Kontroversi Perpanjangan Izin Tambang PT. Vale Indonesia

Sawedi Muhammad Sosiolog Universitas Hasanuddin
Sawedi Muhammad, Sosiolog Universitas Hasanuddin

PENULIS: Sawedi Muhammad
Sosiolog Universitas Hasanuddin

“THE mining industry might make wealth and power for a few men and women, but the many would always be smashed and battered beneath its giant treads”. (Katharine Susannah Prichard).

Industri pertambangan telah berkontribusi besar terhadap modernisasi peradaban manusia sejak zaman klasik. Manusia membutuhkan minyak bumi, tembaga, besi, perak, emas, mangan, batubara dan nikel untuk memudahkan kelangsungan hidupnya. Produk-produk pertambangan menjadi penopang utama inovasi dan produktifitas sektor pertanian, perkebunan, transportasi, kesehatan, produk kecantikan bahkan industri pertahanan.

Sektor pertambangan, seperti banyak didaku oleh developmentalist sebagai prime mover pembangunan; mendorong kenaikan pendapatan, membuka lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan dan mengatasi kesenjangan antar wilayah.

Advertisement

Begitu pentingnya industri pertambangan, motto Konferensi Pertambangan Dunia tahun 2000 yang diadakan di Amerika adalah “Everything begins with mining”. Bahkan, salah seorang fisikawan kenamaan dunia, Max Planck pernah berujar bahwa “Mining is not everything but without mining everything is nothing”.

Karena kontribusi positifnya begitu besar, dampak negatif industri pertambangan sering diabaikan. Mereka yang kontra terhadap kegiatan pertambangan pun jumlahnya relatif sedikit. Mereka biasanya dari penduduk lokal, aktivis lingkungan, akademisi, jurnalis atau kelompok anak-anak muda yang peduli lingkungan. Gerakannya pun tidak populis. Mereka hanya dianggap sebagai _noise_ yang kehadirannya tidak terlalu signifikan dalam menghentikan operasi pertambangan yang didukung penuh oleh pemerintah beserta aparat keamanan.

Dalam sejarah resistensi terhadap operasi pertambangan di Indonesia, belum ditemukan perlawanan yang dapat menghentikan kegiatan operasi industri pertambangan secara permanen.

Produk Tambang dan Imperialisme Global

Semakin canggih peradaban manusia, kesadaran dan perspektif tentang pertambangan turut mengalami perubahan. Di zaman klasik, menambang dianggap sebagai temuan spektakuler yang mencengangkan. Tambang berkontribusi memudahkan manusia berhadapan dan beradaptasi dengan alam semesta.

Meski teknologi metalurginya sangat tradisional, penemuan besi dan nikel berhasil meningkatkan derajat dan kekuatan manusia sebagai pelaku utama yang survive dalam lintasan evolusi menuju tahta antroposentris yang sangat digdaya.

Di zaman moderen, teknologi pertambangan semakin canggih seiring dengan peningkatan kebutuhan yang semakin besar. Produk pertambangan tidak semata dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan komunal, tetapi menjadi komoditas yang diperjualbelikan dalam skala besar lintas negara.

Kelindan antara supply and demand dalam skala global yang tak terhindarkan, menjadikan produk pertambangan sebagaimana yang disebut oleh Rosa Luxemburg sebagai jantung dari imperialisme dan kolonialisme.

Modus operandi penguasaan barat atas sumber daya alam di negara dunia ketiga kemudian disebut oleh geografer David Harvey sebagai “accummulation by disposession”

Dunia tidak akan lupa bagaimana ambisi kolonialisme dari penjelajah Spanyol dan Portugal yang dibalut dalam misi _Gold, Gospel and Glory._ Ekspedisi mereka berkeliling dunia sesungguhnya adalah mencari komoditi, menguasai jalur perdagangan dan melakukan penaklukan. Komoditi bernilai tinggi yang menjadi incaran mereka adalah emas, berlian, batu permata dan rempah-rempah.

Dari titik inilah imperialisme dimulai. Pembantaian dan genosida yang dilakukan oleh pendatang Eropa atas penduduk pribumi di Asia, Afrika dan Amerika Latin berlangsung selama berabad-abad. Dalam buku sejarah dikenal dengan penemuan Columbus atas benua Amerika pada tanggal 12 Okrober 1492. Demikian pula ekspedisi Ferdinand Magelland sebagai penjelajah yang mencari jalur rempah di Pasifik di tahun 1519. Bagi Eropa, mereka adalah pahlawan.

