OLEH: Muhammad Arsyi Jailolo Ketum HMI Cabang Makassar
OPINI – Sebuah negara akan memiliki sebuah hakikat perjuangannya, dengan sebuah dinamika yang negra tersebut alami. Dengan apa yang kita rasakan saat ini, melihat kondisional bangsa yang semakin penuh dengan pro dan kontra dalam kehidupan sosial masyarakat.
Selanjutnya, jika kita tidak melanjutkan nalar kritis untuk mengawal berbagai kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah saat ini. Indonesia adalah negara Demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Sistem pemerintahan kita menggunakan konsep Trias Politica dari montesque. Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam trias politica dikenal tiga macam kekuasaan.
Yakni, kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan yudikatif atau peradilan (penegak undang-undang).
Kewenangan judicial review diberikan kepada yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat undang-undang.
Saat ini, kita memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia, yang kemudian permasalahan korupsi masih menjadi permasalahan tatanan negara Indonesia. Dampak daripada korupsi adalah tidak terstruktur nya penggunaan dan pengelolaan dana negara bari di pusat maupun daerah.
Sehingga sinkronisasi pembangunan tidak berjalan sesuai semestinya. Sebenarnya kita juga dapat melihat Regulasi-regulAsi yang berasal dari kebijakan pemerintah itu sendiri.
Saat ini yang menjadi polemik adalah setelah di sah kannya Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang hukum pidana.
Dengan banyak nya pasal yang pro kontra.
Terdapat 17 pasal bermasalah dan menjadi diskursus bagi beberapa pengamat hukum, pidana, mahasiswa dan beberapa unsur masyarakat. Mulai yang membahas tentang kebebasan menyampaikan pendapat hingga sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Selanjutnya adalah bagaimana langkah yang dapat kita laksanakan untuk memperbaiki tatanan perundang – undangan yang telah berlaku dengan langkah proses secara litigasi, hakikatnya memang terdapat ada beberapa cara, di antaranya adalah Judicial Review dan Legislative Review.
Dalam konteks pandangan hukum, memandang beberapa hal pembentukan aturan. Maka di padang perlu melihat dua sisi, yaitu sisi normatif nya dan sisi sosiologis nya.
Sehingga Das sein dan Das sollen merupakan aspek yang utama yang menjadi pertimbangan dari dampak UU KUHP yang baru saja di sahkan oleh DPR RI.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah melakukan legislative review, Legislative review adalah upaya untuk mengubah suatu undang-undang melalui DPR. Sederhananya proses pengusulan UU baru atau revisi UU.
Hal itu diatur UUD 1945 dan UU Pembentukan Peraturan Perundangan. Karena tak berbeda dengan proses pembuatan UU, maka legislative review UU KUHP juga harus melalui tahapan umum membuat UU.
Ada 5 tahapan pembuatan UU, perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Legislative review itu sebenarnya hal yang dikerjakan oleh lembaga pembuat undang-undang.
Sebenarnya proses pembuatan undang-undang yang biasa. Jadi sudah diatur di UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Proses legislative review di DPR cenderung lama dan berbelit. Pemerintah dan DPR harus berkomunikasi soal siapa yang menginisiasi legislative review dengan mengajukan poin-poin revisi.
Jika diterima DPR, UU KPK akan kembali dibahas dalam rapat-rapat di DPR. Nanti ada penyusunan, diproses penyusunan ini akan disepakati apakah presiden atau pemerintah atau DPR yang menginisiasi revisi UU. Karena akan terkait dengan anggaran.
Menakar Efektivitas Legislative Review di Dewan Perwakilan Rakyat
Bagi kalian penggiat hukum tata negara pasti tahu jika Undang-Undang merupakan hasil kerja dari Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) dengan Presiden.
Apabila di kemudian hari, Undang-Undang tersebut bermasalah, biasanya upaya hukum yang ditempuh oleh para pemerhati kebijakan ialah mengajukan Uji Materiil kepada Mahkamah Konstitusi (“MK”).
Namun, ternyata ada cara lain selain Uji Materiil kepada MK dalam mengevaluasi produk legislasi yang dinilai bermasalah. Salah satunya, Legislative Review, di mana evaluasinya diserahkan kepada DPR.
