OPINI – Dari pemberitaan yang intens ini jelas bahwa invasi LGBT sudah sangat masif, terstruktur dan terorganisir. Oleh karena itu kita harus melakukan antisipasi agar tidak terjadi dampak yang lebih berbahaya. Dalam teori kesehatan lebih baik mecegah ketimbang mengobati, namun tidak dapat dipungkiri peningkatan LGBT semakin besar di era digitalisasi saat ini.
Dari data terakhir jumlah LGBT di Indonesia sudah mencapai tiga persen dari jumlah penduduk, tentunya data ini sangat mengkhawatirkan dan dari data ini kita dapat berasumsi bahwa jumlah yang tidak terdata ada kemungkinan jauh lebih banyak dari yang terdata, jadi besar kemungkian jumlah LGBT di Indonesia sudah lebih dari tiga persen.
Penyelesaian LGBT harus dilakukan dengan cinta bukan dengan cacian dan hardikan karena bagaimanpun mereka adalah anak bangsa yang merupakan sumber daya manusia yang harus dijaga hak-hak mereka sebagai manusia yang merdeka.
Namun perlu disadari bahwa tidak dibenarkan juga oarang-oarang yang melakukan pembelaan atau pembenaran atas perilaku LGBT yang menyimpang atas nama Hak Asasi Manusia.
Karena baik dia terlahir sebagai LGBT atau karena pengaruh lingkungan, tetap ini perilaku menyaimpang yang harus kita luruskan bukan dibiarkan apalagi dibenarkan. Banyak yang berpendapat bahwa kelainan seksual seorang LGBT bawaan genetika/sejak lahir harus dihargai dan dimaklumi karena sudah demikian adanya dia diciptakan Tuhan, tentunya logika seperti ini sangat sesat dan meyesatkan dan sangat mudah untuk dipatahkan argumentasinya karena semuanya yang ada di semesta ini adalah ciptaan-Nya.
Tuhan yang menciptakan baik dan buruk, malaikat dan iblis, lalu mengapa kita memilih perilaku baik dan melawanan iblis padahal semuanya ciptaan Tuhan, karena manusia diberikan akal untuk menjalani pilihan hidup yang terbaik, karena jika tidak menggunakan akal tentunya manusia lebih rendah dari binatang.
Pembenaran para pembela LGBT dengan segala bentuk kampaye, propaganda dan argumentasi yang mereka sampaikan baik dari hulu sampai hilirnya dari alasan bawaan sejak lahir karena ciptaan Tuhan sampai membuat barrier atas nama hak asasi manusia tentunya tidak bisa dijadikan landasan untuk membenarkan perilaku LGBT.
Jutsru karena diketahui perilaku itu bawaan dari lahir atau pengaruh lingkungan maka hak asasi manusia mereka harus kita selamatkan, kita kembalikan pada fitrahnya sebagai manusia yang manusiawi.
Contoh sederhana pada tulisan ini penulis ingin menyampaikan fakta kongkrit bahwa kelainan bawaan genetika/sejak lahir yang abnormal mesti kita perbaiki agar dia kembali sesuai dengan fitrah dan fungsinya yang benar sebagai manusia.
Penulis sering melakukan operasi bedah pada pasien dengan kelainan celah bibir dan langit-langit yang merupkan kelainan bawaan/sejak lahir yang tentunya mereka adalah ciptaan Tuhan yang harus kita syukuri dan kita hargai, namum bukan untuk kita biarkan dengan kondisinya yang terus demikian karena kita sadar kelainan tersebut merupakan abnormal yang akan mengganggu tumbuh kembangannya, fungsi makan, berbicara dan psikososial kelak saat mereka dewasa, manusia dengan kelainan ini secara langsung hanya berdampak pada dirinya tanpa merugikan orang lain. Kelainan bawaan celah bibir dan langit-langit ini harus kita perbaiki dan mengembalikan fungsinya menjadi manusia yang normal seperti yang lain agar dapat tumbuh kembang dengan baik dan hidup sehat baik fisik maupun mentalnya sehingga dapat bersosislisasi ditengah masyarakat dengan baik.
Lantas bagaimana dengan asumsi LGBT bawaan sejak lahir, dimana kita ketahui dampak perilaku LGBT bukan hanya pada pribadinya tapi juga berdampak pada orang lain bahkan pada masyarakat luas, tentunya problem ini harus kita sembuhkan agar tidak semakin merusak tatanan hidup bermasyarakat.
