NASIONAL – Baru-baru ini, pernyataan Luhut Binsar Panjaitan dalam soal pemberantasan korupsi terasa aneh. Luhut mengingatkan agar KPK jangan terlalu sering melakukan operasi tangkap tangan atau OTT.
Hal ini membuat citra bangsa kita bertambah buruk di mata dunia, dalam hal ini berkaitan dengan investasi yang masuk ke Indonesia. Kenapa OTT yang disalahkan?
āYa, kita berupaya untuk paham. Kalau kita mulai dari hal yang mendasar, apa penyebab korupsi? Cuma dua, yaitu powernya yang eksesif (surplus) atau moral yang defisit. Kan cuman itu,ā ujar Rocky Gerung dalam Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Rabu (21/12/2022) yang dipandu Hersubeno Arief, wartawan senior FNN.
Menurut Rocky, dengan cara apa pun, kalau powernya eksesif, mau pakai digital bahkan mau pakai doa pun, tidak akan mempan. Jadi, ini soal eksesif power. Sistem digital itu memang untuk mencegah, tetapi penjelasannya demi mencegah. Itu artinya, potensi untuk korupsi tidak berkurang.
Jadi orang tinggal pilih mana yang efisien. Kalau dipantau secara digital maka memang birokrasi lebih tertib, tetapi potensi korupsi tidak akan berkurang juga. Karena ini soal pertimbangan antara yang mengawasi dan yang diawasi.
āYang paling bagus adalah sistem demokrasi, di mana ada oposisi yang di situ pasti korupsi berkurang, karena kekuasaan terbagi antara yang memerintah dan yang mengawasi. Kalau sekarang nggak ada yang mengawasi. Jadi nggak mungkin itu diandalkan, ā ujar Rocky.
Pak Luhut memang betul kalau ada e-govement, e-catalog maka lebih mudah diawasi, tapi tetap itu pengawasan. Jadi kalau kita buat kerangkanya, pertama diawasi oleh doa, lolos. Lalu diawasi dengan digital, lolos.
Lalu OTT, itu hanya pilihan metode saja. OTT sama efektifnya dengan mencegah lewat doa.
Tetapi, kalau doa tidak berhasil, digital tidak berhasil, OTT saja, lanjut Rocky.
āJadi, kita simpulkan bahwa sumber korupsi cuma dua, surplus kekuasaan atau defisit moralitas,ā simpul Rocky.
Masalahnya, mengapa OTT yang disalahkan dan bukan memperbaiki mentalitas yang buruk?
Menurut Rocky, ini artinya negara belum sanggup untuk memperbaiki sistem pengawasan sehingga disodorkan digitalisasi. Meski itu tetap merupakan sebuah penyelesaian, tetapi harus dianggap bahwa memang negara kita jelek di mata internasional.
Karena, mau pakai sistem apapun, kalau demokrasi tidak jalan, tetap korupsi selalu ada. Eropa, misalnya, hampir nol korupsinya bukan karena ada sistem digital, tapi karena demokrasi yang bekerja. Jadi kita mesti melihat sistem politik, karena korupsi berada di dalam sistem politik.
āJadi, tetap, kita ingin agar ada oposisi, karena etika tertinggi dari politik adalah adanya oposisi untuk mengawasi kekuasaan yang powerfull. Kalau dia gagal, itu artinya kita belum mampu menerangkan pada pejabat publik bahwa dia adalah pejabat yang dipilih oleh rakyat untuk menyejahterakan rakyat,ā tambah Rocky.
Jadi, digitalisasi itu soal teknis saja, tapi korupsi awalnya adalah bolongnya pertahanan etis dari para pejabat kita.
Menurut Rocky, untuk membuat politisi dari awal tidak ingin korupsi, pastikan ada oposisi, supaya dia langsung diawasi oleh partai oposisi.
Pengawasan paling kuat adalah pengawasan eksternal, audit paling bagus juga audit eksternal. Jadi, audit eksternal dalam politik namanya oposisi.
Sekarang Pak Jokowi menyerap mereka semua dalam kekuasaan sehingga mereka jadi surplus sehingga mereka korupsi.
āJadi, logika itu yang mesti diingat supaya kita bisa lihat lebih lengkap perspektifnya,ā tegas Rocku.
Jadi, simpul Rocky, bagus kalau Pak Luhut menginginkan digitalisasi, tetapi Pak Luhut mesti paham bahwa rekrutmen politisi itu tidak berbasis pada etika. Jadi, dari awal orang masuk kekuasaan untuk korupsi.
Dipasang digitalisasi dia bisa atasi, karena memang niatnya untuk korupsi.
Jadi, sekali lagi, karena surplus kekuasaan tanpa oposisi maka korupsi karena defisit etikabilitas atau moralitas menyebabkan orang bergandengan tangan untuk melanggar aturan-aturan etis. (Sumber: fnn)