OPINI: Andi Amran Sulaiman Cawapres dari Indonesia Timur, Mungkinkah??

Foto: Andi Amran Sulaiman Properti pojoksatu.id

Penulis oleh: Sukmayadi
C.E.O Solusi Institut
Alumni Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin Makassar

OPINI||Legion-news.com Dalam politik sering kali kita dengan ungkapan “di kehidupan seseorang hanya mati sekali, tapi dalam politik seseorang bisa mati berkali kali.” ungkapan ini sepertinya yang sedang coba di praktekkan oleh mantan Menteri di era Presiden Jokowi periode sebelumnya, Adalah Andi Amran Sulaiman putra Sulsel , pernah menduduki jabatan prestisius, sebagai menteri Pertanian 2014–2019, Posisi yang sangat strategis karena menjadi sector andalan dari berbagai program yang di fokuskan dalam kabinet Bersatu Jilid Pertama.

Pasca tidak di pilih oleh Jokowi dalam jajaran kabinet di periode berikutnya, AAS tidak lantas menghilang dari orbit perpolitikan Indonesia, dia menolak untuk tenggelam, dari timur, tepatnya dari Makassar, AAS sedang mengerek, menaikkan panji panji yang akan mengibarkan namanya. AAS Menyusun kekuatan, menghimpun orang orang, mengumpulkan aktifis dan akademisi, dan menjajaki kerjasama dengan konsultan politik. Dan sepertinya tidak tanggung tanggung laras bedil AAS sedang membidik panggung politik utama perpolitikan Indonesia yakni Pilpres. AAS berniat jadi wakil presiden.

Penulis: Sukmayadi, Alumni Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin Makassar.

Setidaknya itu yang santer terdengar dari orang orang di sekelilingnya, walau mungkin tak pernah keluar dari mulut AAS sendiri. Tapi seperti biasa, seorang politikus jangan di teropong dari apa yang dikatakannya, tapi perhatikan apa yang di perbuatnya.

Advertisement

Tentu bukan tanpa kalkulasi, hitung hitungannya sudah matang, berbagai aspek sudah ditelisik, dan kepercayaan diri yang muncul setelahnya. AAS telah mengitung dengan cermat, baginya, kepantasan itu sudah didepan mata, konon (atau dikononkan) jaringan investor politik raksasa bersedia membantunya. Adalah sebuah kemahfuman bahwa politik di Indonesia mesti begitu, selain modal social yang terasa sampai akar rumput, modal finansial juga harus mumpuni, dan AAS sudah merasa mapan dari kedua factor itu. Dan tentu, karena high call nya Premium maka biaya yang harus dipersiapkan juga tidak tanggung tanggung, kata seorang kawan bisa sampai trilyunan .

Sah sah saja sebenarnya, semua orang yang merasa pantas dan punya “bedil” untuk menembak target jabatan tertentu, masih dijamin undang undang, tetapi yang kita pahami kapital social/Popularitas dan finansial bukan instrument tunggal dalam praktik Politik kita, ada banyak element pendukung sampai hajatan itu terwujud. Bordieu filsuf Politik asal perancis bahkan pernah mendetailkan jika dominasi habitus terstruktur bisa terjadi jika mendekati empat unsur yakni dominasi terhadap kapital ekonomi, kapital social, kapital budaya dan kapital simbolik. Apakah AAS sudah memenuhi semuanya?

Sependek ingatan, Bukan hanya AAS anak SULSEL yang pernah menyatakan diri dan serius untuk maju sebagai capres dan cawapres

Ada Rizal Mallarangeng, Doktor Ilmu Politik lulusan AS, cendekiawan, Populer Seindonesia, saban hari muncul di TV, terkenal karena termasuk orang yang pertama memperkenalkan Konsep Konsultan Politik berikut Metodologi QUICk Count di Indonesia. Di tahun 2008 – 2009 Rizal sudah roadshow keliling Indonesia untuk mendeklarasikan pencalonan dirinya sebagai presiden kala itu. Publik menanggapinya dengan dingin. Sampai kemudian Rizal menyatakan mengundurkan diri dalam Pencapresan 2009.

Yang kedua ada Abraham Samad (AS), Ketua KPK paling fenomenal yang pernah ada, berprestasi, tapi kontroversi selalu mengikuti, tampil sebagai panglima dalam pemberantasan Korupsi yang tak bisa dibeli, sampai kemudian tersandung kasus atau disandungkan.