Penyelesaian problem LGBT perlu melibatkan multidisplin ilmu, dan pemerintah sebagai pemegang kuasa penuh harus bisa membuat aturan dan kebijakan yang baik agar problem LGBT tidak semakin memperparah tatanan hidup bangsa ini.
Jadi berhentilah melakukan pembenaran bahwa LGBT harus dilestarikan karena mereka punya karya yang besar, karena bisa membuat aman para lelaki ketika istri mereka ke salon karena LGBT yang melayani.
Karena bukan karya, ketelitian dan keahliannya yang ingin kita obati tetapi perilaku seksual menyimpangnya yang ingin dikembalikan pada fitrahnya yang sebenarnya agar dia dapat kembali hidup sehat dan meyehatkan.
Jika eduksi kesehatan dengan cinta tidak bisa mengembalikan mereka kepada fitrahnya, maka perlu aturan hukum dibuat agar memberi efek jerah dan bisa menyadarkan mereka akan kesalahan yang diperbuat, kebijkan dan aturan yang dibuat berdasarkan landasan filososfi bangsa kita yaitu Negara yang berkeTuhanan dan nilai-nilai sosiologis masyarakat atas dasar cinta dan kepedulian untuk meyelamatkan mereka dan anak bangsa yang lain dari bahaya perilaku LGBT, karena bukan hanya berdampak bagi kesehatan yang sudah sangat meresahkan, namun bisa berujung pada kepunahan manusia.
Akhir-akhir ini sangat intens issue LGBT di setiap media dibicarakan, issue ini bukan meruapakan hal yang baru namun setiap tahun diperbaharui. Pembahasan LGBT merupakan issue tahunan yang sering dibicarakan serupa dengan issue kemiskinan dan korupsi. Issue ini menarik untuk dibahas karena sering dikaitkan dengan hak asasi manusia yang dibenturkan dengan kepercayaan/keyakinan terutama agama Islam yang merupakan mayoritas penduduk di Indonesia, sehingga issue ini selalu digiring LGBT vs Islam, padahal semua agama melarang perilaku LGBT.
Penulis tertarik membahas issue ini bukan untuk mengkampanyekan, mempromosikan, apalagi memprofokasi menjadi LGBT sejati, namun tulisan ini semoga dapat menjadi corong edukasi perubahan ke arah yang lebih baik, terkhusus dalam penyelesaian problem LGBT.
Begitu banyak media yang membahas hal ini, namun salah satu acara yang menarik perhatian penulis adalah acara yang menghadirkan narasumber dengan kompetensi dan kapasitas masing-masing untuk membahas problem LGBT.
Acara tersebut menghadirkan salah satu anggota legislatif yang bertugas sebagai pembuat RUU KUHP dimana dia berpendapat bahwa RUU KUHP yang sudah dibahas ditingkat komisi tidak perlu ada tambahan lagi saat paripurna karena dikhawatirkan makin banyak bias dan kepentingan lain yang bermain, dari perwakilan NU mejelaskan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dalam berdawkah harus dengan landasan cinta,
Perwakilan dari advokat LBH melihat problem LGBT bukan hanya hilirnya tapi hulunya lebih penting dalam artian bukan hanya lihat efeknya tapi lihat apa penyebabnya, narasumber mantan LGBT dia menceritakan dirinya bisa menjadi pribadi yang laki suka laki (LSL) lebih karena faktor lingkungan dan trauma perilaku seksual menyimpang yang dialaminya sampai bisa hijrah kembali pada fitrahnya sebagai lelaki sejati, narasumber dari budayawan menyampaikan dia setuju kalau KUHP terkait LGBT di sahkan dengan syarat tidak ada lagi keluarga yang menonton acara sinetron karena isinya hampir semua LGBT, dan harus diakui jasa dan dedikasi LGBT dengan memberi contoh bahwa yang buat para lelaki nyaman saat istrinya ke salon karena LGBT yang potong rambutnya dan LGBT juga sangat detail sehingga banyak hasil karya yang baik dari ketelitian mereka, narasumber dokter spesilais kulit dan kelamin dia memaparkan data terkini terkait penyakit menular akibat perilaku LGBT yang sangat mencengangkan,
Terutama hubungan intim melalui dubur, dari perwakilan MUI menyampaikan bukan individu LGBT yang dibenci tapi perilakunya, narasumber pakar hukum menyampakan hukum yang baik itu harus berbasis filosofi dan sosiologis, jadi aturan yang dibuat harus sesuai dengan filosofi bangsa dan sosiologis masyarakat tersebut.