Soal Penggusuran Warga oleh Pihak PTPN XIV, Syamsir: Bupati Enrekang Harus Bertanggung Jawab

Pengurus Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Informasi Lingkungan Hidup Indonesia (LSM PILHI) yang diketuai Syamsir Anchi
Pengurus Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Informasi Lingkungan Hidup Indonesia (LSM PILHI) yang diketuai Syamsir Anchi

LEGION NEWS.COM, ENREKANG – Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Informasi Lingkungan Hidup Indonesia (LSM PILHI) yang diketuai Syamsir Anchi terus memberikan suara pembelaan nya kepada warga korban penggusuran oleh pihak PTPN XIV.

Konflik agraria di tanah Massenrempulu terus berlanjut. Aktivitas PTPN XIV di atas tanah seluas 3.267 Ha tak bisa dihentikan, sekalipun sudah ada moratorium yang dihasilkan saat RDP pertama di DPRD Sulsel, namun itu hanya di atas kertas saja. Salah satu point’ adalah penghentian aktivitas PTPN XIV di atas lahan sengketa, tidak diindahkan oleh pihak PTPN XIV.

Bahkan, saat terjadi RDP, excavator masih lalu lalang di lahan konflik kecamatan Maiwa, kabupaten Enrekang. sementara tanaman warga, dan lahan dimana rumah berdiri terdampak dari aktivitas PTPN XIV, sebagian besar sudah rata dengan tanah, namun masih ada juga yang menanami jagung, dan tanaman jangka pendek lainnya.

Kondisi memprihatinkan ini turut mengundang kepedulian dari berbagai komponen, termasuk para aktivis di dalam dan luar Enrekang.

Advertisement

Hal inilah yang mengundang simpati direktur eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Informasi Lingkungan Hidup Indonesia (LSM PILHI) Syamsir Anchi.

Menurut Syamsir Anchi, awal mula konflik ini terjadi diduga karena ulah bupati setempat. Terbitnya surat rekomendasi inilah yang membuka peluang kembalinya PTPN XIV di Enrekang yang jatuh bangun mengusung proyek yang silih berganti di atas lahan 3.267 Ha.

Dampak yang ditimbulkan akibat penguasaan lahan secara sepihak, maka warga sekitar yang telah lama mendiami, dan memanfaatkan lahan tidur itu, sebagian besar telah kehilangan mata pencaharian di atas lahan eks HGU PTPN yang mulai digusur sejak tahun 2016 lalu, hingga kini.

Bahkan, kawasan peruntukan transmigrasi pun ikut digusur oleh pihak PTPN XIV yang dimulai dari Desember tahun 2021, sampai sekarang. Tercatat sekitar 100 petani penggarap yang mengalami kerugian, dan sekitar 50 KK yang kehilangan tempat tinggalnya.

Padahal, lahan pemukiman transmigrasi itu dikeluarkan secara resmi oleh bupati Enrekang sebelum periode bupati Drs.H. Muslimin Bando, MPd, yakni di masa pemerintahan Iqbal Mustafa.

Olehnya itu LSM PILHI mendesak kepada bupati Enrekang untuk bertanggung jawab atas semua kerugian materil, dan non materil kepada warganya. “Bupati Enrekang harus bertanggung jawab atas kerugian materil dan non materil kepada warganya,” tegas Syamsir Anchi kepada media ini.

Aktivitas PTPN XIV Di Maiwa Diduga Ilegal

Aktivitas PTPN XIV di kecamatan Maiwa, kabupaten Enrekang diduga ilegal oleh Syamsir Anchi. Pasalnya, menurut Anchi—panggilan akrab Syamsir Anchi, red, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.40 Tahun 1996, masa pemberian Hak Guna Usaha (HGU) oleh negara berlaku selama 35 tahun, dan dapat diperpanjang 25 tahun. Dan, sebelum berakhir masa berlaku HGU, yakni 2 tahun sebelumnya, harus diajukan perpanjangan dan pembaruan sesuai aturan yang ada.

Namun, lanjut mantan aktivis 98 ini, pengajuan perpanjangan HGU PTPN XIV tidak disetujui karena PTPN diduga tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tertuang dalam Pasal 9 PP No. 40 Tahun 1996, perpanjangan dan pembaruan HGU dapat dilakukan atas permohonan oleh pemegang HGU, jika memenuhi beberapa syarat : Tanahnya masih diusahakan dengan keadaan sifat dan tujuan yang baik, Syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak, Pemegang HGU masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

Lalu pada aturan lain, lanjut Anchi, Pasal 31 Ayat (2) dan Pasal 35 Ayat (2) Permen ATR 7 Tahun 2017 yang mensyaratkan perpanjangan dan pembaruan HGU secara rinci : Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang HGU.Tanahnya masih dipergunakan dan diusahakan dengan baik sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak yang bersangkutan. Penggunaan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah setempat. Tanah tidak termasuk dalam database tanah terindikasi terlantar. Tanah tidak dalam perkara di lembaga pengadilan dan tidak diletakkan sita, blokir atau status quo.

Selain itu, pihak PTPN selaku eks pemegang HGU diduga lalai dalam menjalankan sebagian kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Ayat (1) PP No.40 Tahun 1996 yang berbunyi bahwa : Pemegang HGU membayar uang sebagai pemasukan terhadap negara, selain itu, berkewajiban juga melaporkan hasil HGU setiap tahun, dan Pemegang HGU memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam, dan menjaga kelestarian.

Jadi, kalau kita berbicara aturan, tidak ada landasan yang bisa dijadikan acuan terhadap aktivitas PTPN XIV di Maiwa dan sekitarnya, kuncinya.
(*)

Advertisement