Tetapi bagi pribumi, Columbus dan Magellan adalah intruder yang mengusik ketenangan hidup orang pribumi yang telah berlangsung selama ribuan tahun. Magellan akhirnya dibunuh oleh tebasan kampilan Datuk Lapu-Lapu di perang Mactan pada tanggal 27 April 1521. Columbus – karena gaya hidupnya – meninggal akibat artritis-reaktif. Penyakit ini adalah inflamasi akut yang disebabkan oleh bakteri intestinal atau karena infeksi yang diperoleh akibat berhubungan seks (chlamydia atau gonorrhea). Meski kedua penjelajah dan perintis imperialisme Barat tersebut meninggal secara tragis, hasrat keduanya untuk menaklukkan dunia tidak pernah surut.

Ambisi Barat (Eropa dan Amerika) untuk merebut dan menguasai sumber daya alam khususnya pertambangan terus berlanjut hingga hari ini. Keunggulan Barat di sektor teknologi pertambangan bahkan mendapat penantang baru yang tidak kalah ambisiusnya; “negeri tirai bambu”. Tiongkok dengan misi dagang yang sangat masif, mengerahkan segala kekuatan modal dan industrinya untuk menguasai jalur perdagangan nikel dunia.

Indonesia sebagai salah satu episentrumnya mendapat perhatian yang sangat istimewa. Hanya dalam waktu empat tahun, Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) – perusahaan asal Tiongkok – telah menguasai 50% dari total produk hilir nikel di Indonesia. IMIP menggeser PT Vale Indonesia Tbk yang selama ini menguasai porsi 77% menjadi 22%, dan Aneka Tambang dari 19% menjadi 5%. Pendatang baru seperti Virtue Dragon, yang juga asal Tiongkok telah menggeser posisi ANTAM sebagai penghasil nikel dengan porsi 11%, dan Harita Group 6% (Kontan, 13 Oktober, 2020).

Pembangunan Berkelanjutan

Seiring meningkatnya kesadaran akan pembangunan berkelanjutan, berbagai konferensi, dan protokol tingkat dunia disepakati sebagai bagian dari komitmen bersama untuk mencegah bumi dari kerusakan. Salah satu milestone yang sangat bersejarah adalah kesepakatan Protokol Kyoto di tahun 1997.

Protokol ini memberi dasar bagi negara-negara maju untuk mengurangi total emisi gas rumah kaca setidaknya 5 persen dari tingkat tahun 1990. Komitmen ini mengikat secara hukum dan membebani negara maju atas dasar tanggung jawab bersama tetapi berbeda (common but differentiated responsibilities).

Protokol Kyoto berlanjut di Kesepakatan Paris pada tahun 2015. Kesepakatan ini mengikat secara hukum bagi 196 negara – termasuk Indonesia – yang telah meratifikasi perjanjian tentang komitmen mitigasi pemanasan global. Tujuannya adalah membatasi pemanasan global di bawah 2 sampai 1,5 derajat celcius dibanding dengan masa pra-industrial.

Untuk mencapai target pengurangan suhu bumi, emisi gas rumah kaca harus dikurangi sebesar 45% pada tahun 2030 dan net zero emisi pada tahun 2050. Komitmen Paris kemudian berlanjut di konvensi tahunan PBB mengenai perubahan iklim tanggal 31 Oktober – 13 November 2021 di Glasgow, Scotlandia. Konvensi ini juga disebut sebagai COP26 yang berhasil menyepakati Glasgow Climate Pact dan menuntaskan Paris Rule Book yang akan menjadi panduan implementasi Kesepakatan Paris.

Apa kewajiban Indonesia untuk merealisasikan Komitmen Kontribusi nasional (NDC) untuk penurunan emisi gas rumah kaca sesuai kesepakatan Paris? Bagaimana pemerintah melibatkan sektor swasta khususnya industri pertambangan untuk mencapai target pengurangan emisi 45% tahun 2030 dan net zero emisi tahun 2045? Bagaimana masa depan industri pertambangan di Indonesia pasca COP26 bersamaan dengan kepemimpinan Indonesia di G20?

Komitmen Indonesia

Dalam pidatonya pada sesi II Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di La Nuvola, Roma, Italia tanggal 31 Oktober 2021, Presiden Jokowi menegaskan, “Indonesia mengharapkan G20 memimpin dunia dalam hal kerjasama menangani agenda perubahan iklim dan tata kelola lingkungan berkelanjutan melalui pelaksanaan program-program konkret”.

Jokowi menambahkan, “Saya memahami bahwa selaku pemilik hutan tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi strategis dalam menangani perubahan iklim. Kami akan menggunakan posisi strategis tersebut untuk berkontribusi. Deforestasi di Indonesia telah mencapai angka terendah dalam 20 tahun terakhir. Indonesia telah merehabilitasi 3 juta hektar lahan kritis selama periode 2010-2019”. (Setkab, 31 Oktober 2021).

Dalam pertemuan di Roma tersebut, Jokowi juga menegaskan target Indonesia untuk mencapai “Net Sink Carbon” untuk tanah dan hutan pada 2030 dan “Net Zero” pada tahun 2060 atau sebelumnya.