Namun, Legislative Review banyak disangsikan efektivitasnya, sehingga jarang sekali digunakan.
Mengenai Legislative Review
Selama ini Legislative Review di DPR hanya dimaknai sebatas menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU).
Sebagaimana ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945, yang menyebutkan bahwa PERPPU dari Presiden haruslah mendapatkan persetujuan DPR, apabila tidak maka PERPPU tersebut haruslah dicabut.
Mekanisme Legislative Review terhadap PERPPU tersebut kemudian juga dikuatkan dengan ketentuan Pasal 52 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), yang menyatakan pentingnya persetujuan DPR atas PERPPU tersebut.
Sementara itu, perihal pengujian Undang-Undang diserahkan sepenuhnya kepada MK, berdasarkan kewenangan atributif Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Hal ini tentunya menimbulkan pandangan yang ironis apabila kita menelaah pekerjaan MK yang terus menerus mengevaluasi produk legislasi dari DPR yang dinilai bermasalah, utamanya bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi dan hak-hak konstitusional Warga Negara Indonesia.
Legislative Review haruslah didayagunakan pula sebagai mekanisme evaluasi produk Undang-Undang. Sehingga, tidak hanya bergantung sepenuhnya kepada judicial review di MK. Selain itu, dia juga menilai bahwa tidak sepantasnya pemerintah melempar produk legislasi yang bermasalah kepada lembaga negara yang lain. Sebab, hal itu menggambarkan bahwa pemerintah seolah menjadikan MK sebagai “keranjang sampah”.
Seolah konstitusionalitas undang-undang dianggap hanya urusan MK, sementara DPR dan pemerintah bisa bebas menyimpangi hak konstitusional warga negara dalam membuat UU.
Mekanisme Legislative Review
Secara yuridis, mekanisme Legislative Review terdapat dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019).
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas. Dalam hal ini, DPR dapat mengusulkan kembali produk legislasi tersebut untuk diubah dengan cara memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas tahun berikutnya.
Proses pembahasan revisi Undang-Undang tersebut dapat melalui tahapan yang sama dengan pembahasan rancangan undang-undang lainnya, yakni melalui dua tingkat pembicaraan antara lain; pembicaraan tingkat I (mencakup rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran, atau rapat panitia khusus) dan pembicaraan tingkat II (pengambilan keputusan dalam rapat Paripurna).
Dalam hal ini, DPR wajib membuka ruang aspirasi publik atau dengar pendapat/Public Hearing dari elemen-elemen masyarakat terkait. Sehingga kepentingan-kepentingan substantif dari masyarakat yang belum termuat dalam undang-undang tersebut dapat terakomodasikan.
Keutamaan Legislative Review
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum), Ferdian Andi, menyatakan bahwa dengan mengembalikan produk legislasi ke parlemen sebagai rumah rakyat yang menampung aspirasi warga negara. Dalam hal ini, Warga negara dan badan-badan negara dapat berdiskusi di DPR, bukan berhadap-hadapan di ruang sidang MK.
Pilihan Legislative Review menjadi langkah moderat sekaligus koreksi atas pengambilan keputusan persetujuan produk undang-undang yang dianggap cacat hukum. Langkah Legislative Review ini menempatkan rakyat dalam posisi terhormat.
Selain itu, Legislative Review juga dapat mengembalikan ruang perdebatan dan dialektika antara seluruh elemen masyarakat dan pembentuk Undang-Undang. Yang mana pada akhirnya nanti, akan dilakukan perubahan terhadap sejumlah norma yang disepakati melalui DPR bersama pemerintah.
Sehingga atas dasar penguatan legalitas dan langkah langkah upaya hukum, yg dapat dilakukan oleh setiap warga negara Indonesia, maka sebagai penulis dan mewakili segenap kader, HMI Cabang Makassar mendorong Legislative Review dalam upaya perbaikan terhadap pasal-pasal Undang-undang KUHP dan beberapa Undang-undang yang bermasalah, ini adalah resolusi yang wajib dilakukan oleh pemerintah.
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya danatau Naskah rilis/Keterangan Pers ataupun Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis naskah seperti Kolom Opini, Memberi Keterangan pers dan legion-news.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ataupun pemberitaan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini/Rilis berita/Keterangan Pers Redaksi legion-news.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.