Merauke| Legion News Papua, Pemuda dan masyarakat yang terdiri dari 150 orang menggelar aksi demonstrasi di jalan Brawijaya pada Kamis, 13 Agustus 2020, Aksi ini terdiri dari pemuda dan masyarakat Orang Asli Papua yang terdiri dari suku-suku yang ada di wilayah adat Ha’Anim, di wilayah selatan Papua.
Aksi ini diprakarsai oleh Pemuda Malind dan Poros Pemuda Indonesia beserta sejumlah ormas lokal lain yang merasa terpanggil atas ‘Krisis’ hak politik Suku Asli Malind Anim di tanah Merauke.
“Kami mau kasih tau, Selama ini di tanah Papua orang Malind tidak bicara apapun mereka diam, tapi hari ini kami kasih tau kami masih ada di atas tanah ini”
Sejumlah masyarakat menyuarakan Beragam aspirasi, antara lain ” saripati tanah Malind sudah cukup memberikan hati” aspirasi lainnya “Gen kamuflase menjadi perampok diatas tanah Malind”
Lebih lanjut jendral lapangan Martinus Mahuze berorasi ” banyak pula mengatakan,mengatasnamakan akademisi di atas tanah ini Bahwa Orang Malind masih membutuhkan orang lain untuk memimpin mereka, Namun Anak Malind sudah membuktikan, Bapak Jhon gluba Gebze mantan Bupati bahwa kami tidak kalah dengan orang lain”,
Demonstran yang merasa hak politiknya termarjinalkan sebagai rumpun asli ras Melanesia menyuarakan “stop Memakai marga suku Malind untuk kepentingan politik”, berhubungan dengan isu deklarasi bakal calon Bupati dan wakil Bupati yang bukan rumpun asli ras Melanesia suku Malind Anim.
“Sedikit flash back satu tahun yang lalu masyarakat Malind Anim telah menggelar aksi tikar adat (rapat adat) karena keresahan tokoh adat atas keterwakilan suara Orang Asli Papua suku Malind di pemilihan DPRD kabupaten Merauke tahun 2019-2024 hanya terwakilkan tiga orang”, dan aksi tersebut terdiri dari tujuh poin tuntutan salah satu tuntutannya adalah calon Bupati dan calon wakil bupati harus anak asli Malind Anim, yang saat itu digelar secara Akbar dan sakral di depan gedung kantor Bupati dan di hadiri Rektor Universitas Cenderawasih, perwakilan DPRP dan MRP.
Menjadi menarik karena Papua diberikan Otonomi Khusus, dengan menimbang bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua Selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua; dengan salah satu poin pertimbangan ini menjadi dasar dorongan kesadaran Pemerintah Pusat mengesahkan UU Otsus.
“Korlap lapangan menegaskan dua point’ penting diantaranya;
1.menolak tegas keputusan politik yang tidak berpihak kepada orang asli Papua atau orang asli marind
2.meminta negara mengembalikan hak politik sesuai dengan UU no. 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua dan Papua Barat Bab VII pasal 28 poin 3 dan 4,
Dalam aksi ini pulah ada Tujuh orang orator yang di turunkan untuk memberikan orasi politiknya,diantar tujuh orang orator salah satu memberikan penegasan “Kami harus di hargai diatas tanah kami,jangan membeli marga untuk kepentingan politik pribadi”,
Emanuel menegaskan” kepada partai-partai politik harus bertanggung jawab sebab hari ini telah kalian menciptakan
Suatu pembunuhan karakter kepada anak-anak pemilik negeri”,
Sambungnya”tolong hargai kami orang asli Papua pemilik negeri berikan kebebasan politik yang seutuhnya kepada kami,kami mampu untuk membangun daerah kami”,
Jendral lapangan Martinus Mahuze” ada calon Bupati yang sudah terang benderang ingin mengadai APBD kabupaten Merauke kepada Korporasi dan menawari jabatan-jabatan trategis di Pemeritah”,
“Bagi saudara nusantara lainya yang mendiami bumi ha nimha kalian harus sadar diri jangan coba-coba maju sebagai Bupati dan wakil Bupati OAP atau anak marind,sebab kami pemilik negeri masih ada”, tutupnya. (Nuel)