Arogansi dan Kearifan Kontekstual

Hidayah Muhallim, Peneliti Penta Helix Indonesia
Hidayah Muhallim, Peneliti Penta Helix Indonesia

Oleh: Hidayah Muhallim, Peneliti Penta Helix Indonesia

LEGION NEWS.COM, OPINI – Memotret realitas lalu mempresentasikannya ke ruang publik merupakan rutinitas bagi para ilmuan sosial-politik. Namun hal itu bisa menjadi masalah tersendiri ketika tangkapan realitas itu tidak sesuai dengan instrumen analisis atau teori yang digunakan. Bukan soal, apakah teori itu lama atau baru. Tetapi sebuah fenomena sosial-politik harus bisa diungkap secara tepat apa adanya.

Teori itu hanyalah sebuah abstraksi alat bantu analisis dan pijakan perspektif dari seorang ilmuan dalam mengamati sebuah fenomena. Maka akan menjadi lucu ketika selalu saja ada yang mempertanyakan pisau analisisnya, pakai teori lama atau baru. Sekali lagi, ini bukan soal baru atau lama. Tetapi ketepatan memilih dan menggunakan sebuah teori itu jauh lebih penting.

Lain halnya jika seorang ilmuan itu tidak peduli apakah “ilmu hitam atau ilmu putih” yang digunakan untuk mengungkap suatu masalah. Sebab meski mereka memiliki kebebasan dan kemerdekaan yang lebih dalam memilih metodologi keilmuan. Namun mereka harus tahu betul mengapa “ilmu putih atau ilmu hitam” menjadi preferensi mereka dalam membahas dan membedah masalah tertentu. Itu semacam analogi saja.

Advertisement

Karena sejatinya ilmuan sosial-politik itu memiliki prinsip keilmuan, nilai, karakter dan “kearifan kontekstual” sehingga mereka bisa menawarkan solusi yang tepat terhadap masalah-masalah yang ada dalam masyarakat sekaligus mampu menjadi lokomotif perubahan dan kemajuan peradaban.

AROGANSI “KEBARUAN”

Suatu waktu, saya mempublikasikan sebuah artikel opini di media cetak. Walhasil, tulisan itu mendapat respon yang baik, tetapi tetap saja ada kritik yang mempermasalahkan topik bahasannya. Padahal tulisan itu mendeskripsikan secara sederhana mengapa kelas menengah kurang berperan sementara indeks demokrasi kita lagi merosot. Termasuk faktor-faktor apa saja yang turut berpengaruh terhadap dinamika demokrasi kita saat ini.

Karenanya sulit untuk tidak menyorot konfigurasi struktur sosial-politik yang terbentuk dari proses demokrasi. Terutama bagaimana pola hubungan kelompok elit dan kelompok bawah serta posisi kelas menengah. Fokus kritik terhadap konfigurasi struktur sosial-politik itu karena kelas menengah dianggap sebagai “isu lama”.

Lalu apa masalahnya. Toh faktanya memang demikian. Hanya saja setelah ditimbang-timbang lagi akhirnya bisa dipahami bahwa “isu lama” itu ada benarnya. Tetapi, “so what” gitu-loh.

Dalam realitanya, memang akan selalu ada pihak-pihak yang gandrung pada “kebaruan”. Mereka itu biasanya cenderung menolak bahasan isu, teori, atau pola lama dan bersikap sok progresif. Sayangnya mereka kadangkala abai pada substansi, relevansi, konteks dan kemanfaatan suatu bahasan isu dan instrumen analisis yang digunakan. Pokoknya, kalau itu bukan sesuatu yang baru maka mereka akan mengabaikannya.

“Kebaruan” seolah telah menjadi objektifikasi maha penting. Sementara isu, pola, atau teori yang dianggap tidak baru lagi sebagai sesuatu yang “non-sense”. Padahal isu atau teori lama itu tidak selalu menjadi hal yang problematik.

Dengan kata lain, “kebaruan” itu juga tidak secara otomatis akan menggugurkan hal yang lama. Bahkan nyaris tidak ada isu-isu sosial-politik yang baru sama sekali. Realitas sosial-politik tidak selalu berdiri sendiri.

Maka itu fenomena bisa berulang, berdinamika, berkembang atau bertransformasi kapan pun. Lagian, faktor-faktor yang berpengaruh pada suatu fenomena sosial-politik akan berkelindan dan terkoneksi dengan berbagai unsur lainnya.

Demikian pula, demokrasi dan masalah-masalah yang terkait dengan itu tentu saja bukan sesuatu yang baru sama sekali yang terlepas dari faktor-faktor sosial-politik lainnya. Karena itu kita harus jeli menangkap variabel atau faktor-faktor apa saja yang berpengaruh secara signifikan atau kurang signifikan terhadap merosotnya demokrasi kita dan masih menjadi keluhan banyak saat ini.

