambo juga ikut menembak, walaupun pertimbangan majelis hakim ini bertentangan dengan bukti ilmiah, keterangan ahli dan balistik,” ungkapnya.

Selanjutnya, Ali mengatakan pasal yang dikenakan turut serta kepada Ferdy Sambo. Menurut dia, pasal turut serta sebenarnya tidak tepat tapi harusnya menganjurkan. Tapi problemnya, kata dia, pasal tentang penganjuran itu tidak masuk dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).

“Hakim nanti terjebak kira-kira dengan cara pandang dia, karena sejak awal hakim sudah mengklaim ini adalah turut serta,” katanya.

Terakhir, Ali mengatakan isu hukum untuk Ferdy Sambo terkait obstruction of justice. Menurut dia, Prof Eddy Hiariej menyebut bahwa obstruction of justice itu ditujukan bukan kepada pelaku kejahatan tapi orang lain yang membantu menghalang-halangi pelaku atau saksi.

“Jadi Prof Eddy mengatakan tidak tepat kalau dalam perkara a quo, Ferdy Sambo dikenakan pasal tentang obstruction of justice, karena dia adalah pelaku dalam perkara a quo. Harusnya, pasal itu dikenakan kepada orang lain yang menghalang-halangi proses penyidikan suatu perkara pidana,” jelas Ali.

Terkait Putri Candrawathi, Ali mengatakan ada dua isu hukum yaitu turut serta dan pembunuhan berencana. Menurut dia, majelis eksaminasi menyebut tidak mungkin terjadi turut serta pada delik yang selesai.

Alasannya, kata dia, turut serta terjadi pada fase sebelum kejahatan terjadi dan ketika kejahatan terjadi. Sehingga, tidak mungkin pada kejahatan telah selesai dilakukan. Sementara, eksaminasi ini banyak fakta hukum yang dijadikan pertimbangan hakim ketika Putri ikut terlibat pembunuhan itu sama sekali tidak ada kaitan dengan Ferdy Sambo.

“Niat Ferdy Sambo itu kan munculnya di Jakarta, bukan Magelang. Tetapi, fakta hukum yang diduga dimasukkan oleh hakim adalah fakta-fakta yang di Magelang, sehingga itu tidak masuk. Kedua, banyak fakta hukum oleh hakim dijadikan pertimbangan bahwa PC juga turut serta, itu fakta setelah korban meninggal,” ungkapnya.

Kemudian, Ali menyebut eksaminator mengatakan perbuatan Putri Candrawathi itu lebih tepat sebagai membantu orang lain melakukan kejahatan seperti yang diatur dalam Pasal 56 KUHP. Sehingga, tidak tepat dinyatakan bersalah melakukan turut serta pembunuhan berencana.

“Masalahnya, Pasal 56 KUHP sejak awal tidak pernah dijadikan sebagai dasar dakwaan oleh jaksa penuntut umum. Karena, PC tidak dijadikan dasar didalam dakwaan, maka harusnya Putri itu bebas,” katanya.

Menurut dia, Putri harusnya Pasal 56 KUHP tentang delik pembantuan. Tapi, lanjut dia, Putri dikenakan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. “Karena Pasal 56 KUHP itu kan dua situasinya, sebelum terjadinya kejahatan atau pada saat terjadinya kejahatan,” ucapnya.

Ia menambahkan hasil eksaminasi terhadap perkara a quo yang murni basisnya dokumen-dokumen resmi putusan pengadilan, dan berkas-berkas yang lain. Sehingga, ini murni kajian akademi.

“Bahkan, eksaminator ada Pak Wamen (Prof Eddy Hiariej). Walaupun Pak Wamen mengatakan saya menolak sebagai wamen, saya murni memberikan pendapat sesuai akademisi selaku guru besar bidang hukum,” pungkasnya. (Dikutip: Dari berbagai pemberitaan)

Advertisement