Untuk mencapai target yang dijanjikan Jokowi di KTT Roma, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya menegaskan dua tema inti yang berkaitan langsung dengan kepemimpinan Indonesia di G20 dan tindak lanjut dari COP26 yaitu hutan dan tata guna lahan dan transisi energi.

Untuk komitmen hutan dan tata guna lahan, Indonesia menargetkan mencapai net carbon sink melalui zero deforestasi pada tahun 2030. Sementara untuk transisi energi, pemerintah memberikan prioritas untuk mengurangi penggunaan batu bara sebagai sumber energi listrik, sekaligus mengembangkan energi terbarukan untuk mencapai ekonomi yang lebih hijau baik di sektor industri maupun energi.

Sementara untuk Presidensi Indonesia di G20, kelompok kerja memprioritaskan tiga isu utama; mendukung pemulihan secara berkelanjutan, meningkatkan aksi bawah laut (sea-based action) untuk mendukung perlindungan lingkungan dan meningkat mobilisasi sumber daya untuk mendukung lingkungan dan pemulihan iklim. Siti Nurbaya menjelaskan bahwa target net carbon sink dan transisi energi pada tahun 2030 telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah yang dikeluarkan tahun 2021. (Foresthints.news, 2 Maret, 2022).

Aksi korporasi PT. Vale Indonesia

Dalam laporan resmi mengenai Sustainability Report 2020, PT. Vale Indonesia berkomitmen untuk mengontrol emisi gas rumah kaca melalui pengurangan 33% tingkat emisi karbon di tahun 2030 dan rantai suplai emisi karbon sebesar 15% di tahun 2035. Beberapa langkah konkret yang dilakukan PT. Vale dalam program yang disebut sebagai Vale Power Shift Initiatives adalah automasi dan penggunaan kecerdasan buatan, sistem elektifikasi yang dapat diperbaharui dan menggunakan energi alternatif untuk kegiatan pertambangan.

Selain itu, PT Vale telah menunda Coal Conversion Project 2 (CCP 2), meski program ini diklaim mengurangi biaya keuangan korporasi sebesar $40 juta per tahun. Melalui penundaan konversi batu bara, PT Vale menghindari penambahan emisi gas rumah kaca sebesar rata-rata 200.000 ton CO2 per tahun. PT. Vale juga menggunakan 30% biofuel (BBN) Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebagai biodiesel untuk kendaraan operasionalnya (Vale sustainability Report, 2020).

Untuk mewujudkan komitmen investasi sesuai amandemen Kontrak Karya tahun 2014, PT. Vale akan merealisasikan pembangunan pabrik pengolahan nikel di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Melalui kemitraan dengan Taiyuan Iron & Steel (Group) CO, Ltd (Tisco) dan Shandong Xinhai Technology Co, Ltd (Xinhai) telah menandatangani perjanjian kerangka kerja sama proyek (PCFA) untuk fasilitas pengolahan nikel di Sulawesi Tengah pada tanggal 24 Juni 2021.

Fasilitas pengolahan yang akan dibangun terdiri dari delapan lini Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dengan perkiraan produksi sebesar 73.000 metrik ton nikel per tahun. Untuk kebutuhan biji nikel akan dipasok dari Kontrak Karya (KK) Blok 2 dan Blok 3 Bahudopi seluas 16.395 hektar.

Sementara untuk wilayah Pomalaa, Sulawesi Tenggara, PT. Vale menguasai KK seluas 20.286 hektar. Proyek tersebut adalah penambangan oleh PT. Vale dan pabrik pengolahan dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang akan dioperasikan oleh perusahaan patungan yang dibentuk oleh Sumitomo Metal Mining, Co Ltd (SMM) dan PT. Vale (SINDOnews, 8 November, 2021).

Pertanyaanya adalah, apakah kedua pilihan teknologi peleburan nikel yang diadopsi PT. Vale; Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) di Morowali dan High Pressure Acid Leaching (HPAL) di Pomalaa sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mencapai target yang dijanjikan Jokowi di KTT Roma dan komitmen dalam Presidensi Indonesia di G20? Pertanyaan strategis inilah yang harus dijawab ketika menyoal perdebatan mengenai perpanjangan izin pertambangan PT. Vale Indonesia.

Isu lingkungan menjadi penentu karena tidak hanya menyangkut komitmen pemerintah di level internasional tetapi juga berkaitan dengan traceability produk yang dihasilkan sekaligus penilaian mengenai tata kelola Environment, Social and Governance (ESG) yang komprehensif.