Jelas tidak bersoal, apakah itu isu, teori, atau perspektif lama atau baru dalam membahasnya sepanjang itu merupakan sebuah fenomena sosial-politik yang sungguh-sungguh eksis. Maka sah-sah jika hal itu ingin dikaji dan dibedah sesuai dengan konteks kekinian.

FANATISME KONSERVATIF

Sebaliknya, ada pula para ilmuan sosial-politik yang senang mengangkat isu dan memotret realita dengan memakai teori yang sudah sering (baku) digunakan selama ini. Bahkan mereka bisa bersikap konservatif dan beranggapan bahwa sesuatu yang telah lazim digunakan selama ini merupakan suatu instrumen yang mumpuni. Mereka itu tidak mudah menerima sesuatu yang baru. Akibatnya mereka menjadi rentan terjebak dalam sikap fanatisme akut atau conservative arrogance.

Padahal para ilmuan itu mestinya menjadi lokomotif perubahan. Dan ketika sebuah peradaban tumbuh dan berkembang maka mereka tidak akan tinggal diam. Mereka harus menjadi bagian inti dari perubahan itu sendiri.

Bahkan justru merekalah yang mestinya menciptakan perubahan itu agar peradaban terus berkembang maju. Mereka para ilmuan yang terdidik itu harus bisa merepresentasikan kekinian dan mampu memprediksi masa depan (futuristik).

Sebagaimana para ilmuan kaum terpelajar itu tidak akan menua dengan pengetahuan dan pengalaman. Tetapi mereka justru akan mengalami kematangan seiring dengan perkembangannya.

Maka itu jangan biarkan mereka terkungkung oleh teori atau perpektif lama yang membuat mereka menjadi stagnan dan terisolir dari kemajuan peradaban. Biarkan kemampuan intelektual mereka berkembang sejalan dengan arus perubahan yang akan terus berlangsung sepanjang sejarah kehidupan umat manusia.

MODERASI KEARIFAN

Nah, para ilmuan itu sejatinya memiliki banyak stok teori dalam pustaka hidupnya. Mereka harus paham betul ragam teori dan perkembangannya. Saat mencermati suatu fenomena sosial-politik dan membedah masalahnya, maka mereka harus bisa menggunakan metode, teori dan perspektif yang tepat. Mereka tidak perlu khawatir apakah teori itu baru atau lama tetapi keakuratan menjadi hal yang sangat penting.

Teori itu ibarat alat bantu saja agar “sang pengamat” dapat mengungkap dan bedah suatu fenomena sosial-politik sesuai dengan konteksnya. Selain itu mereka harus memiliki prinsip keilmuan sehingga tidak mudah terpukau apalagi bersikap fanatik.

Apalah guna sebuah “formula” baru atau lama jika digunakan secara serampangan. Bukan karena penggunaan suatu formula baru atau lama yang membuat suatu amatan fenomena sosial-politik itu lalu berbobot tinggi. Tetapi ia bisa ditakar dengan seberapa akurat suatu paradigma, teori, metode, dan perspektif yang digunakan ketika ingin mengungkap, membedah, dan menganalisis suatu fenomena yang terjadi.

Para ilmuan itu, terkhusus para fenomenolog, harus bisa mengaplikasikan sebuah metode dan instrumen analisis secara tepat. Bukan karena lama atau barunya suatu teori sehingga menjadi preferensi pavorit.

Apalagi jika teori itu tidak fungsional dan tidak relevan lagi sesuai konteks kekinian maka ia akan “useless” atau sia-sia saja. Hanya saja suatu teori itu tidak pula bisa dianggap usang jika ia masih efektif digunakan untuk mengungkap, membedah, dan menganalisis suatu fenomena sosial-politik yang masih eksis saat ini. Untuk itu diperlukan suatu kearifan tersendiri yang kita istilahkan sebagai “kearifan kontekstual”.

Karena jika saja para ilmuan itu memiliki “kearifan kontekstual” maka mereka akan dipandu dengan kecermatan dan kemerdekaan dalam mengemukakan pendapat dan pikiran-pikiran bernas mereka. Sebab besarnya otonomi diri dan otoritas keilmuan yang dimiliki oleh para cendekiawan itu tidak membolehkan mereka untuk bisa serampangan menggunakan teori yang tidak sesuai dengan konteks dan kaidah-kaidah ilmiah hanya karena dorongan sensasi, popularitas, dan pencitraan diri sebagai sosok ilmuan yang mumpuni.(*)

Advertisement