Sampai kemudian AS harus lengser dari jabatan prestisius sebagai ketua KPK. Konon, diakhir masa jabatannya, AS juga mengincar jabatan Wapres, hajatan yang kemudian ditampik oleh Jokowi Capres terkuat di tahun 2014. Tidak patah arang, asa untuk pemuncak elit di negeri ini tetap membara, AS mendeklarasikan diri mencadi Capres/Cawapres di tahun 2019. AS merasa “Sitinaja” dengan jabatan itu. Dari anjungan pantai Losari , AS menyampikan pidato Politiknya dengan bersemangat. Tapi Kembali, Publik menanggapinya seperti angin lalu. Berita yang berseliweran di social media tentang deklarasi AS adalah berita yang biasa saja, jari telunjuk segera menghalau di layer hape berpindah ke berita yang lain.

Rizal Mallarangeng dan Abraham samad juga pernah di beri Title “Cahaya dari Timur,” dia andalan anak Makassar yang berkiprah secara Nasional, punya popularitas, modal sosialnya ada, bahkan juga ( mungkin) modal finansialnya mencukupi. Tapi Publik Politik kita memang berjalan atas logika yang berbeda, ada banyak instrument yang berjalan diatasnya, bisa saja bertimbang geo politik, kultur, identitas dan lain lain, namun satu yang pasti tidak mudah untuk meluluskan keinginan bermain diarena pergumulan perebutan supremasi menjadi No 1 di Indonesia.

Ada satu nama yang patut dan wajib kita sebut jika menilik kiprah orang Aulsel di pentas Politik Nasional, tidak lain dan tidak bukan, dia adalah Yusuf Kalla. Tapi jika kita telisik secara historis, JK bisa menembus elit Politik nasional bahkan menjadi Cawapres 2 periode , di 2 presiden yang berbeda hal yang perjuangkan tidak dengan mudah, Yusuf Kalla adalah perwujudan dari determinasi, integritas dan kecerdasan Putra Sulsel yang dia raih tidak secara instant, JK punya kemampuan meng Assambling semua kapital dalam dirinya (kapital ekonomi, social , symbolic) kemudian dipakai untuk memuluskan karirnya dalam Politik.

Tentu kita semua orang Sulsel, mengingnkan ada Tokoh yang bisa menggantikan kapasitas pak JK di pentas Nasional, tapi itu tidak bisa kalau hanya sebatas niat lalu kemudian mengidentifikasi diri sebagai “pelanjut JK” entitas yang coba di amplifie melalui wacana wacana bombastis di media media online.

Kita tentu memahami niat Suci AAS , yang berniat berkiprah menjadi cawapres RI sebagai perwakilan Indonesia timur, kita tentu mendukung siapapun anak Sulsel yang punya kemampuan lebih untuk menjadi representative kita di pentas elit Nasional. Dan karenaa dukungan itulah maka, niatan yang baik AAS perlu didukung dengan cara dan strategi yang tepat, tentu kita masih ingat 2 narasi tentang Rizal dan Abraham yang niatnya ditampik public politik nasional, kita tentu tak mau jika itu terjadi pada AAS.

Memang sangat berat, jika melihat data secara nasional DPT ( Daftar pemilih tetap) Sulsel, hanya 4% dari DPT Nasional, ini mengindikasikan secara geopolitik , representative Timur khususnya orang Sulsel akan sulit di lirik untuk menjadi capres/Cawapres ( jika logika capres adalah perwakilan Timur barat atau Jawa non Jawa), tetapi ini tidak menjadikan kita berpatah arang. Jika kerja kerja politik dalam hal citra, pemetaan, dan strategi elektoralnya tepat mk ukan tidak mungkin AAS bisa menjdikan dirinya pilihan alternatif untuk memuncaki pentas politik nasional.

Dan kalau mau jujur, itu yang belum terlihat sampai sekarang. Belum terlihat citra baik yang bisa ditampilkan secara nasional dengan hanya melakukan gathering di lingkup terbatas setiap minggunya. Belum terbaca secara data statistic dengan hanya mengumpulkan para aktifis , akademisi dan tokoh Masyarakat Lokal.
Jujur, saya tidak bisa membedakan, sosialisasi yang dilakukan seorang yang akan maju sebagai wabup di kabupaten dengan sosialisasi yang dilakukan pak AAS sebagai cawapres perwakilan Indoensia timur.

Dalam impian saya sebagai Cawapres andalan Indonesia Timur, AAS sdh seharusnya berbicara dan membumikan bagaimana ide ide besar tentang kebangsaan, visi misi ekonomi, bahkan kebijakan pertahanannya dan melihatnya dari teropong sebagai perwakilan Indoenesia timur. Beliau sudah seharusnya berdiri di depan podium dalam stadium generale di berbagai kampus ternama di Indonesia untuk berbicara itu, atau tampil di TV setiap saat untuk memberikan imput krusial yang akan jadi solusi dari masalah mendasar atas bangsa ini, atau juga menjalin kontak dengan perwakilan negara negara asing sebagai pondasi kelak untuk membina hubungan dengan negara negara asing.

Begitu seharusnya CAWAPRES dari Indonesia timur

Advertisement