Membangun Gerakan Anti Korupsi

Ahmad Mabbarani (Ketua Forum Aliansi Kontra Korupsi)
Ahmad Mabbarani (Ketua Forum Aliansi Kontra Korupsi)

Oleh: Ahmad Mabbarani (Ketua Forum Aliansi Kontra Korupsi)

LEGION NEWS.COM – Persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah korupsi. Meski gerakan pemberantasan korupsi gencar dilakukan sejak masa reformasi, 1998, namun prilaku korupsi belum juga tuntas dibereskan, malah jumlah dan eskalasinya semakin meningkat.

Padahal, korupsi menimbulkan kerusakan besar bagi sendi-sendi ekonomi bangsa dan membuat negara menjadi rapuh. Masa depan NKRI sungguh terancam akibat maraknya korupsi di kalangan pejabat publik.

Yang mengherankan sekaligus memerihkan nalar yang sehat, prilaku masyarakat terhadap koruptor, justru menjadi anomali bagi gerakan pemberantasan korupsi. Sebahagian masyarakat menganggap perbuatan korupsi bagi elit atau pejabat publik sesuatu yang lumrah. Bahkan, tanpa rasa sungkam, masih banyak orang menjadikan koruptor sebagai tokoh idola mereka.

Advertisement

Korupsi yang telah terjadi secara meluas, sistemik, dan kolutif telah merugikan keuangan Negara, perekonomian nasional, dan menghambat pembangunan nasional, sehingga dalam upaya pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien diperlukan kerja sama erat antara seluruh elemen masyarakat.

Pertama, harus terbangun kesadaran anti korupsi di kalangan masyarakat yang dibarengi dengan rasa malu, sehingga prilaku korupsi bisa menimbulkan efek jera. Akhirnya, masyarakat pun menjadikan kejujuran sebagai syarat utama untuk memilih pemimpin di semua level.

Kedua, budaya malu korupsi harus ditumbuhkan. Di zaman Abraham Samad memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), santer dikampanyekan pembentukan karakter bangsa: jujur itu hebat! Namun, seiring perkembangannya, membangun karakter jujur dalam budaya birokrasi, hingga saat ini, sepertinya belum menunjukkan hasil yang maksimal.

Masih banyak pejabat publik terjerat korupsi. Banyaknya Kepala Daerah, Gubernur, Bupati dan Walikota di Indonesia ditangkap karena kasus korupsi sangatlah membuat kita harus prihatin sebagai warga bangsa. Sebab budaya malu korupsi belum menjadi prilaku bangsa Indonesia.

Ketua KPK, Firli Bahuri, beberapa waktu lalu membeberkan data yang dimilikinya: sebanyak 22 Gubernur dari 34 Provinsi dan 122 Bupati dan Walikota dari 542, saat ini terjerat kasus korupsi dan sudah divonis sebagai koruptor.

Bayangkan, lebih dari separuh Gubernur yang ada di Indonesia sudah divonis korupsi. Begitu juga, lebih dari 30 persen Bupati dan Walikota yang ada, juga sudah masuk bui dengan status koruptor. Tetapi, efek jera terhadap prilaku korupsi belum greget, meskipun koruptornya ada yang dimiskinkan dengan TPPU.

Ketiga, rekruitmen politik harus segera dibenahi, terutama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Parpol harus menghentikan kebiasaannya mendahulukan mahar politik dalam merekrut calon kepala daerah atau calon legislatif. Beban biaya politik yang begitu mahal, sangatlah berimplikasi terhadap pengelolalaan kekuasaan dengan cara pragmatis: mengembalikan biaya politik yang dipakai memenangkan Pilkada.

Atau, kekuasaan terpaksa diselenggarakan oleh kepala daerah untuk mengabdi kepada cukong atau pemilik modal yang membiayai kampanye hingga menang di Pilkada. Sehingga, tidak heran, banyak gubernur atau bupati/walikota tertangkap tangan KPK karena gratifikasi pengerjaan proyek.

Massifnya prilaku korupsi itu, yang terjadi dihampir semua level, tentu saja tak akan sanggup diatasi oleh aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan KPK sekalipun. Sehingga harus melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif untuk melaporkan dugaan kasus korupsi yang ada di sekitarnya.

Bahwa pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2018 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Menurut PP 43 tahun 2018 ini, pelapor adalah masyarakat yang memberikan informasi kepada Penegak Hukum mengenai adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi.

Dengan adanya PP itu, masyarakat bisa berperan serta membuat laporan ke aparat penegak hukum (APH), baik kepada Kejaksaan, Kepolisian atau KPK, agar dilakukan pencegahan dan pemberantasan untuk menyelamatakan uang negara.

Tentu saja, dalam menyampaikan laporan kepada APH, masyarakat harus memberikan data yang benar sebagai bukti awal. Selanjutnya APH setelah menerima laporan masyarakat, harus dilakukan penelusuran, penyelidikan. Sebab, tugas penegak hukum adalah menemukan bukti adanya perbuatan tindak pidana korupsi yang bersumber dari laporan masyarakat.

Oleh karena itu, maraknya kegiatan masyarakat, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) melaporkan kasus korupsi, semestinya diberi apresiasi oleh negara sesuai yang termaktub dalam PP Nomor 43 tahun 2018.

Dengan meningkatkan pasrtisipasi masyarakat terhadap pelaporan kasus-kasus korupsi dan kesungguhan APH (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) membongkar korupsi, termasuk yang dilaporkan masyarkat, sadar atau tidak, akan memberikan efek jera. Orang merasa sungkam untuk korupsi karena mereka merasa diawasi secara langsung oleh masyarakat.

Akhirnya, gerakan anti korupsi haruslah semakin didorong berkembang di tengah masyarakat. Bukankah korupsi itu memiliki daya rusak yang tinggi? Wallahu’alam bisshawab.

Advertisement