Satu hal yang pasti, baik teknologi RKEF dan HPAL keduanya menggunakan energi listrik yang sangat besar. Saat ini PT. Vale tidak punya banyak pilihan; membeli listrik dari PLN atau membuat sumber energi sendiri dari tenaga diesel atau batu bara. Dari segi lingkungan, penggunaan energi dari sumber yang tidak dapat diperbaharui akan berkontribusi besar terhadap polusi udara dan akan menghambat upaya pemerintah untuk mencapai net carbon sink dan transisi energi tahun 2030. Selain itu, pembuangan limbah lumpur dari pengolahan HPAL yang dibuang ke laut dalam (deep sea tailing placement) sangat bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk melakukan perlindungan terhadap lingkungan bawah laut (sea-based action).

Demikian pula dengan eksploitasi pertambangan sistem open pit mengharuskan pembabatan hutan dalam jumlah yang sangat besar. Hampir seluruh wilayah izin pertambangan PT. Vale Indonesia di tiga provinsi berada dalam kawasan hutan produksi atau hutan lindung. Penebangan hutan dalam jumlah ratusan sampai ribuan hektar per tahun sangat bertentangan dengan komitmen pemerintah di COP26 yang menargetkan zero deforestation di tahun 2030.

Catatan Penutup

Setelah menganalisis sejarah industri pertambangan dan kompleksitas yang ditimbulkan baik secara sosial, ekonomi dan lingkungan, maka sangat dimaklumi apabila begitu banyak respon negatif terhadap kehadiran PT. Vale Indonesia. Meski perusahaan ini telah beroperasi lebih dari setengah abad, transfer pengetahuan dan teknologi pertambangan ke sumber daya manusia lokal tidak juga terlaksana. Selain itu, persoalan konflik lahan, maksimalisasi program CSR, pencemaran lingkungan, pemberdayaan kontraktor lokal dan rekrutmen tenaga kerja terutama masyarakat asli masih terus terjadi secara berulang.

Meski PT. Vale Indonesia secara normatif telah mendapatkan penghargaan tertinggi untuk pengelolaan lingkungan (Proper), indikator Environment, Social dan Governance belum dicapai secara maksimal dan komprehensif.

Sesuai amandemen KK yang ditandatangani tahun 2014, maka renegosiasi perpanjangan kontrak dan peralihan ke Izin Usaha Pertambangan Khusus akan dimulai tahun 2023, dua tahun sebelum KK berakhir tahun 2025.

Tidak mudah bagi pemerintah dalam melakukan renegosiasi, mengingat berbagai isu strategis harus dipertimbangkan sebelum memutuskan apakah izin pertambangan PT. Vale Indonesia diperpanjang atau tidak.

Beberapa pertimbangan berikut dapat dijadikan referensi bagi pemerintah dalam melakukan renegosiasi perpanjangan izin pertambangan. Pertama, sesuai komitmen PT. Vale yang akan membangun smelter di Morowali dan Bahudopi yang hampir pasti tidak sesuai timeline, maka pemerintah harus memberi poin tersendiri mengenai keseriusan perusahaan dalam merealisasikan komitmennya. Sebagai perbandingan, IMIP Morowali dan Virtue Dragon dapat merampungkan pembangunan smelter dan melakukan ekspor perdana hanya dalam waktu empat tahun saja.

Kedua, pilihan teknologi untuk kedua pabrik peleburan nikel di Morowali dan Pomalaa bukanlah teknologi yang ramah lingkungan. Apabila kedua smelter tersebut beroperasi, maka dapat dipastikan target pemerintah untuk zero deforestasi, transisi energi dan net carbon sink tahun 2030 tidak akan tercapai.

Ketiga, kinerja ESG PT. Vale di blok Sorowako tidak ditunaikan secara maksimal. Artinya, perusahaan akan semakin kesulitan melaksanakan tata kelola pertambangan yang baik sesuai prinsip-prinsip ESG secara bersamaan di tiga tempat yang berbeda secara bersamaan.

Keempat, sebelum mengambil keputusan mengenai status perizinan perusahaan, pemerintah sebaiknya melakukan konsultasi secara menyeluruh di tiga provinsi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara) dengan melibatkan stakeholder lokal yang selama ini bersentuhan langsung dengan perusahaan. Pemerintah harus mendengarkan aspirasi berbagai pemangku kepentingan melalui dialog yang terbuka dan partisipatif untuk mengetahui gambaran objektif tentang kontribusi pertambangan di berbagai bidang.

Keputusan apa pun yang diambil adalah yang terbaik untuk pembangunan bangsa dan negara. Tetapi hendaknya pemerintah memahami bahwa meski ekspedisi Columbus dan penjelajahan Magellan sudah tidak ditemukan di abad ini, strategi negara Barat dan Timur untuk menguasai kekayaan alam Indonesia telah bertransformasi kedalam formasi baru yang disebut oleh Harry Magdoff sebagai “imperialism without colonies”.

Sudah saatnya pemerintah mengembalikan spirit pasal 33 UUD 1945 ayat 33, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan legion news.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi legion news.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Advertisement