Banjir di Luwu Disinyalir Akibat Tambang, LMND Palopo: Alasan Investasi Keselamatan Rakyat Terabaikan

LUWU – Banjir bandang melanda Kecamatan Bajo Barat, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Hujan dengan intensitas tinggi membuat kawasan tersebut terdampak banjir, Minggu (02/04).

Sekitar Jam lima sore waktu setempat di desa Bonelemo, desa Marinding, desa Sampeang dan desa Saronda terdampak banjir akibat meluapnya air Sungai Suso.

Meningkatnya debit air sungai dengan arus yang deras merendam beberapa rumah warga dan beberapa jalan penghubung Desa. Melihat situasi yang mengancam tersebut, banyak warga sekitar bantaran sungai bersiap untuk mengungsi.

Hal tersebut menjadi perhatian dari Adri Fadly, Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) kota Palopo.

Advertisement

Menurut Adri, pembangunan infrastruktur jembatan dengan menggunakan Sistem Bix Culvert oleh pihak perusahaan PT. Masmindo Dwi Area (MDA) sebagai akses lalu lintas perusahaan adalah salah satu penyebab terjadinya banjir bandang.

“Pembangunan infrastrukur jembatan menggunakan sistem Bix Culvert serta hadirnya di beberapa titik tambang Galian C seperti sirtu, pasir dan batu yang berstatus ilegal juga turut berkontribusi terhadap meluapnya aliran Sungai Suso,” kata Adri melalui keterangan resminya ke wartawan, Senin (03/04).

“Atas nama Investasi dengan dalil pembangunan mengabaikan keselamatan warga sekitar,” beber Mahasiswa UNCP Palopo ini.

Hal tersebut katanya, menandakan bahwa adanya perusahaan tambang di Luwu tidak menghadirkan kesejahteraan yang di harapkan, bahkan mengancam kehidupan masyarakat dan merusak lingkungan hidup.

Sementara pihak Kepolisian dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu, telah sepakat untuk menutup tambang emas ilegal yang beroperasi di Sungai Suso.

Tambang emas ilegal tersebut membuat masyarakat kehilangan sumber air bersih akibat tercemarnya air sungai.

Ada sekitar 5 perusahaan tambang emas di belantara Sungai Suso yang sudah beroperasi dalam kurun waktu 2 sampai 3 tahun dan tidak mengantongi izin tambang dari pemerintah.

“Untuk itu Pemerintah daerah beserta pihak terkait mesti bertanggung jawab atas aktivitas pertambangan serta meninjau kembali dan menertibkan kegiatan penambangan bila benar adanya tidak memiliki izin,” tambahnya.

“Perbuatan tersebut jelas melanggar tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 158 UU Pertambangan yang menerangkan setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR, atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak sepuluh miliar rupiah,” terangnya. (**)

Advertisement